iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Memaknai Waktu, Meretas Realitas

Memaknai Waktu Meretas Realitas
Dalam perumpamaan tentang si Miskin dan si Kaya (Luk 16:19-31) Yesus mendedahkan bahwa si Kaya adalah mereka elama hidupnya ia berjubah ungu dan kain halus dan bersukaria dalam kekayaan. Lalu ia mati, dikubur dan menderita sengsara di alam maut. selanjutanya ia melihat Lazarus dipangkuan Abraham di surga.

Amos bahkan pernah menegur kaum ini: "Celakalah orang-orang yang: Merasa aman di Sion dan tenteram di Samaria, Berbaring di tempat tidur dari gading dan duduk berjuntai ranjang, minum anggur dari bokor dan berurap dari minyak paling baik. Sebab merekaa akan pergi sebagai orang buangan. (Amos 1a:6-7)

Sementara si Miskin  disimbolkan oleh sosok Lazarus: tubuhnya penuh dengan borok dan menderita kelaparan; lalu ia mati dan dibawa oleh malaikat ke pangkuan Abraham di surga.

Berikut percakapan antara Abraham (A) dan si Kaya (K)

K: "Bapa Abaraham kasihanilah aku. SURUHLAH Lazarus mencelupkan air ke dalam lidahku sebab aku kesakitan dalam nayala api ini."

A: "Anakku, ingatlah! Engkau telah menerima segala yang baik semasa hidupmu, Sedangkan Lazarus (menerima) segala yang buruk. Sekarang ia mendapatkan penghiburan dan engkau menderita. Di antara kami (surga) dan engkau (neraka) terbantang jurang yang tak terseberangi."

K: "SURUHLAH ia (Lazarus) ke rumah ayahkudan memperingatkan ke 5 saduaraku dengan sungguh-sungguh; agar mereka tidak masuk ke dalam penderitaan ini."

A: "Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi. Baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu."

K: "Tidak, bapa Abraham. Jika seorang datang dari antara orang mati mereka akan bertobat."

A: "Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati. [Bdk. 1 Tim 6:11-16: Jauhilah segala kejahatan. Kejarlah keadilan, ibadah dan kesetiaan, kasih kesabaran dan kelembutan. Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Taatilah perintah itu tanpa cacat dan tanpa cela hingga Tuhan kita, Yesus Kristus (datang) menyatakan diriNya."]


Meretas Realitas

Hidup yang bertumbuh dari masa lalu dan berpijak di masa kini selalu berorientasi ke masa depan. Itu berarti di tiap masa atau waktu yang diberikan Tuhan harus kita maknai dengan sungguh. [bdk. Pengkotbah 3: segala sesuatu ada waktunya).

Si Kaya dalam perumpamaan pada Injil Luk 16:19-31 tak pernah berpikir akan akan apa yang terjadi di masa yang akan datang. Ia hanya fokus pada kenikmatan di masa sekarang. [bdk. tampaknya ia dan kelima saduaranya yang masih hidup hanya menghabiskan harta ayahnya (dari masa lalu) , dan tidak ikut mencarinya].

Di satu sisi kita diajarkan dan dibimbing Allah untuk menjadi orang baik dan benar sepanjang hidup kita sehingga kelak masuk surga. Allah telah mengutus Musa dan para Nabi; bahkan PuteraNya sendiri Yesus Kristus untuk mewujudkan misiNya. Tapi di di sisi lain, manusia memang keras kapala. Jangkan melaksanakan perintah Allah yang telah disampaikan para nabi itu; mendengarkan saja mereka tak sudi.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kendati sebetulnya manusia tau konsekuensi dari segala kata, tindakan bahkan hidupnya di masa kini bagi masa depannya.


Menggugat Waktu

Pada kenyataannya kita telah disuguhi berbagai aturan hidup yang menggiring arah langkah kita ke masa mendatang. Selain Kitab Suci, kita juga bisa membaca jutaan buku dan sarana pembelajaranan atau orang lain yang berbicara mengenai jalan, kebenaran dan hidup yang dikehendaki Allah.

