iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Perkawinan Adat dari Sudut Pandang Kristiani

Perkawinan Adat dari Sudut Pandang Kristiani

Unsur-unsur hakiki perkawinan, yakni bahwa perkawinan terjadi antara pria dan wanita jelas terdapat dalam adat Batak Toba.

Sementara unsur yang tidak ada di dalamnya adalah sakramentalitas, kendati di dalamnya terdapat unsur keilahian.

Orang Batak Toba boleh berbangga hati, sebab tidak semua adat yang ada di Indonesia memiliki ritus perkawinan seperti yang mereka miliki (Sinaga dalam Jurnal SAWI, No.3, 4/1990:17).

Keberadaan upacara itu tak terlepas dari pengaruh kekristenan yang sudah tertanam lama di tanah Batak. Menarik bahwa dalam upacara perkawinan adat Batak Toba sudah terdapat “janji perkawinan” layaknya dalam upacara perkawinan Kristen.

Bedanya, janji perkawinan itu tidak menentukan sah atau tidak sahnya sebuah perkawinan, sebab sahnya sebuah perkawinan dalam adat Batak Toba adalah keseluruhan proses yang sesuai dengan adat Batak Toba itu sendiri.

Jadi bukan hanya oleh satu unsur saja. Unsur lain yang sejajar dengan ritus perkawinan Kristen, kendati dengan pendasaran yang berbeda, adalah sifat monogami dan tak terceraikannya perkawinan.

Kata berbeda di sini menunjuk pada keberadaaan secara faktis (orang Batak Toba jarang mempunyai dua istri), karena secara prinsipiil tak jarang sifat monogam dan tak terceraikan itu diabaikan demi keturunan (bila istri mandul).

Hal yang membuat perkawinan menjadi tangguh (monogam dan tak terceraikan) sehingga perceraian jarang terjadi adalah dimensi komuniter yang melekat kuat dalam diri orang Batak Toba. Hal ini dapat kita lihat dalam rumusan perjanjian nikah perjanjian nikah yang mereka ucapkan. Tujuan perkawinan (bahkan menjadi tujuan hidup) bagi orang Batak Toba pertama-tama adalah demi keturunan.

Dalam ritus persiapan perkawinan hal ini diungkapkan pada saat merias pengantin puteri. Hiasan sanggul besar bertusukkan tiga peniti emas (ke atas, ke kanan dan ke kiri) melambangkan kesuburan atau kesanggupan melahirkan anak putera-dan puteri.

Dalam kerangka itu pulalah impotensi dan kemandulan kerapkali dijadikan alasan untuk memutuskan ikatan perkawinan sebelumnya dan berpoligami. Pentingnya anak dan keturunan dalam kerangka perkawinan adat Batak, sekali lagi tak bisa dilepaskan dari misi untuk melestarikan hubungan kekerabatan (antropologis).

Kenyataan inilah yang turut membantu penulis—dalam rangka memberi bantuan lewat perayaan liturgi perkawinan kepada umat beriman kristiani—untuk memberi penilaian terhadap perkawinan adat Batak Toba (baca: inkulturasi), khususnya melalui pendekatan liturgi.

Selanjutnya: Adaptasi Kultural Perkawinan Adat
Topik Pembahasan: Membangun Ritus Inkulturatif Perkawinan Adat Batak Toba