iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Silahisabungan

Silahisabungan


SILAHI (LAKKI SABBU (india): LELAKI PEJALAN KAKI DARI KAMPUNG KE KAMPUNG) MEMILIKI 2 ISTRI, 8 ANAK DAN 1 BORU (1281): 
  • 1 AMA (ayah): SILAHI-SABUNGAN; 
  • 2 INA (ibu) : PINGGANMATIO PADANG BATANGHARI dan SIMILING-ILING BORU NAIRASAON; 
  • 8 ANAK: 
  1. LOHO RAJA/SIHALOHO, 
  2. TUNGKIR RAJA/SITUNGKIR, 
  3. SONDI RAJA/RUMASONDI, 
  4. BUTAR RAJA/SIDABUTAR, 
  5. BARIBA RAJA/SIDABARIBA, 
  6. DEBANG RAJA/SIDEBANG, 
  7. BATU RAJA/PINTUBATU 
  8. TAMBUN RAJA/RAJA TAMBUN); 
  • 1 BORU: 
  1. SI BORU DEANG NAMORA. 
KETUJUH ANAK RAJA SILAHISABUNGAN MEMAKAI MARGA SILALAH, SEDANGKAN TAMBUN MEMAKAI MARGA TAMBUN atau TAMBUNAN.

Silahi Sang Pengembara
Silahi (Lakki Sabu: lelaki pengembara jauh), nama kecil Silahisabungan dikenal sebagai sosok yang “Sabungan di hata, sabungan di hadatuon dan sabungan di habisuhon” (cakap bertutur, sakti kemampuannya dan cerdas pengetahuannya). Silahi adalah generasi ke-5 dari Si Raja Batak. Silahi adalah anak ketiga dari delapan bersaudara anak-anak Tuan Sorbadibanua. Tuan Sorbadibanua sendiri memiliki dua istri. Dari istri pertama, Anting Malela Boru Pasaribu lahir Sibagot Ni Pohan (ia dan keturunannya menetap Balige), Sipaettua (Laguboti), Silahi (Huta Lahi), Raja Oloan (Huta Bakkara) dan Siraja Hutalima. Sementara dari istri kedua, Boru Pasopati lahir Toga Sumba (bermukim di Humbang), Toga Sobu (Silindung) dan Toga Pospos (Silindung).

Suatu ketika terjadi konflik antara anak-anak Tuan Sorbadibanua. Akibatnya, Sipaittua, Silahi dan Raja Oloan sepakat untuk keluar dari Balige Raja. Sebelum berangkat, ketiganya lebih dulu pergi ke Mual Sibuti untuk mengambil air minum dan memasukkannya kedalam kendi sebagai bekal perjalanan. Mereka juga membawa tiga kepal tanah dan dimasukkan kedalam gampil masing-masing untuk mengingatkan mereka pada bonapasogit mereka. Ketiganya pergi meninggalkan Balige Raja dan mencari kehidupan masing-masing. Sipaittua adalah orang pertama yang menemukan tempat permukimannya di Laguboti. Sementara kedua adiknya, Silahisabungan dan Raja Oloan masih meneruskan perjalanan mereka untuk mencari “tanah terjanji” sebagai tempat tinggal mereka.

Setelah beberapa hari berjalan, Raja Oloan dan Silahi menemukan sebuah tempat di Huta Bakkara. Silahi sangat mencintai adiknya, Raja Oloan. Itu sebabnya ia mempersiapkan tempat tinggal adiknya terlebih dahulu. Bakkara pun diberikan kepada Raja Oloan. Ia masih tinggal untuk sementara waktu bersama sang adiknya di Bakkara. Setelah dirasa adiknya sudah mandiri, Silahi pun pamit untuk meneruskan perjalanannya. Dalam perjalanan dari Bakkara, ia tiba di Harangan Hole, hutan belantara yang belum pernah dijamah. Ia memutuskan untuk bertapa selama 30 hari 30 malam di sana untuk memperoleh kesaktian. Usai bertapa Silahi kembali melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Huta Silalahi.

Di sana dia membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat tinggalnya untuk sementara. Selanjutnya Silahi tinggal di Huta Lahi (kini: Silalahi Nabolak, Silahisabungan, Dairi yang mencakup Huta Silalahi I, Huta Silalahi II dan Huta Silalahi III). Dari tempat inilah cikal bakal lahirnya sebutan Tao Silalahi untuk sebagian Danau Toba yang bisa dijangkau mata dari Paropo. Begitu kagumnya Silahi dengan tempat tersebut hingga ia memutuskan untuk tinggal di sana.

