Apa artinya cinta ketika seorang pemuda Gen Z menikahi salah satu pengikut atau temannya di media sosial?
"Ya, nantilah dipikirkan itu," kata Nai Pangihutan.
"Yang penting kawin sajalah dulu, bari mereka pikirkan nanti," tambah Nai Pangihutan spontan.
Saat ini, para orangtua memang punya kesulitan menyuruh anak-anaknya untuk menikah.Tentu, karena bagi gen Z dan sesudahnya, dunia kiwari begitu nikmat. Imajinasi mereka tentang masa depan justru dibentengi oleh hasrat untuk memenangkan permainan slot, judi bola, hingga games menarik lainnya.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para orangtua, terutama yang punya anak (putra) atau boru (putri) yang sudah berusia di atas 25 tahun.
Molo boi nian pittor kawin ma si akkangan nami on," kata Amani Lappet tentang anaknya si Lappet yang tetlalu sibuk bermain Slot dibanding mencari pacarnya.
Lihatlah, betapa orangtua lebih senang anaknya cepat menikah dibanding era sebelumnya. Bagaimana tidak, di era digital ini, jumlah gadis 3:1 dari jumlah pria.
Di kampung sendiri sudah semakin banyak gadis yang siap dinikahi, entah karena umurnya sudah pantas atau karena sudah berstatus P3K alias PNS.
Alasan kedua, kalau dulu si anak harus bekerja keras untuk mrngumpulkan modal untuk sinamot dan biaya pesta, kini prang tua justru sudahmempersiapkannya jauh jauh hari.
Orangtua di era ini sadar bahwa mencari uang jauh lebih mudah dibanding menyurih anak menikah. Konsekuensinya, anak lelaki yang masih tinggal bersama mereka hingga usia 30 tahunan lebih baik dinikahkan secepatnya.
Toh Sinamot sudah "diamankan" orangtua. Biaya pesta sudah pasti disediakan, termasuk siapa saja yang akan diundang. Mau minjem CU atau harus bongkar tabungan tak jadi soal bagi orangtua.
Ini lebih baik daripada telinga mereka sakit mendengar omongan tetangga yang selalu bertanya, "Andigan do pestai?" Orangtua juga tak mau lagi direpotkan anaknya yang saban malam begadang dan gak bangun di pagi hari.
"Anak muda tinggal bersama orangtua: bisa jadi beban, walaupun bisa meringankan pekerjaan di ladang atau sawah mereka. Tapi sampai kapan?" curhat Nai Ratna di suatu pagi.
Zaman memang berubah, dan kita turut berubah di dalamnya. Ketika sefal hal menjadi pragmatis, maka cinta pun akan fampil pragmatis.
Prinsip "do ut des" (saya memberi supaya kau memberi) menjadi sentral. Meminjam perkataan netizen di medsos Thre@ds, "Aku membutuhkan pria umur 40-50 tahun. Gak perlu kaya karena segala kebutihannya sudah saya siapkan. Yang penting pria itu selalu ada untukku dan selalu mencintaiku selamanya".
Ringkasnya, "Hei pria, kau kubeli untuk memenuhi kebutuhan psikospiritualku. Sisanya saya yang akan memenuhi yang lainnya."
Sebab, bagi Gen Z, cinta berarti memiliki, dan bukan proses berkelanjutan (love is not to be, but to have). Iti yang menyebabkan perceraian menjadi fenomena biasa di tengah publik saat ini.
Kematangan berpikir dan sikap kedewasaan menjadi sangat langka. Emosi dan hasrat sesaat menjadi dominan. Ketika keinginan suami atau istri sudah terpenuhi, maka saatnya mencari tantangan baru.
Tapi, bagaimanapun, seperti pesan seorang raja parhata, "Molo dang sinuru anaknoba hatop-hatop mangoli, ise be manorushon marga niba on?
Artinya, kawin itu dibutuhkan untuk melanjutkan keturunan. Karena anak adalah si penerima warisan marga atau usaha orangtuanya, maka ia harus menikah. Jelas?
Jadi, "Andigan do pesta i?" Kapan kau menikah? Kok lama kali kau menikah. Menikahlah sebelum kau tua dan lanokon (dikerubunin lalat karena udah bau bangke). Ha ha ha....😃
#SaiNaAdongDo

Alasan kedua, kalau dulu si anak harus bekerja keras untuk mrngumpulkan modal untuk sinamot dan biaya pesta, kini prang tua justru sudahmempersiapkannya jauh jauh hari.
Orangtua di era ini sadar bahwa mencari uang jauh lebih mudah dibanding menyurih anak menikah. Konsekuensinya, anak lelaki yang masih tinggal bersama mereka hingga usia 30 tahunan lebih baik dinikahkan secepatnya.
Toh Sinamot sudah "diamankan" orangtua. Biaya pesta sudah pasti disediakan, termasuk siapa saja yang akan diundang. Mau minjem CU atau harus bongkar tabungan tak jadi soal bagi orangtua.
Ini lebih baik daripada telinga mereka sakit mendengar omongan tetangga yang selalu bertanya, "Andigan do pestai?" Orangtua juga tak mau lagi direpotkan anaknya yang saban malam begadang dan gak bangun di pagi hari.
"Anak muda tinggal bersama orangtua: bisa jadi beban, walaupun bisa meringankan pekerjaan di ladang atau sawah mereka. Tapi sampai kapan?" curhat Nai Ratna di suatu pagi.
Zaman memang berubah, dan kita turut berubah di dalamnya. Ketika sefal hal menjadi pragmatis, maka cinta pun akan fampil pragmatis.
Prinsip "do ut des" (saya memberi supaya kau memberi) menjadi sentral. Meminjam perkataan netizen di medsos Thre@ds, "Aku membutuhkan pria umur 40-50 tahun. Gak perlu kaya karena segala kebutihannya sudah saya siapkan. Yang penting pria itu selalu ada untukku dan selalu mencintaiku selamanya".
Ringkasnya, "Hei pria, kau kubeli untuk memenuhi kebutuhan psikospiritualku. Sisanya saya yang akan memenuhi yang lainnya."
Sebab, bagi Gen Z, cinta berarti memiliki, dan bukan proses berkelanjutan (love is not to be, but to have). Iti yang menyebabkan perceraian menjadi fenomena biasa di tengah publik saat ini.
Kematangan berpikir dan sikap kedewasaan menjadi sangat langka. Emosi dan hasrat sesaat menjadi dominan. Ketika keinginan suami atau istri sudah terpenuhi, maka saatnya mencari tantangan baru.
Tapi, bagaimanapun, seperti pesan seorang raja parhata, "Molo dang sinuru anaknoba hatop-hatop mangoli, ise be manorushon marga niba on?
Artinya, kawin itu dibutuhkan untuk melanjutkan keturunan. Karena anak adalah si penerima warisan marga atau usaha orangtuanya, maka ia harus menikah. Jelas?
Jadi, "Andigan do pesta i?" Kapan kau menikah? Kok lama kali kau menikah. Menikahlah sebelum kau tua dan lanokon (dikerubunin lalat karena udah bau bangke). Ha ha ha....😃
#SaiNaAdongDo

Posting Komentar