iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kesederhanaan Natal Yang Diteriakkan

Kesederhanaan Natal Yang Diteriakkan





Para imam pun mulai memoles kotbahnya sepanjang masa Natal yang relatif singkat. Kategori demi kategori tentang umat Lingkungan atau Wilayah atau Stasi mana yang terbaik juga menjadi sangat aneh.

Di satu gereja paroki, tiba-tiba si Pastor X mengatakan kalau Wilayah tertentu lebih baik dibanding wilayah lainnya hanya karena tahun ini mereka merayakan Natal secara besar-besaran. Bahkan - menurut cerita si pastor - mereka membuka door-prize dengan hadiah mobil dan laptop segala.

Tragisnya di saat ada umat dari Wilayah atau Lingkungan lain (bahkan dari satu paroki yang sama) mulai mengkritik fakta irrasional di atas, maka hadirlah para 'pembela gereja' dengan mengatakan, "Sirik aje loe! Kalau enggak sanggup bilang, ntar kita sumbang deh! ... bla.. bla.. bla... !"

Untuk kesekian kalinya saya bertanya kepada diri sendiri, juga kepada Anda yang merayakan Natal, masih mungkinkah Natal dirayakan dalam kesederhanaan dalam arti yang sesungguhnya ? Jadi, kesederhanaan itu kompromistis dong?

Sungguh sulit menjawab pertanyaan di atas. Sebab, bila Anda jeli mengamati fenomena perayaan Natal sebagaimana telah dipaparkan panjang lebar tadi, maka Anda akan sepakat dengan saya untuk mengatakan bahwa Perayaan Natal yang ada adalah perayaan kesederhanaan yang kompromistis: gimana gue dong... gimana kami aje keles!

Mari sejenak saya ajak Anda ke pengalaman masa lalu saya di Kota Medan, Sumatera Utara. Dalam kurun waktu tahun 2009-2010 saya pernah tinggal dan belajar di kota ini. Jelas dalam ingatan saya, entah di kalangan umat Katolik atau Protestan, Perayaan Natal tampil jauh lebih dominan dibanding Perayaan Paskah yang semestinya lebih meriah.

Sebagai seorang 'pesuruh' pastor, saya sering diminta menjadi perpanjangan tangan mereka dalam perayaan natal di lingkungan atau stas-stasi tertentu. Kenyataannya memang tak semua lingkungan atau stasi 'sanggup' merayakan Natal.

Di satu sisi bagi para pastor dan saya sendiri, perayaan semacam ini sangat perlu demi perwujudan "pastoral kehadiran". Kalau bukan natal, kapan lagi banyak umat kumpul dan 'manortor' bersama? Di sisi lain, masa Natal juga adalah masa memanen 'sumbangan' sekaligus masa yang melelahkan karena sepanjang malam pesta dan dipaksa manortor...hahaha...

Asal Anda tahu, inilah tradisi di sana, sebuah yang tak mudah diubah kecuali 'harus' diikuti. Menurut umat setempat, tradisi ini berasal dari tradisi Protestan yang memang sangat mendominasi masyarakat di sana.

Apakah hal ini lantas menggiring kita untuk menghakimi orang Kristen di Medan sana atau orang-orang di mana saja yang sudah terbiasa dengan kemewahan Perayaan Natal sebagai orang Kristen yang telah menodai kesederhanaan Natal ?

Wah, saya kira bukan porsinya saya mengatakan ya atau tidak. Dari contoh pengalaman nyata di atas, Saya tidak berani mengatakan mana yang benar dan salah. Saya cari aman saja deh: "Itu urusan mereka dengan Tuhan mereka aja deh!"

Kenyataannya, gereja pun terkesan sangat kompromistis dalam hal ini. Sebagai catatatan, Gereja (Katolik) 'hanya' masih tegas soal tanggal perayaan Natal itu sendiri. Tampaknya gereja memang berhasil membujuk pemerintah agar perayaan Natal para pejabat dan Pegawai Negeri dirayakan setelah tanggal 25 dan sebelum Efifani.

Tapi serentak gereja belum berhasil membujuk agar perayaan Natal marga-marga dan perusahaan-perusahaan tertentu agar dirayakan dengan aturan yang sama. Lanjut Baca!


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.