iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Sotung Ritiik Hamu Alani Pilkada


Kalimat dalam bahasa Batak di atas artinya "Jangan sampai gila hanya gara-gara Pilkada). Pesan ini sangat tepat disampaikan kepada teman-teman warganet di Samosir, terutama yang ada di grup facebook "Menuju Samosir Maju" (MSM). Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Di negeri ini memang sudah terbiasa kita dengar seorang calon kepala desa yang kalas Pilkades atau caleg yang gagal jadi gila. Tentu saja, tak sedikit calon kepala daerah yang juga menjadi gila dan masuk Rumah Sakit Jiwa hanya gara-gara kalah Pilkada.

Tak heran ketika saya dan teman-teman warganet yang masih waras di grup MSM itu selalu mengingatkan agar pendukung tak ikut-ikutan gila. "Sotung rittik hamu sude alani pilkada i, amang dohot inang," pesan salah seorang tua yang sudah jengah melihat percakapan di grup MSM.

Dalam pengertian ini, rittik (gila) tak selalu dalam pengertian "gila secara psikologis" alias gangguan kejiwaan permanen. Rittik di sini lebih pada munculnya gejala ketidakwarasan para warganet MSM yang tak canggung saling menghina dan saling merundung jagoan lawan dengan cara memuja paslon dukungan masing-masinaorang.

Intinya, dalam percakapan di guru MSM ini, kita menjadi bingung mana/siapa yang benar dan mana/siapa yang sesat. Sebab, semua warganet memproklamirkan diri paling tahu, paling paham, dan paling bisa memprediksi siapa pemenang #PilkadaSamosir2020 mendatan.

Tampaknya sih, para paslon masih rada waras. Hanya saja tim dan para pendukung mereka, entah dari paslon 1 #MarGuna, Paslon 2 #Vantas, dan paslon 3 #Rapberjuang sudah mulai rintik. Saling klaim bahwa paslon mereka yang terbaik bukan saja tak berdasarkan fakta, tetapi juga sudah berbau mitos.

Misalnya, para perantau asal samosir memberi dukungan kepada paslon tertentu, tetapi mereka tak memiliki hak pilih di Samosir. Mungkin saja mereka bisa menjamin kalau orangtua atau keluarganya yang masih tinggal di Samosir mengikuti anjuran mereka. Tapi who knows?

Contoh lain adalahmelibatkan presiden Jokowi segala. Konon katanya, Jokowi tak mungkin datang berkunjung ke Samosir kalau bupatinya bukan #Rapberjuang. Begitu juga paslon #Marguna yang mengklaim bahwa Samosir belum sanggup makan dari pariwisata, melainkan dari pertanian. Jadi Samosir hanya akan maju bila petani makmur.

Atau calon satu lagi, Vantas yang percaya bahwa ditangan mereka pembangunan fasilitas publik akan dibangun dengan mudah tanpa membenai APBD Pemkab Samosir.

Artinya, percakapan di grup MSM di atas masih wajar, karena hal itu menyangkut program kerja para paslon. Misalnya, Tim #Rapberjuang mengatakan akan membangun jalan mulus hinhga ke huta-huta di dolok. Tim #Marguna mengatakan akan membangun jalan hingga ke hauma dohot saba (ladang dan sawan). Atau, #Vantas mengatakan akan membangun jalan standar nasional di samosir dan membuka akses jalan ke setiap huta.

Di titik ini, masih terlihat kewarasan para tim dalam mempromosikan paslon jagoannya. Hanya saja timses dari masing-masing kubu sering membawa mitos, simbol dan punguan marga. Biasanya dimulai dari rebutan dukungan dari marga yang terkait calon. Simbolon berharapa dukungan dari marga Simbolon dan punguan Parna dan Gultom berarap dari raja Sonang.
-
Tapi tak berhenti di situ. Simbolon bisa saja mengklaim bahwa tulangnya dari Raja Sonang; dan sebagai Tulang, semua marga Raja Sonang harus mendukungnya. Begitu juga dengan si Gultom yang bisa saja mengklaim bahwa Simbolon itu boru mereka; yang artinya semua marga Simbolon wajib marhobas memenangnkan si Gultom; dst.

Saya hanya mau mengatakan bahwa memaksimalkan komunitas bernama punguan marga dalam kontestasi politik tak lebih dari tindakan sia-sia. Bagaimana tidak, semua marga selalu terkait, minimal dalam pesona filsafat Dalihan Natolu. Seorang Batak selalu terkait dengan marga ayahnya, ibunya, dan oppung borunya. Itu minimal loh.

Pertanyaan mendasar bagai mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai pengurus punguan marga Simbolon, misalnya, apakah mereka pasti dituruti semua orang Batak bermarga Simbolon? nya Tapi mengapa mereka sering memberi jaminan itu kepada paslon tertentu? Saya bisa pastikan tidak.

Selain punguan marga, para calon dan tim pendukungnya juga sering melibatkan hal-hal mistis. Misalnya, semua berlomba ziarah ke Pusut Buhit, lalu mengklaim bahwa Oppung ta si Raja Batak sudah memberi iin dan restu kepada calon bupati X sebagai raja di Samosir.

Belum lagi dikaitkan kehadiran "manuk nabottar" (ayam jago putih) atau "hoda nabottar" (kuda putih) sebagai simbo kehadiran si Raja Batak memberi restu untuk si calon. Aneh bukan?

Ya. Memang aneh. Tetapi orang Indonesia suka yang begituan. Tampaknya simbol-simbol mistis itu masih berhasil memengaruhi pilihan warga. Apaagi orang Batak lebih mengutamakan adat dibanding agama yang dianutnya, bukan?

So, jangan sampe ikutan gila deh hanya gara-gara Pilkada. Entar beneran gila baru tau rasa. ha ha ha ha


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.