iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Tuaian memang banyak, tetapi pekerjanya sedikit

Tuaian adalah hasil akhir pengikut Kristus, yakni menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Dunia saat ini adalah dunia yang telah kehilangan Kebenaan dan Kedamaian sejati serta Sukacita dalam Roh. Sementara Pekerja adalah kita semua diutus Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah yang sudah dekat.

“Tuaian memang banyak, tetapi pekerjanya sedikit!" menegaskan bahwa semua orang di dunia yang ingin menjadi bagian dari Kerajaan Allah akan berkomitmen untuk mewartakan Kebenaan, Kedamaian dan Sukacita dalam Roh. Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan Kerajaan Allah? 

Menurut ajaran Gereja, ada 3 (tiga) unsur Kerajaan Allah, yakni Kebenaran, Damai Sejahtera dan Sukacita. Berikut akan kita renungkan satu per satu dari ketiga unsur ini.


1. KEBENARAN

Saat ini, kita hidup di dunia yang jauh dari prinsip-prinsip kebenaran. Semua orang, kelompok, hingga negara sedang berlomba mengklaim kebenaran versinya sendiri. Minggu lalu masih segar diingatan kita persekusi yang dilakukan puluhan orang Muslim terhadap Remaja Kristen yang sedang menjalani retret di salah satu rumah di Sukabumi. Begitu juga pada Perayaan Paslah bulan April lalu, umat Katolik di Arcamanik-Bandung didemo saat merayakan Trihari Suci. 

Dalam kedua peristiwa di atas, menurut para pelaku perusakan dan persekusi terhadap agama minoritas, kebenaran hanyalah miliki agama mereka, dan agama lain sesat. Klaim kebenaran seperti ini pasti akan merusak kedamaian yang selama ini telah terjalin dengan baik. Keberagaman menjadi hancur, kecurigaan satu sama lain semakin menukik dan cinta kasih kepada yang lain akan semakin kabur.

Hari-hari ini sulit menjadi orang benar di tengah masyarakat yang merasa mampu membeli kebenaran dengan uang, kekuasaan dan massa. Di rumah tangga, klaim kebenaran ini juga kerapa terjadi, di mana istri/suami merasa paling benar, anak-anak merasa paling benar, begitu juga di lingkungan masyarakat yang klaim-mengklaim bahwa adat (Batak) selalu benar. Anehnya, klaim-klaim seperti ini tak pernah diikuti oleh bukti literasi, bahkan fakta-fakta pendukung.

Di media konvesional dan media sosial, kebenaran yang tampilkan lebh parah lagi. Kebenaran adalah kepentingan, pengaruh dan uang. Media berupaya agar kebenaran dalam pemberitaan mereka menjadi heboh dan viral. Untuk itu kebenaran perlu dipelintir dengan menjauhkan fakta-fakta dibalik sebuah peristiwa. Intinya, media seringkali, bahkan selalu mem-framing kebenaran dan memaksa pembaca setuju dengan pemberitaan mereka. Tujuannya jelas, yakni untuk memengaruhi banyak orang percaya pada pemberitaan mereka. 

Contoh, berita tentang perang Israel-Iran yang telah disinggung di atas, media di Indonesia cenderung memberitakan bahwa Iran telah memenangkan perang. Sebaliknya, media-media di Eropa, Amerika dan negara maju lainnya justru membertikan fakta lebih banyak korban perang yang meninggal di Iran dibanding di pihak Israel. Media merasa perlu harus berbeda. Tentu, karena ada kepentingan dibelakangnya dan membayar mahal berita mereka.

Di sisi lain, manusia konoha +62  seakan tak punya pilihan berita, kecuali berpedoman pada video-video 1 menit di Tiktok. Dengan IQ rata-rata 78, netizen +62 selalu menelan mentah-mentah kotbah-kotbah ustadz di mesjid, dan kadang di tengah jalan umu, atau kotbah para pendeta di mall. Netizen kita seakan tak punya waktu untuk mencari dan membaca/menonton berita pembanding dari media lainnya. Hasilnya, bagi warga konoha, kebenaran adalah caption video tiktok, atau judul berita di koran konvensional dan media-media nakal dan banal.

Dengan cara yang sama juga terjadi ditengah masyarakat kita. Berita perselingkuhan yang hanya tampi di sepintas story orang, langsung diamini, "Bah...bah...bah. Naselingkuh do hape amani Bakkulap i dohot nai Jukkat i ate? Buktinya, berita perselingkuhan itu sedang viral di Tiktok," kata mak Gresia kepada inang-inang yang martandang ke rumahnya. 

Demikianlah kebenaran telah diframing media, dan kebenaran bukanlah kebenaran berdasarkan fakta. Lihatlah acara-acara debat antar-agama di medsos. Si Ustadz A menjual 72 bidadari, si Pendeta B menjual ayat yang membenarkan perpuluhan, atau si Pastor C mengutip cerita santo-santa untuk menggugah umat menyumbang pembangunan aula pastoran.