Pinggan Matio Boru Batanghari
Pada suatu hari Raja Pakpak yang bernama Raja Parultep bersama rombonganya sedang berburu dan mencari beberapa jenis burung. Raja Parultep menyumpit seekor burung elang dan tepat sasaran. Tapi aneh, elang itu tidak mati. Elang itu tetap terbang ke arah gubuk Silahi. Raja Parultep penasaran dan mengejar elang tersebut. Saat itulah ia bertemu secara tak sengaja dengan Silahi.

Saat pertamakali melihat keberadaan Silahi, Raja Parultep terlihat marah dan berkata, “Hei, kau ini siapa? Berani sekali kau tinggal di daerahku ini. Kamu tahu, akulah Raja Pakpak yang berkuasa sampai hingga ke paintai danau Toba ini?”

Silahi yang sedang meminum air yang ia bawa dari Mual Siguti sedang santai dan menduduki tiga kepal tanah yang ia bawa dari Balige, lalu menjawab Raja Ultep dengan santun dan berwibawa, “Maaf Raja Pakpak yang mulia, saya ini tidak bersalah. Justru ucapan yang mulialah yang mengada-ada. Saya berani sumpah, bahwa tanah yang saya duduki ini adalah tanahku, dan air yang saya minum ini adalah airku.”

Sembari mengulurkan tanah ke arah Raja Parultep, Silahi memperkenalkan diri, “Salam, Tulang yang baik. Ibu yang melahirkanku adalah boru Pasaribu.”

Silahi mempersilahkan Raja Parultep masuk ke gubuknya, karena hari memang sudah mulai gelap. Mendengar sambutan Silahi dengan tutur kata yang menawan, amarah Raja Parultep langsung mereda. Ia justru merasa harus ikut memperkenalkan dirinya kepada Silahi. Sembari menerima undangan Silahi, ia lalu berkata, “Aku adalah Raja Pakpak yang dijuluki Raja Parultep, marga Padang Batanghari sama dengan marga Pasaribu."

Tanpa menunda waktu, Silahi langsung menjamu Raja Parultop dan rombongannya dengan makanan sederhana. Selesai makan malam, mereka asik bercakap-cakap hingga larut malam. Dalam percakapan itu, Raja Parultep langsung bertanya kepada Silahi, “Dimana istri dan keluargamu?" Silahi menjawab jujur, “Aku masih perjaka dan belum berumahtangga, Tulang!”

Mendengar penuturan Silahi, Raja Parultep bahkan berniat menawarkan salah satu dari tujuh putrinya menjadi isteri Silahi, “Aku memiliki tujuh putri, dan semuanya sudah gadis. Kalau kau berkenan menjadi menantuku, mari ikut dengan kami pergi ke Balla. Setelah tiba di sana, silahkan pilih salah satu dari anak gadisku menjadi istrimu. Tapi ingat, kamu harus setiap sepanjang hidupmu.” Silahi menyambut tawaran Raja Parultep dengan senang hati, tetapi ia tetap sadar diri, “Tulang yang baik, mana mungkin saya berani pergi ke Balla kalau tidak saya tidak memenuhi adat istiadat Dalihan Natolu? Belum lagi hidupku saat ini hanya sebatangkara. Jadi saya mohon, janganlah alang kepalang, atas belaskasihmu, Tulang, bawalah ketujuh paribanku itu kemari besok, supaya di sini saya pilih.“

Raja Parultep terharu dengan kejujuran Silahi. Ia pun menerima permintaan pemuda yang sudah cukup berumur itu. Raja Parultep bahkan mendahului proses pemilihan jodoh Silahi dengan salah satu puterinya dengan lebih awal menetapkan hari dan tanggal perjodohan sekaligus perkawinan. Setelah hari yang ditetapkan tiba, Silahi telah siap menyambut rombongan Raja Parultep di tepi sungai yang agak dalam airnya. Silahi lalu berseru, "Tulang, suruhlah putrimu satu per satu menyeberangi sungai ini, supaya aku dapat memilih salah satu dari mereka menjadi istriku.”

