iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Trauma dan Kita

Trauma dan Kita

Trauma akan kekejian perang tak pandang bangsa, agama, dan jumlah. Trauma selalu mengguratkan kebencian dan kesumat yang diwariskan antargenerasi Trauma yang tersembunyi dan dilupakan akan membeku dalam kebisuan, tetapi selalu bisa pecah dan melahirkan perang baru. Mendiamkan trauma akan menimbulkan perang baru lagi.

Koran Kompas hari ini menyajikan seorang tokoh Jasna Zecevic dengan Judul Membongkar Ilusi. Jesna (yang Katolik, ber-ayah dan suami Muslim - 2 anak) mengatakan bahwa:

"Trauma akan kekejian perang tak pandang bangsa, agama, dan jumlah, selalu mengguratkan kebencian dan kesumat yang diwariskan antargenerasi. Trauma yang tersembunyi dan dilupakan akan membeku dalam kebisuan, tetapi selalu bisa pecah dan melahirkan perang baru. Kalau masalah Trauma dibiarkan, saya khawatir akan timbul perang lagi." (Kompas, 17/2/13 hlm. 23).

Membaca teks ini saya jadi teringat pada "para korban perang" yang terjadi di Indonesia, baik di masa lalu maupun di masa sekarang.

Sebut saja korban G30/S PKI yang hingga kini distigmatisasi sebagai pengacau/pemberontak/oknum jahat/dst. Juga jangan lupa pembantaian rakyat di Timor-timor (sbelum merdeka), DOM di Aceh dan Papua, Pembantaian umat Ahmadiyah, pembakaran dan pengeboman gereja, Pembantaian para aktivis kemanusiaan dan keluarganya oleh negara, dan lain sebagainya.

Mengacu pada Jesna bahwa kendati perang tersebut sudah berakhir (sebagai sebuah fase sejarah kelam), tetapi sesungguhnya perang justru baru akan dimulai. Ya, perang akan dimulai ketika trauma akan perang itu sendiri diendapkan dan diabaikan begitu saja.

Dalam tatanan spiritualitas, endapan trauma ini berikutnya akan menjadi luka batin - yang seiring perjalanan waktu akan berbahaya. Mengapa? Karena luka batin yang mewujud dalam dendam dan kebencian itu yang diturunkan kepada anak-anak antargenerasi.

Percaya atau tidak, inilah yang terjadi dengan generasi terkini korban G30S/PKI 1965, umat Muhammadiyah, rakyat Aceh dan rakyat Papua, umat kristen yang setiap kali natal dan paskah menjadi paranoid karena takut dibom, dan korban lain yang pernah mengalami langsung atau tidak langsung berbagai kekerasan.

Anak-cucu dari para korban yang bahkan sudah meninggal sekalipun tak kuasa menghindari rasa dendam dan benci kepada para pembunuh orang-orang yang mereka cintai.

Mungkin para pelaku (entah negara, ormas, kelompok garis keras, militer, dlsb) akan beranggapan bahwa luka di masa lalu itu akan sembuh begitu saja, seiring berjalannya waktu. Tapi tahukah Anda? Benar kata Jesan, bahwa anggapan ini hanyalah ilusi.

Hanya dengan menyadari perasaan dan penderitaan dalam diri, sejarah penderitaan masa lalu bisa dibangun, tetapi kalau yag lalu tabu dibicarakan ia tak bisa menjadi sejarah kita.

Biarbagaimana pun proses rekonsiliasi tak hanya melibatkan, memaffkan dan melupakan , tetapi juga memori dan peribahan, artinya, kalau ingatak kolektif bisa dibuka, transformasi konflik dan perdamaian sejati bisa dicapai.

Ingatan mewakili transformasi dari masa lalu menuju saat ini dan kesinambungan proses yang dapat melahirkan persfektif pembangunan. pada titik ini, hukuman bagi pelaku kejahatan sangat penting pada proses pemulihan, karena dengan itulah pemerintah mengakui penderitaan korban dan mendapatkan kembali kredibilitas moralnya.

Betapa sulit dan kompleksnya merawat ingatan kolektif traumatis ini. Sebab, trauma tak mengenla bangsa, tak punya warna kulit, tak puy agama, dan tak punya jiwa. artinya, bicara trauma karena perang di Vietnam, timur tengah, dan Indonesia sama saja. Setiap pendertia mengalami keterhubungan, karena penderitaan yang diakibatkan oleh perang selalu sama naasnya.

Untuk itu, solusi terbaik adalah:
  • Negara harus mengakui perang yang pernah terjadi, sebab kalau tidak berarti tak ada korban, pun tak ada perang.
  • Perjungan melalui hukum (meratifikasi Konvensi Internasional Antipenyiksaan) demi hak-hak tambahan para korban, seperti hak pemulihan, pelyanana kesehatan, dan pelayanan sosial.


Persoalan masa lalu, penderitaan dan luka batin individu tak boleh diabaikan dalam perjalanan menuju demokrasi dan stabilitas. seluruh proses harus berjalan bersamaan dan saling mengikuti.

Rehabilitasi merupakan proses jangka panjang dan multidimensional denan intervensi di berbagai tingkat. Oleh sebab itu, dalam upaya pemulihan trauma, langkah kecill adalah besar.

Dasar dari rekonsiliasi adalah ketika para korban perang merasa aman dan percaya pihak lain tak lagi mengulangi pihak lain. itu berarti tidak cukup hanya menghukum atau meminta kesaksian di pengadilan dari pelakunya.

Inspirasi: Jasna Zecevic: Membongkar Ilusi
Kompas, 17/2/13 hlm. 23).

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.