iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Bocah Karbitan

Anak Karbitan
Anak-anak yang digegas menjadi cepat mekar, cepat matang cepat layu dan lemas.
Pendidikan bagi anak usia dini lagi marak-maraknya. Di mana-mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui sekolah yang tersedia. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik.

Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga puluhan juta Rupiah per bulannya. 

Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. 

Begitulah dunia pendidikan kita saat ini tampil penuh energik dengan denyut kegairahan, termasuk penuh oleh tawaran sekolah dengan fasilitas menggiurkan yang segera akan menguras isi kantung orangtua ...


Tawanan Pasar (Captive Market)

Kondisi di atas tampaknya biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat seraya membaca berbagai informasi terkait pendidikan anak usia dini, maka - mengutip istilah Cak Lontong, "Anda akan terkejut!" 

Bagaimana tidak? Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan anak usia dini melakukan banyak kesalahan, disamping ketidakpatutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidaktahuan mereka.


Anak-anak pun digas dan digegas..

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Sebut saja mengenai orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Benar sistem pendidikan usia dini saat ini tak jarang menelurkan anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual seperti mahluk gaib. 

Anak-anak usia dini jaman ini seakan sudah terbiasa menjalani akselerasi dalam pendidikannya, antara lain lewat pengayaan kecakapan-kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah. Dua kisah berikut hendaknya menjadi pertimbangan kita dalam mendidik anak.


Kisah Edith, si Kecil yang Ajaib

Pada tahun 1952, di mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin. 

Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! 

Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. 

Ketika usianya menginjak 15 tahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. 

Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. 


Einstien, si "Dungu" Yang Sangat Cerdas 

Dalam banyak kasus orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya justru berasalah dari anak-anak yang biasa saja. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. 

Einstein dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. 

Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training", latihan pemberdayaan otak anak sejak dini.

Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. 

Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-rnana, di Indonesia. 


Lusius Sinurat
(Disarikan ulang dengan berbagai perubahan dari Harian Kompas (xx, xx, 2009)

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.