Awalnya Raja Parultep tak habis mengerti mengapa Silahi menyambut ketujuh puterinya di tepi sungai itu. Tapi ia percaya begitu saja. Ia tetap menyuruh puterinya satu per satu menyeberangi sungai dengan menjunjung bakul berisi tipa-tipa dalam bakul. Satu per satu dari ketujuh gadis itu, mulai dari gadis pertama hingga gadis ke enam lewat. Tapi Silahi tak kunjung memilih. Padahal mereka semua cantik dan rupawan, dengan rambut bagaikan mayang terurai. Setelah gadis ketujuh melintasi sungai, Silahi langsung melompat dan menyambut putri bungsu Raja Parultep itu sembari berkata, “Tulang, inilah gadis pilihanku. Ia akan kujadikan sebagai istriku. Mudah-mudahan Tulang merestui, dan semoga Mulajadi Nabolon memberkati kami hingga dapat menajalani rumah tangga yang bahagia dan mempunyai keturunan yang banyak.” Raja Parultep lalu mendekati Silahi, “Mengapa engkau memilih putri bungsuku ini?”

Dengan spontan Silahi menjawab, “Tulang, memang kakaknya yang enam itu semuanya cantik rupanya, tetapi mereka tidak merasa malu tadi saat melintasi sungai. Mereka menarik sarungnya hingga melewati lututnya.” Padahal Silahi, dengan kesakitannya tahu bahwa keenam gadis itu adalah manusia jadi-jadian. Bagaimana tidak, keenamnya dapat berjalan di atas air. Belakangan diketahui bahwa hal itu disengaja Raja Parultep untuk mencobai Silahi. Raja Parultep bermaksud menguji ilmu Silahi. Sayangnya Raja Parultep justru merasa malu, hingga sejak itu sungai yang diseberangi itu dinamai "Binangsa So Maila" (sungai tak tahu malu).

Tak lama setelah pemilihan itu, Raja Parultep dan istrinya memberi restu dan berkat kepada putri dan calon menantu mereka. Kepada Raja Silahi, Raja Ultop berseru, “Kami akan menamai putri kami ini Pinggan Matio Boru Padangbatanghari, Anggiat ma tio parnidaan dohot pansarianmu tu jolo ni ari. Asa boru parsonduk bolon ma ho sipanggompar sipanggabe, partintin na rumiris parsang-gul na lumobi, paranak so pola didion, parboru so pola usaon. Panggalang panamu, sipatuat na bosur, sipanangkok na male. Dan engkau Silahi, menantu kami yang baik, namamu sekarang adalah Silahisabungan, sabunganni hata, sabunganni habisuhon, dohot sabunganni hadutoan. Nunga dipatuduhon ho ha-bisuhon dohot hadatuonmu na mamillit parsinondukmon, partapian simenakenak maho perhatian so ra monggal parninggala sibola tali. Asa saut ma ho gabe raja bolon jala na tarbarita, pasu-pasuon ni mulajadi Nabolon.”

Similingiling Boru Mangarerak
Ada banyak kisah menarik terkait sosok Silahi. Salah satunya adalah kisah tentang bagaimana Silahisabungan diperdaya oleh Raja Mangatur dari keturunan Sorbadijae. Suatu ketika seorang jagoan bernama Rahat Bulu mendatangi Onan Porsea. Nama Rahat Bulu adalah pemberian masyarakat Onan Porsea, sebab siapa saja yang berurusan dengan si Rahat Bulu (buluh yang sangat gatal) pasti akan celaka. Kehadiran Rahat Bulu di Onan Porsea membuat gerah Raja Mangatur. Raja Mangatur lalu menyusun rencana menyingkirkan dia dari kampung mereka.

Kisah kehebatan Silahisabungan telah sampai ke telinganya. Raja Mangatur pun berniat membangun kerjasama dengan Silahisabungan dan memanfaatkan kehebatannya untuk menyingkirkan si Rahat Bulu. Raja Mangatur ingin si Rahat Bulu berhenti minta setoran di Onan Porsea, juga berhenti mengintimidasi warga huta.

Sayangnya, Raja Mangatur tak tahu cara menghubungi Silahisabungan. Belum lagi status Silahi-sabungan saat itu telah beristeri dan memiliki 7 anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Raja Mangatur lalu mencari cara. Ia menyuruh utusannya memanggil Silahisabungan untuk mengobati anak gadisnya yang sedang sakit. Nama gadis itu Similing-iling Boru Mangareak.

