iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dari Bumi Kugapai Surga

Dari Bumi Kugapai Surga
Dari Bumi Kugapai Surga


Ada dua hal yang pasti dalam hidup kita, yakni hidup dan mati. sementara persoalan pra-kehidupan manusia adalah dikandung dan dilahirkan.

Dikandung” mengandaikan situasi yang pasti, menentu, dan tak terpisahkan. Dengan kelahiran manusia dibuang dari situasi ini: situasi saat dikandung. 

Selanjutnya, "dilahirkan" membabarkan situasi yang tidak pasti, tidak menentu dan terbuka; hanya ada satu kepastian, yakni kematian. Dengan “kelahiran” muncul kesadaran, karena manusia dianugerahi akal budi. 

Kesadaran ini mencakup: kesadaran akan diri dan sesama; dan Kesadaran akan masa lampau dan kemungkinan-kemungkinan di masa yang akan datang. 


Jendela 

Di titik inilah muncul kesadaran akan dirinya seabagai entitas yang terpisah, kesepian, dan tak berdaya. Kesadaran ini selanjutnya membangkitkan kegelisahan, yang kemudian melahirkan rasa malu dan rasa bersalah.

Di kemudian hari, manusia berusaha mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesepiannya itu. Salah satu bentuk pencapaiannya adalah membangun kesatuan interpersonal dan peleburan dengan pribadi lain melalui cinta.

Mencintai dalam arti a symbiotic union (hubungan simbiotik antara ibu & bayi yang dikandungnya), berarti merawat, mengetahui, menanggapi, mengiyakan, menikmati, menghidupkan, dan menambah kegairahan. 

Pendeknya, mencintai adalah proses memperbaharui diri dalam arti “menjadi”, bukan dalam arti “memiliki”. Maksud “memiliki” di sini adalah mencintai seseorang dengan membatasi kebebasan dari orang yang dicintai tersebut. Tidak mengherankan apabila suatu saat orang yang dicintainya akan dicekik, dilemahkan, dipenjarakan, dimatilemaskan, bahkan dibunuh. 

Sebaliknya, mencintai dalam arti “menjadi” mengandung dimensi saling memberi dan saling merangsang dan melahirkan manusia baru atau komunitas baru yang kemudia akan memperbaiki dunia dengan segala konsekuensinya.


Menuju Manusia Baru

Manusia baru ialah manusia yang struktur dan wataknya memiliki kualitas-kualitas serba positif. Ia bersedia membuang segala bentuk usaha “memiliki” agar ia sepenuhnya “menjadi”. 

Artinya rasa aman, identitas diri, dan kepercayaan akan dibangunnya di atas kebutuhan akan pertalian cinta kasih, solidaritas dengan lingkungan sekitar; bukan di atas hasrat untuk memiliki sesuatu. 

Ia menerima kenyataan bahwa hidup bukan pemberian seseorang atau sesuatu di luar dirinya. Ia sepenuhnya hadir di mana orang berada. Kegembiraan atau kebahagiaannya datang bukan dari menimbun dan mendindas, melainkan dari memberi dan berbagi. 

Seorang "manusia baru" juga sungguh mencintai dan hormati kehidupan dan manifestasinya. Hidupnya tanpa ilusi karena ia telah mencapai keadaan yang tak membutuhkan ilusi. Ia pun akan mengembangkan semangat cinta kasih serentak berpikir kritis, namun tanpa sentimentil. Ia juga akan melepaskan cinta diri berlebihan dan menerima keterbatasan yang melekat pada eksistensinya.

Seorang manusia baru akan menjadikan pertumbuhan sepenuhnya dari diri sendiri dan sesama sebagai tujuan hidup yang paling utama. Lagi, ia tahu bahwa untuk mencapai tujuan diperlukan disiplin dan sikap menghargai realitas yang ada. 

