iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Adaptasi Kultural Perkawinan Adat

Adaptasi Kultural Perkawinan Adat

a. Penyesuaian Kultural

Liturgi adalah adalah perayaan iman dalam Roh dan kebenaran; atau sebagai pelaksanaan tugas keimamatan Kristus (SC 7). Demi hakikat itu, penyesuaian-penyesuaian kultural merupakan faktor yang sangat penting, bukan sebaliknya (SC 11; SC 37-40; bdk. SC 2e).

Adapun tujuan dari penyesuaian, tepatnya inkulturasi ini adalah memudahkan umat beriman untuk mengerti nilai-nilai kristiani lewat simbol-simbol yang tidak asing. Oleh sebab liturgi sebagai perayaan terdiri dari simbol-simbol, maka penyesuaian pastoral-liturgis yang diusahakan dalam tulisan ini sangat mendukung partisipasi umat beriman, dalam hal ini umat beriman Katolik dengan latar belakang kultur Batak Toba.

Jadi, inkulturasi ini bukanlah untuk kepentingan adat Bata Toba, tetapi untuk kepentingan liturgi itu sendiri; dan liturgi yang sejati adalah merayakan kehadiran Tuhan yang aktif berkarya di dalam segala sesuatu.


b. Kriteria Umum Mengenai Penyesuaian Bidang Liturgi

Usaha inkulturasi liturgi perkawinan di sini haruslah memadukan dua unsur penting, yakni nilai-nilai spiritual yang terungkap dalam simbol-simbol untuk menghidupkan iman umat dan nilai-nilai kebersamaan umat di tempat dan situasi yang sedang dilangsungkan perayaan liturgi perkawinan itu, yakni dalam adat Batak Toba.

Hal ini penting, mengingat (kultur Batak Toba) (kultur Batak Toba) upacara-upacara liturgi adalah tanda dan simbol yang memungkinkan umat beriman memahami karya Kristus dalam iman yang mereka miliki.

Tanda-tanda yang terdapat dalam ritus perkawinan adat Batak Toba mempunyai arti kalau berada dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain dalam sistem perayaan liturgi perkawinan adat Batak Toba itu sendiri; dan simbol-simbol perkawinan yang terdapat di dalamnya harus mengandung pewahyuan biblis dan tradisi dogmatis Gereja.

Ini berarti kreativitas pastoral yang benar dan sehat harus berpatok pada doktrin-doktrin yang pasti dan teologi yang memadai (Liturgi yang sah dan resmi tertuang dalam SC 37-40).

Untuk itu diperlukan penelitian teologis, sejarah dan pastoral yang cermat tentang tiap bagian liturgi perkawinan adat Batak Toba yang hendak diinkulturasi, sebab semua manfaat baru adalah mungkin jikalau manfaat yang benar dan pasti bagi Gereja menuntutnya (Gereja terbuka pada unsur-unsur baru yang sah - SC 23); bdk. Peranan Kitab Suci di dalam Liturgi - SC 24).

Keseluruhan persoalan ini memperlihatkan betapa pentingnya peranan para ahli ilmu sosial dan antropologi budaya, yang di satu pihak meneliti secara mendalam menurut bidangnya dan di lain pihak rela menerima kenyataan bahwa “biasanya hukum-hukum liturgi mengandung kesulitan-kesulitan khusus dengan penyesuaian kultural”(SC 40,3).


c. Kemungkinan Penerapan

Sejauh pengamatan saya, nilai-nilai perkawinan adat Batak Toba yang dapat dipertimbangkan untuk liturgi perkawinan adat Batak Toba adalah:
  1. Penentuan Jodoh - Saat musyawarah dapat diisi dengan doa mohon penerangan Roh Kudus.

  2. Peminangan - Peranan pemimpin doa pada akhir upacara pertunangan dapat dikristen-kan, dalam sikap badan dan cara adat setempat.

  3. Pembukaan (Sibuha-buhai)- Mempelai berpakaian adat dengan simbol-simbolnya. Ampang yang ditutup dengan ulos, pantas menda-pat perhatian karena nilai simbolis-nya yang mewakili mempelai laki-laki dan seluruh kerabatnya. Sebaik-nya ampang ditempatkan pada panti imam dan jelas dilihat seluruh umat. Demikian pula pinggan pengantin dan tikar pengantin.

  4. Janji Perkawinan dan Doa Pemberkatan - Dapat disempurnakan lagi dengan nilai-nilai biblis dan teologis Katolik. Sebagai catatatan, apabila kita melihat teks janji perka-winan adat Batak Toba ada kesan bahwa peranan mempelai laki-laki lebih kuat daripada peranan mem-pelai wanita, sehingga teks tersebut hendaknya dilengkapi dengan nilai kesamaan derajat dalam saling menopang, saling berkorban demi keluhuran ikatan cinta.

  5. Mangulosi - Peran ulos yang menutupi bahu kedua mempelai adalah sangat tepat dan menarik; kemudian imam mere-ciki mereka dengan air suci dan menaruh beras ke atas mereka.

  6. Mahar dan balasnya - Tak perlu digabungkan di dalam Liturgi Perkawinan, tetapi dibiarkan seperti menurut adat saja. Tepatnya setelah makan bersama selesai, tetapi hendaknya didahului oleh kata-kata yang memudahkan semua orang untuk menghayati moment itu sebagai ikatan cinta kristiani antara segenap keluarga dari kedua belah pihak; dan sungguh merupakan puncak dari perjamuan “agape” tersebut.

    Konsekuensinya, menjelang penutupan Perayaan Ekaristi (bila pemberkatan perkawinan dengan Perayaan Ekaristi) atau upacara pemberkatan (tanpa Perayaan Ekaristi) dapat diberi waktu luang untuk ritus adat yang mengawali perjamuan bersama (pesta adat) di luar upacara Gereja.

    Dengan demiki-an “makan bersama” di dalam pesta adat itu sungguh-sungguh dihayati sebagai “agape"(Bdk. St. Hipollitus dalam bukunya “Tradisi Apostolik” yang membedakan perjamuan Ekaristi dari Perjamuan Cinta dan Persaudaraan (Agape), tetapi keduanya saling menyambung, dengan tempat agape ialah di rumah keluarga (Frank C. Senn,1990:40).

Berhubung fokus dari tulisan ini adalah liturgi perkawinan, khususnya ritus pemberkatan di Gereja, maka bagian upacara yang lebih mendapat penekanan dalam usaha inkulturasi adalah ritus sibuhabuhai, janji perkawinan, doa pemberkatan, peranan ulos (ritus mangulosi), ditambah pemakaian simbol-simbol adat lain yang juga terdapat dalam ritus pemberkatan itu.

Simbol-simbol menjadi perhatian utama, karena memang tulisan ini memfokuskan diri pada analisa kritis terhadap simbol-simbol perkawinan adat Batak Toba.

Selanjutnya: Simbol dan Tindakan Simbolis Ritus Perkawinan Adat 

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.