Singkat kata, Raja Mangatur berhasil membujuk Silahisabungan. Silahisabungan pun datang ke kampung Raja Mangatur. Begitu diobati oleh Sabungan, sang gadis itupun sembuh. Akan tetapi saat gadis itu ditinggal pergi oleh Sabungan, penyakitnya justru kambuh lagi. Hal ini terjadi berkali-kali. Karena niat Raja Mangatur justru merasa senang dan memanfaatkan keadaan tersebut. Tentu saja, karena niatnya untuk menyingkirkan Rahat Bulu belum terwujud.

Raja Mangatur lalu membuat kesepakatan dengan Silahisabungan. Isinya, anak gadisnya, Similing-iling Boru Mangareak hanya akan sembuh apabila ia dinikahi Silahisabungan. Padahal usia keduanya terpaut cukup jauh. Similing-iling bahkan sejak awal memanggil Amangboru (suami dari saudari ayahnya) kepada Silahisabungan. Tentu saja dari segi usia, Silahisabungan tidak tega menikahi Similing-iling.

Akan tetapi demi kesembuhan sang Similing-iling, putri Raja Mangatur, Sabungan akhirnya setuju. Keduanya lalu menikah dan tinggal disana. Similing-iling Boru Mangareak pun hamil, dan beberapa waktu kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki rupawan yang diberi nama Tambun Raja dan di Toba Holbung disebut Raja Tambun.

Suatu hari Tambun dibawa oleh Similing-iling Boru Mangareak saat ia belanja (mangebang) ke pasar. Di tengah pasar, secara tak sengaja Rahat Bulu melihat anak kecil yang rupawan itu. Ia langsung merampas si anak dari gendongan ibunya. Rahat Bulu mengklaim bahwa Tambun adalah anaknya dari hasil hubungan gelapnya dengan Milingling. Milingling langsung protes dan bersumpah kalau ia samasekali tak mengenal Rahat Bulu. Dasar Rahat Bulu. Ia tak peduli dengan rintihan Similing-iling. Ia tetap mengaku bahwa Tambun adalah anaknya.

Peristiwa itu pun sampai ke telinga Silahisabungan. Ia mendatangi Rahat Bulu ke Onan Porsea. Kepada Rahat Bulu, Silahisabungan menjelaskan bahwa Tambun adalah anaknya, buah perkawinan dengan istrinya Milingling. Tapi Rahat Bulu tetap bersikeras kalau Tambun adalah anaknya, dari hasil hubungan gelapnya dengan putri Raja Mangatur itu.

Untuk menyelesaikan konflik itu, warga yang melihat lalu membuat satu kesepakatan. Silahisabungan dan Rahat Bulu secara bergantian diminta memasuki sebuah batang (peti mati) yang terbuat dari sebatang pohon kayu besar. Kayu itu dibelah dua. Sebagian untuk tempat mayat dan sebagian lagi sebagai tutupnya.

Sebelum keduanya secara bergantian memasuki peti mati, Silahisabungan bertanya kepada warga yang hadir, "Porsea do hamu sude” (apakah kalian semua percaya)? tanya Silahisabungan.

"Porsea. Porsea do hami” (percaya. Kami percaya)," jawab hadirin serentak. Setelah kedua belah pihak dan warga bersepakat, maka dicarilah sebuah batang. Silahisabungan dipersilahkan masuk peti mati terlebih dahulu. Hanya dalam hitungan menit ia keluar dari dalam peti secara utuh . Warga yang menonton pun bersorak-sorai. Kini, tiba giliran Rahat Bulu.

Dengan perasaan yakin akan selamat setelah keluar dari peti mati itu, ia pun masuk dan menelentangkan tubuhnya di dalam peti mati itu. Dan, tiba-tiba saja peti mati itu langsung tertutup rapat. Segala upaya untuk mengeluarkan Rahat Bulu pun dilakukan oleh keluarganya, dan dibantu warga yang menyaksikannya. Namun peti mati itu tetap saja tidak dapat dibuka. Peti mati kemudian diterbangkan oleh Silahisabungan ke Dolok Simanuk-manuk, dan konon katanya si Rahat Bulu menjadi hantu pengganggu di sana. Sementara tempat “kesepakatan untuk masuk peti mati” itu dinamai Onan Porsea, tempat raja-raja berkumpul.