Ia akan mengembangkan imajinasi bukan sebagai media pelarian diri dari keadaan yang sudah tak tertahankan, melainkan sebagai antisipasi atas kemungkinan-kemungkinan nyata. Karena ia mengenal diri sendiri, amak ia samasekali tidak akan menipu orang lain karena memang tak ada orang yang mau ditipu orang lain. 

Ia juga akan merasakan kemanunggalan dengan segala kehidupan serta melepasakan tujuan untuk menundukkan, menaklukkan, mengeksploitasi, memerkosa dan menghancurkan semesta. 

Tak heran bila seorang manusia baru sungguh mengerti dan bekerja sama dengan alam; hingga pada akhirnya ia juga sungguh tahu bahwa kejahatan dan kehancuran merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari kegagalan untuk bertumbuh. 

Ia sadar bahwa hanya sedikit saja yang telah mencapai kesempurnaan dalam semua kualitas. Selanjutnya, kebebasan dipahaminya sebagai kemungkinan untuk menjadi diri sendiri, dan kebahagiaan ia mengerti dalam proses penggairahan yang terus menerus tumbuh, apapun titik paling jauh yang ditakdirkan dapat dicapai seseorang. 

Mengapa? Karena hidup sepenuhnya mungkin begitu memuaskan sehingga tidak banyak peluang bagi tumbuhnya kecemasan tentang apa yang bisa atau tak bisa dicapai


Masyarakat Baru
Masyarakat baru (Erich Fromm, filsuf sosial menyebutnya "masyarakat sehat") ialah masyarakat yang membiarkan anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain sehingga menjadi produktif dan kreatif, mampu mempertajam sekaligus memperhalus tenaga, pikiran, dan obyektivitas mereka. 

Masyarakat baru juga akan mempermudah timbulnya individu-individu yang berfungsi secara total. Sebaliknya, masyarakat yang sakit akan menimbulkan\permusuhan, kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada para anggotanya, sehingga akan melahirkan individu yang sakit pula.


Lantas dimana peran agama? 

Agama semestinya berfungsi sebagai lembaga yang dihuni oleh sekumpulan manusia baru atau masyarakat sehat. Inilah fungsi sesungguhnya dari semua agama yang ada. Materi-materi yang digunakan sebagai pegangan, baik lisan maupun tulisan memang memuat pokok ajaran yang mengarah kepada lahirnya manusia atau masyarakat baru tadi. 

Lagi, tokoh-tokoh perintis dan pendiri atau inspirator bagi lahirnya agama tertentu pasti mengidamkan hal itu. Sidharta Gautama, Muhammad, Musa, dan terutama Yesus, tokoh sentral dibalik lahirnya agama Kristen, secara total mengabdikan dirinya bagi misi di atas. 

Yesus, misalnya, lewat perkataan, tindakan, bahkan seluruh hidupNya bahkan mengekspresikan kualitas hidup yang serba mumpuni. Segala penghalang bagi kebenaran diberantasnya. Setiap penyakit dan penderitaan disingkirkannya dari dunia. Bahkan, orang yang merasa kesepian dan terasing dipeluknya erat.

Yesus sebagai tokoh sentral dalam pemberantasan manusia dan masyarakat yang sakit serta pembangun hidup baru, hidup yang dilandasi cintakasih kepada Tuhan dan sesama, sungguh kami kagumi. Demikianlah Yesus mewartakan Cinta Kasih selama hidupnya yang singkat, padat tapi tepat. Kurang lebih sama, para pendiri dan inspirator bagi lahirnya agama-agama pun melakukan hal yang sama.

*) Diringkas dari: Lusius Sinurat, "Kebebasan Individu dan Modernisme" (skripsi). Bandung: Unpar, 2012.

2 komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.
  1. Sangat Menarik dan Bisa Jadikan Bahan Renungan.
    Makasih,
    J.Krisnomo

    BalasHapus
  2. Makasih pak atas komentarnya ya.
    Selamat hari Minggu.
    Tuhan memberkati.
    Sekalian aku pamit deh hehehe..

    BalasHapus