iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Liturgi Perkawinan pada Konsili Vatikan II dan Sesudahnya

Sejarah Teologi Perkawinan Dalam Gereja Katolik

Setelah Konsili Vatikan II, ritus perkawinan Gereja Katolik direvisi, secara lebih fleksibel, yang disesuaikan dengan kondisi yang berbeda-beda, serta lebih memberi preferensi pada aspek personal.

Sebagai contohnya, sejak 1969 pasangan yang hendak menikah dapat memilih bacaan Kitab Suci yang hendak dibacakan pada perayaan perkawinan.

Rumusan misa yang digunakan beraneka ragam untuk mengekspresikan perjanjian nikah, bhkan dapat menggunakan puisi atau bacaan non kitab suci yang memiliki makna liturgis. Demikian juga dapat menyusun sendiri upacara perkawinan mereka selama itu mengekspresikan pengertian dasar Kristiani mengenai perkawinan.

Uskup-uskup di berbagai negara mulai menyatukan unsur-unsur adat dalam perayaan perkawinan sejauh dimungkinkan, dan membuat ritual untuk mengekspresikan pengertian perkawinan Kristiani dalam simbol dan tata gerak yang disesuiakan dengan budaya masing-masing.

Setelah konsili Vatikan II, regulasi dan teologi Gereja tentang perkawinan lebih bersifat liberal, bergeser dari pengertian perkawinan yang sangat legalistik ke arah teori dan praktek yang lebih personal.

Teologi perkawinan bergeser dari penger-tian perkawinan sebagai suatu kontrak atau ikatan (seperti dalam pandangan tentang perkawinan abad ke-19) ke arah yang lebih liturgis dengan identifikasi skriptural sakramen perkawinan itu sendiri.

Bagi Edward Schillebeeckx, perayaan perkawinan harus menjadi suatu peristiwa personal untuk memasuki realitas cinta ilahi, di dalam dan melalui cinta manusiawi di antara dua pribadi, dimana mereka saling memiliki satu sama lain dan menegaskan pengertian perkawinan Kristiani sebagai kesatuan perjanjian dan kerjasama.

Perkawinan itu sendiri seharusnya menjadi tanda sakramental dari peristiwa penebusan Tuhan dalam kehidupan manusia dan kesetiaan serta devosi diantara Kristus dan Gereja (Edward Schillebeeckx, 1965; bdk Joseph Martos, 1995: 379-385).

Lebih lanjut, Karl Rahner menegaskan bahwa perkawinan Kristiani merupakan tanda unik inkarnasi, misteri di mana realitas transenden Tuhan menjadi daging di dalam pribadi dan kehidupan Kristus, yang terjadi pada saat pria dan wanita menginkarnasikan rahmat ilahi yang mentransformasikan di dalam cinta total satu sama lain.

Perkawinan menjadi suatu jalan di mana Gereja menjadi ada (being), sebagaimana Kristus terus hadir di dunia. Perkawinan merupakan suatu aktualiasi kodrat Gereja di dalam dan melalui cinta sehari-hari (Karl Rahner, 1967:154dst) yang menginkarnasi di mana pribadi yang menikah itu saling memiliki.

Topik: Teologi Perkawinan Abad Awal Kekristenan


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.