Poda Sagu-sagu Marlangan
Kuatir akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan, Silahisabungan pun memutuskan untuk membawa Tambun ke Huta Lahi atau Silalahi Nabolak. Namun ia merasa takut ketahuan oleh istrinya, Pinggan Matio Boru Batanghari. Begitu takutnya Silahisabungan, sehingga ia menyembunyikan Tambun dalam sebuah gubuk di perbukitan di Silalahi Nabolak. Ia tak ingin kehadiran Tambun menjadi persoalan baru baru keluarganya. Ia juga tak ingin kehadiran Tambun akan mengganggu kerukunan rumah tangganya. Akan tetapi, sepintar apapun Silahisabungan menyembunyikan Tambun, pada akhirnya akan terbongkar juga.

Awalnya sang istri merasa curiga karena suaminya selalu menyisakan makanannya. Sisa makanannya itu kemudia dibawa Silahisabungan ke suatu tempat yang tidak diketahui siapapun, termasuk istrinya. Pinggan Matio merasa tindakan suaminya itu sangat ganjil. Hingga suatu waktu, Pinggan Matio mememinta agar suaminya berterus-terang perihal makanan yang selalu ia sembunyikan itu.

Silahisabungan tak kuasa untuk mengelak. Ia mulai menuturkan sejarah keberadaan tambun. Ia secara jujur mengakui awal kepergiannya ke tempat Raja Mangatur hingga perkawinannya dengan Similing-iling Boru Mangareak, dan Tambun adalah buah dari perkawinan itu. Silahi juga menceritakan tentang perebutan Si Tambun antara dairinya dan Si Rahat Bulu di Parsaoran Sibisa. Dan demi keselamatannya ia terpaksa membawa tambun ke Silalahi Nabolak. Mendengar kisah itu, hati sang isteri terenyuh. Ia memeluk suaminya dan memaafkan tindakannya. Tak hanya itu, Pinggan Matio bahkan bertekad menerima dan menganggap Tambun sebagai putera bungsunya. Pinggan Matia berjanji kepada Silahisabungan untuk merawat tambun seperti anak kandungnya. Kisah ini akhirnya sampai juga kepada anak-anak Silahisabungan. Mereka adalah Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Butar Raja, Bariba Raja, Debang Raja, Batu raja, dan ito mereka Siboru Deang Namora. Hebatnya, ta seorang pun dari mereka yang merasa keberatan dengan kehadiran Tambun sebagai adik bungsu mereka. Untuk memperteguh kesepakatan ini, Silahisabungan pun menyuruh sang istri dan putrinya untuk mempersiapkan Sagu-Sagu Mallangan dan mengundang ketujuh anaknya untuk makan bersama. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan "Poda Sagu-sagu Marlangan" yang merujuk pada sumpah bersama keturunan Silahisabungan untuk mengakui Tambun sebagai adik bungsu mereka. Inila alasan mengapa Tambun Raja dan keturuannya merasa nyaman dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keturunan Silahisabungan hingga kini.

Poda Sagu-Sagu Marlangan yang diadakan Silahisabungan dimaksud untuk mencegah konflik antara keturunan Silahisabungan dan Keturunan Si Raja Tambun. Mumpung saat itu mereka masih anak-anak dan remaja. Poda Sagu-sagu Marlangan sendiri dipersiapkan olwh Pinggan Matio Boru Padang Batangari dan putri satu-satunya Si Boru Deang Namora. Sebelumnya Silahisabungan meminta keduanya untuk mengolah makanan “Sagu-sagu Marlangan” yang bentuknya mirip manusia dan ditaruh di atas ampang (bakul). Setelah semua persiapan dirasa sudah cukup, tibalah waktunya bagi Silahisabungan menyuruh sang putri memanggil ketujuh ito-nya. Kedelapan anak laki-lakinya itu lalu ia minta duduk mengelilingi Sagu-Sagu Marlangan. Silahisabungan pun mulai menyampaikan wasiatnya kepada pinompar-nya itu (lihat tabel Poda sagu-sagu marlangan).

Usai menyampaikan wasiatnya, Silahisabungan duduk dan menyuruh anak-anaknya menyentuh dan menjamah sagu-sagu marlangan itu, lalu meminta mereka satu per satu untuk meneguhkan ikrar kesetiaan di atas dengan doa, “Sai dipargogoi Mulajadi Nabolon ma hami dohot pomparan nami mangulahon poda na nilehonmi amang.” (Semoga Sang Pencipta menguatkan kami dan seluruh keturunan kami dalam melaksanakan wasiat ayah kami ini). Di akhir acara, Silahi menegaskan, "Barang siapa yang melanggar wasiat ini, maka ia akan bernasib seperti sagu-sagu marlangan, yakni tidak memiliki keturunan dan hilang tanpa bekas (ingkon mago jala pupur).”