Kita mjengetahui hal itu. Persoalnnya, kita tidak hidup hanya untuk mengetahui sesuatu, tapi juga mengamalkannya dalam hidup.

Kita kerap merasa layak untuk menyombongkan diri karena mengetahui sesuatu hal. Kita tidak sadar bahwa “mengetahui” itu selalu terikat ruang dan waktu. Orang yang mengetahui dan menguasai sesuatu hal tidak lantas berarti mengetahui semua hal.

Seorang pastor seharusnya memang menjadi pelayan kebaikan tanpa pamrih. Tapi jangan heran bila seorang porhanger atau ketua lingkungan jauh lebih tulus dan tanpa pamrih dalam pelayanannya. 

Seorang petani mungkin saja tahu bagaimana menanam, merawat dan memanen padi atau tanaman tertentu dengan sangat baik. Tapi jangan heran bila hasilnya hampir selalu pas untuk menutupi utang kepada tokeh yang cerdas memutar uang.

Demikian juga seorang polisi tahu segala sesuatu mengenai peraturan lalulintas. Tapi jangan heran bila seorang frater lebih patuh aturan berlalulintas.

Saya hanya mau mengatakan bahwa pengetahuan tak cukup untuk memaknai hidup. Selain perwujudan dari pengetahuan itu, kita juga diajak untuk membagikan apa yang kita ketahui kepada sesama kita. Pengetahuan, bahkan seluruh eksistensi diri kita bukanlah sesuatu yang mutlak kita miliki, melainkan sesuatu yang mutlak kita bagi.

Silahkan pak polisi membantu proses pembuatan SIM nya si Pastor dan si petani; petani menyuplai beras/hasil bumi kepada si pastor dan si polisi! Silahkan pastor memberikan pelayanan rohani kepada si petani dan si polisi!

Sekali lagi, sungguh tidak ada orang yang serba tahu segala sesuatu. Makanya kita enggak boleh merasa sok hebat dan paling tahu dibanding siapapun di sekitar kita! Si pastor tidak pasti lebih pintar dibanding plisi atau petani. Demikian juga sebaliknya.

Ntar malu lho kalo belakangan tau orang lain lebih pinter; atau ciut kalo ketemu sama penguasa; atas menyesal bila dengan pengetahuan yang ia miliki tidak mampu menjadikan dirinya lebih baik daripada tetangganya yang ia anggap bodoh di sampingnya.

Saya jadi teringat akan perkataan Yesus berikut ini: “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.”

Setiap orang memang berhak menjadi pintar dan mengetahui banyak hal; tetapi sejalan dengan itu seseorang juga wajib membagikan pengetahuannya itu kepada sesama, sembari tetap diingat bahwa segenap kemampuan dan potensinya itu berasal dari Allah. Si Kaya bukannya tidak pernah dengar atau tidak tahu tentang Kitab Suci dan perintah Allah yang diwartakan oleh Musa dan para nabi yang tersurat di dalamnya.

Tetapi ia lebih mementingkan diri dengan segala kuasa dan harta yang dimiliknya. Sebaliknya si Miskin Lazarus bisa jadi tidak tahu tentang warta Allah tersebut pun tak memiliki banyak harta, tapi ia sungguh meyakini bahwa seganap hidupnya adalah milik Allah.

Dia tidak mau ambil pusing dengan apa yang dimilikinya. Sebaliknya ia berusaha tetap menjadi milik Allah; dan sesudah mati ia pun mendapatkan kebahagiaan yang ia cita-citakan. Bisa saja ia tak memiliki berlimpah harta, tapi ia mampu memenuhi hidupnya dengan membiarkan dirinya dimiliki Allah. Amin.

Inspirasi: Amos 1a:6-7; 1 Tim 6:11-16; Luk 16:19-31


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.