2. DAMAI SEJAHTERA

Kedamaian juga jadi barang mahal saat ini. Perang ada di mana-mana, mulai dari perang suami-istri, anak-orangtua, perang antar teman sebaya, perang dagang antara AS-Cina, hingga perang rudal antara Israel-Iran serta Rusia dan Ukrania. Bahkan di Indonesia juga terjadi perang yang selalu berulang, yakni persekusi sebagaian orang-orang Islam kepada agama Kristen dan minoritas lainnya.

Sebagaimana telah saya jelaskan pada poin pertama tadi, ketika kebenaran di-framing, maka damai sejahtera pun tak akan tercipta. yang ada damai sejahtera itu akan semakin terancam. Ketika bulan lalu terjadi pemboman Gereja Katolik Koptik di Suriah, tepat saat perayaan Ekaristi sedang berlangsung, maka orang-orang Kristen di Timur tengah mengalami trauma dan ketakutan mereka semakin meningkat.

Di rumah tangga, damai sejahtera juga bisa menjadi sangat mahal ketika suami-istri selalu adu mulut hingga satu sama lain ogah saling menyapa selama berhari-hari. Alih-alih punya niat baik untuk berdamai, mereka saling ngotot pada narsisme dirinya. 

Ingat, di keluarga Batak, meminta maaf itu bukan hal mudah, kecuali dilakukan oleh raja parhata  di pesta-pesta adat lewat umpasa: Tubu ma Singkoru, di toru ni tandiang; Lam denganggan ma ngolu-ngolu, jala mokmohan na marniang" Walaupun marbada (berantem) setelah pembagian juhut/jambar, atau ulos mahal malah dibalas dengan lima ribu batu ini demban

Damai hanya terjadi bila kasih menjadi gerbang persaudaraan diantara kita dengan sesama.


3. SUKACITA

Sukacita adalah buah terbaik dari semua hal baik yang telah kita lakukan. Tanpa kebenaran dan damai sejahtera, kita tak akan pernah mengalami sukacita. Orang yang berpikir positif, percaya kebenaran Tuhan dan mengupayakan kedamaian, ia akan mengalami sukacita. 

Bukan banyaknya uang yang terutama, tetapi bagaimana memaksimalkan uang itu untuk kebahagiaan kita. Bersyukur atas hasil dari kerja keras dan mengeluh karena hasil yang diterima tak sesuai. Orang Batak dengan cerdas mengungkapkan hal ini dalam umpasanya:
  • Aek godang aek laut;dosni roha do sibaen na saut.
  • Sihikkit sinalenggam; Sai tapauneune, asa dapot nadumenggan
Untuk apa kita selalu kuatir, ragu, overthinking, anxiety (cemas alias waswas), minder dan rendah diri dengan hidup kita? Bukankah orang yang tidak bersyukur itu tak akan menikmati hidupnya? Padalah tanpa sukacita, ekonomi (rumah tngga) kita pun justru akan terperosok hingga hidup kita makin merana.

Yesus menginginkan kita menjadi pribadi yang bersyukur atas kasih, anugerah dan rejeki yang Tuhan beri. Tuhan ingin kita menikmati jerih payah kita. Sebagai sumai, anda harusnya bersyukur karena bisa menghidupi keluarga kita. Sebagai istri, Anda mengungkapkan syukur dengan mengelola keuangan rumah tangga dengan baik hingga kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anakmu tercukupi. 

Jangan menjadi suami yang hanya fokus pada parsituakna daripada uang sekolah anaknya. Jangan jadi penjudi dan menjadikan hasil judi untuk menghidupi anak-anakmu. Jangan jadi istri yang selalu ingin tampil cantik dengan riasan-riasan mahal. Sumi-istri harus kerjasama dan saling membahagiakan anggota keluarga, entah miskin atau kaya. Kebahagiaan itu akan tampil lewat sukacita dan merasakan kehadiran Tuhan. Faktanya, sagodang dia pe hepeng tak akan bisa memberi sukacita bagi kita.

Lihatlah, anak-anak muda kita yang selalu berteriak “healing” padahal tak pernah seirus belajar dan tak pernah lelah bekerja membantu orangtuanya. Atau ibu-ibu muda yang minta healing kepada suaminya lewat kebiasaan belanja dan belanja. 

Sukacita bahkan tak akan dialami oleh orangtua yang mengeksploitas bakat anaknya dan menjadikannya tulang punggung ekonomi bagi keluarganya. Ya, tak ada sukacita di sana. Walaupun uang banyak, bila suami merasa tak diperhatikan, istri merasa tak dicintai, serta anak-anak mereka merasa dieksploitasi, maka sukacita tak akan ada dalam keluarga kita.