Warisan Silahisabungan
1. Aek Sipaulak Hosa Loja
Tak lama setelah menikah, Pinggan Matio mengandung. Pada usia 9 bulan kandungannya, ia merasa rindu kepada orang tua dan kampung halamannya. Ia menyampaikan hal itu kepada Silahisabungan dan mengajaknya bersama pulang kampung ke Balla. Silahisabungan yang memang sangat sayang kepada isterinya langsung mengabulkan keinginan istrinya. Keesokan harinya mereka pergi menuju Balla.

Dalam perjalanan, tepat saat mendaki bukit Silalahi, Pinggan Matio yang sedang hamil tua itu pun merasa capai dan dahaga. Silahisabungan langsung memutuskan untuk beristirahat sejenak di lereng bukit yang terjal itu. Namun, karena rasa haus yang semakin tak tertahankan, Pinggan Matio bersenandung dengan nada sedih, dengan maksud agar suaminya segera mencarinya air minum. Inilah senandungnya Pinggan Matio, “Betapa lelahnya aku membawa bayi yang kukandung ini. Rasa hausku bahkan tak dapat menjangkau air Danau Toba yang tampak dekat tapi kendati tak bisa kujangkau. Mampukah aku berjalan hingga tiba di kampung orang tuaku?”

Mendengar rintihan istrinya, Silahisabungan langsung mengambil Siorlombing (tombak) dari tas kantongan yang selalu ia bawa. Ia berdoa kepada Mulajadi Nabolon, memohon agar istrinya diberikan air pemuas dahaga (paulak hosa), kemudian ia menancapkan tombaknya itu ke dinding batu terjal, dan ajaib, air bersih dan segar pun keluar dari batu itu, dan ia segera membawakan air itu kepada Pinggan Matio. Tak hanya dahaga, tetapi rasa letih sang istri seketika juga hilang. Setelah rasa haus hilang dan tenaganya kembali pulih, keduanya pun meneruskan perjalanan ke kampung mertuanya di Balla. Itulah sebabnya air itu dinamai “Mual Sipaulak Hosa”, atau lengkapnya “Mual Sipaulak Hosa Loja” yang kini masih bisa kita temukan di Silalahi I, Kecamatan Silahisabungan, Dairi. Ajaibnya, hingga kini, debit air di Aek Sipaulak Hosa Loja tetap stabil termasuk ketika hujan deras turun atau musim kemarau terjadi. Tidak akan banjir jika hujan, atau kering jika musim kemarau. Aek Sipaulak Hosa Loja ini berada di kelurahan Silalahi I, Silahisabungan, Dairi. Jika Anda ke sana untuk mandi, tetaplah meletakkan demban (sirih) dan utte pangir (jeruk purut) di alatar persembahan yang tersedia.

2. Batu Sigadap
Selain Aek Siaulak Hosa Loja, Silahisabungan juga mewariskan Batu Sigadap. Warisan ini tergolong fenomenal. Batu Sigadap terdiri dari dua buah batu keramat yang diyakini mempunyai kekuatan mistik. Bentuknya silinder, dengan posisi satu berdiri (jongjong) dan posisi satu lagi tidur (gadap). Dengan demikian Batu Sigadap yang keramat ini sering disebut Batu Panungkunan.

Di masa kepemimpinan Silahisabungan, Batu Sigadap berfungsi sebagai Mahkamah Pengadilan Tertinggi yang diperuntukkan untuk mengadili orang yang bersalah. Si orang bersalah diminta untuk meletakkan sirih di kedua batu ini dan apabila dia terbukti benar maka dia akan selamat seperti batu yang berdiri, namun apabila dia tidak benar maka dia akan jatuh atau “gadap” dan akhirnya akan meninggal. Itu sebabnya masyarakat di Desa Silalahi menyebut kedua batu tersebut sebagai Batu Panungkunan.

Masih banyak warisan berharga dari Raja Silahisabungan yang terdapat di kecamatan Silahisabungan, mulai dari tugu, Batu Tindang, makam Silahisabungan, makam Pinggan Matio Padang Batanghari, dan warisan berharga lainnya.


Sumber: Lusius Sinurat, Sejarah dan Tarombo Sinurat. Yogyakarta: Nasmedia 2022, hal. 25-46  

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.