Sukacita bisa tampil ketika anak-anak sedang libur sekolah minggu dan mengajak mereka sesekali rekreasi bersama keluarga. Bukan sebaliknya, orang tua malah terlalu sibuk menghadiri pesta-pesta yang bahkan tidak urgent untuk dihadiri. 

Kenyataannya, waktu dan uang habis untuk pesta. Pesta-pesta itu juga tak selalu menghadikan sukacita. Kalaupun ia, tapi anak-anak Anda yang masih SD belum bisa menikmati pesta adat yang riweuh  itu. Nyatanya, pesta itu tidak memberimu kebahagiaan. Kamu malah mengeluh soal pengeluaran, sembari mengamini bahwa pesta itu wajib: untuk manggarar adat (membayar adat). 

Itu sebabnya, demi pesta itu, suami-istri selalu berupaya mengalihkan perhatian puteri kecilnya yang bersungut-sungut krena gak dapat libur sekolah. 
Aek siuruk-uruk, tu Silanlan Aek Toba; 
Boruku sai marungut-ungut, ala au dohot inongna sai lao tu pesta las ni roha.

Refleksi: "Kerajaan Allah sudah dekat?"

Inilah kondisi nyata dari dunia kita saat ini: kita hidup ditengah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita palsu setiap hari. Lalu, bagaimana mungkin kita menjadi pekerja (saksi atau utusan untuk menghadirkan Kerajaan Allah) di tengah keluarga, Gereja dan masyarakat di tempat kita tinggal?

Di lingkungan gereja, jangankan jadi pengurus gereja, memimpin doa makan saat partangiangan pun takut. Hingga ini sering jadi alasan tak mau iktu partangiangan seminggu sekali. Jangankan dipilih jadi voorhanger, sebab sangat ditunjuk memimpin lagu saat Partangianan Ama saja, istrinya sudah marungut-ungut. "Molo roha i nian, naeng ma nian jadi parhalado ini Tuhan i amangni si Borjong on. Alai boha ma baenan, martuduk-marhais dope ngolu nama.” Alasan ekonomi seringkali menghambat seseorang bertindak benar, menjadi pembawa damai, hingga bersukacita dalam hidupnya.

Sebagai pengikut Yesus, kita tak bisa menghindari tugas perutusan itu, sebab tuaian banyak tapi sedikit pekerjany. Semua orang yang dibaptis (Katolik) punya kewajiban menjadi saksi Kristus ditengah keluarga, lingkungan sekitar, masyarakt dan dunia. Kalaupun tak menjadi pengurus Gereja atau pewarta, paling tidak kita akan menjadi orang benar, pembawa damai dan sukacita bila menghindari gosip, berhenti mabuk-mabukan, tidak mencuri hak orang lain, melainkan peduli orang terdekat kita lewat tindakan nyata.

Ingat, dalam konteks teologis, kita adalah domba Allah, dan bukan serigala setan. Domba itu baik, sabar, setia dan penurut. Sebaliknya, serigala kerjanya hanya menyerang dan memakan domba-domba. Suasana keluarga yang bahagia adalah keluarga di mana suami-istri dan anak-anak sungguh "hadir" lewat tindakan saling menyapa, makan bersama, dan berdoa bersama dalam penyerahan diri kepada penyertaan Allah dalam hidup mereka. 

Sebagai domba, kita selalu mengandalkan kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita dalam Roh Kudus yang mampu menjadi domba yang berani menghadapi serigala yang siap menerkamnya. Sebagai domba yang bai, kita adalah Saksi Kristus yang selalu siaga mewartakan warta keselamatan bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat!” serta tidak pusing soal bekal atau kasut, dan tidak memberi salam (basa-basi) kepada siapa pun yang tak layak menerima Kristus dalam hati mereka. 

Dengan menjadi pengikut setia Kristus, ia akan mendapat upahnya. Yang terpenting adalah berpikir, berkata dan berlaku benar, menciptakan damai sejahtera dan sukacita. Kata Yesus, janganlah berpindah-pindah rumah: sekali Katolik tetap katolik, bahkan ketika calon suami seorang mubalik!

Hening sejenak

Allah Bapa yang penuh kasih, Engkau menghendaki agar kami mengikuti Putra-Mu dengan sepenuh hati. Kami mohon, bebaskanlah kami dari segala hambatan agar kami dapat menjadi pengikut-pengikut-Nya yang setia dan siap sedia melaksanakan kehendak-Nya. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami, yang bersama Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa kini dan sepanjang masa. Amin.


Inspirasi:
Minggu Biasa XIV-6 Juli 2025
Yes. 66:10-14c   |   Gal. 6:14-18   |   Mzm. 66:1-3a,4-5,6-7a,16,20   |   Lukas 10:1-12.17-20



Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.