iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dekat di Hati

Dekat di Hati

Alkisah, ada sebuah lembaga yang dihuni oleh orang-orang yang jago, ahli dan menguasai bidang kerjanya. Tapi sayang para jagoan itu malah sering mengeluh “suara”-nya tidak didengar atau bahkan kehadirannya disepelekan oleh rekan kerja lainnya. Si Y mengatakan,

"Kalau bukan karena saya, lembaga ini tidak akan seperti sekarang. Ide-idenya datang dari saya dan tentang visi-misi-arah-sasaran lembaga ini sayalah yang membuatnya."

Tak mau ketinggalan, tanpa menunggu si Y selesai berbicara, si W langsung nyerocos, "Kalau lembaga ini mau jujur, semestinya nama saya lah yang harus dipajang di MMT pintu masuk, juga foto-foto prestasi sayalah yang semestinya dipajang di tembok-tembok kantornya. Betapa tidak, uang saya sudah banyak habis untuk membiayai lembaga ini.

Apa yang terjadi? Semua karyawannya lantas bingung. Bingung karena semua orang yang menjadi atasannya kok lebih senang bernostalgia daripada "gila" bekerja dan memajuka lembaganya.

Belum lagi beberapa karyawan harus mendengarkan gosip-gosip murahan dari si Y dan si W tentang orang-orang yang pernah menyangsikan mereka, walaupun sebetulnya mereka layak disangsikan karena apa yang mereka impikan ibara jauh panggang dari api.

Karena posisi si karyawan jelas-jelas adalah bawahan, mau tidak mau ia "terpaksa" mendengar, kendati lebih sering masuk telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri. Selain bingung beberapa karyawan malah bingung harus mengikut / mendengarkan / mengerjakan apa dan siapa.

Di jaman dulu - apa yang dialami oleh si Y, si W dan beberapa karyawan di atas - pasti akan tampak meresahkan. Tapi tidak untuk eras teknologi canggih sekarang. Di dunia politik misalnya, ketika masyarakat dihadapkan pada jualan simpati dari pada tokoh yang akan dipilih menjadi wakil atau pemimpinnya, msayarakat tak lagi mau pusing dengan banyaknya upaya dari pejabat untuk mengembangkan pencitraan dan kedekatan dengan rakyatnya.

Simpulan pada akhirnya akan diketahui dengan sendirinya oleh masyarakat, tentang mana yang layak dipilih atau tidak layak dipilih. Bahkan ketika beberapa pilihan sama-sama tidak layak dipilih, masyarakat pun dengan enteng akan mengabaikan TPS yang tersedia. Ya, semudah itu. Rupanya situasi yang disebut terakhir lebih sering terjadi di tengah kita.

Lantas mengapa saya menyebut masyarakat kiwari sudah cerdas? Selain karena tingkatan intelektual yang jauh lebih tinggi dibanding lima dekade tekahir, masyarakat juga terbantu oleh mudahnya mengakses informasi tentang sesuatu atau tentang seseorang di internet, atau bahkan melacak si orang bersakngkutan di media sosial, atau dengan menelepon langsung orang-orang terdekatnya. Pokoknya apa saja yang berkaitan dengan informasi di jaman ini sangat mudah diakses.

Inilah kenyataan yang sering terjadi: masyarakat akhirnya tahu bahwa seseorang, semakin besar upayanya menaikkan 'nilai jualnya', malah semakin buruk pula lah pencitraannya.

Setiap ungkapan, foto, bahkan pesan tweeter-nya dikomentari negatif oleh masyarakat; bahkan kadang dicuekin alias tak digubris. Postingannya di status Fesbuk, twitter, BBM, WA, WeChat, Kakao talk, LINE dan sebagainya akan diabaikan karena memang isinya tak memuat fakta, kecuali ilusi belaka.

Sebaliknya, kerendahan hati, keinginan untuk tidak menionjol seringkali kita abaikan dalam hidup, baik di keluarga maupun di tempat kerja kita. Padahal kerendahan hati dan kehendak untuk tidak menonjol itu adalah sebuah 'suara yang menandakan kehadiran kita bagi yang lain', atau dalam bahasa kerennya signature voice kita.

Pada momen-momen penting dalam hidup kita sering berharap sahabat-sahabat kita datang; oleh karena itu kita undang. Tetapi bahwa mereka tidak datang dengan alasan ini dan itu seringkali membuat kita merasa tidak diperhatikan. Di dalam otak berkecamuk hasrat untuk menafsir-ulang apa makna kata "sahabat, “orang dekat”, "orang tersayang" di saat mereka terkesan "meningggalkan" kita sendirian:

"Jangan-jangan mereka tidak akan pernah datang ke pemakamanku kelak!" Kita sering lupa bahwa sesungguhnya dalam pertemanan kita tidak 'seimbang'. Ya, kita tidak pernah fair dengan teman-teman kita.

Di tempat tongkrongan kita ingin menonjol; di kantor kita ingin dianggap sebagai orang hebat; di keluarga kita ingin dipandang sebagai putera/puteri terbaik dari orangtua kita; di kampus kita merasa kitalah yang terbaik dan paling berpengaruh; dan lain sebagainya.

Juga jangan dilupakan, bahwa kita sering merasa paling berpengaruh di media-media sosial karena semua orang kita tambahkan sebagai teman, dan status kita selalu ditunggu-tunggu untuk disukai orang mereka.

Tak heran bila kita pun merasa wajib eksis di media-media sosial itu; apalagi dengan biaya murah alias gratis. Kita BBM-in, WA-in, SMS-in, teleponon, Inbox-in orang lain untuk memberitahukan tentang kehebatan kita dan sembari tak pernah luap menjelek-jelekkan rekan kerja atau orang lain di sekitar kita.

Kita punya tongkrongan di 'emperan' virtual itu dan kita pun mengklaim kalau kita punya pengaruh dan banyak sahabat. Kita sering lupa dengan tokoh yang tidak punya ‘tongkrongan’, seperti Bunda Teresa, yang bahkan bisa memimpin barisan relawan yang jumlahnya jutaan orang, dincintai, direspek, diikuti, sama berpengaruhnya.

Di sisi lain kita merasa kita juga punya banyak pengikut dan tanpa letih seperti Bunda Teresa kita bisa mengatur pengkikut dan bawahan kita via BBM dan SMS. Akhirnya, yang terjadi adalah sesungguhnya kita tak mengenal siapa diri kita dan siapa orang yang sedang bersama kita.

Kita terlalu ke-indomie-indomie-an yang sekali seduah langsung dimakan. Kita merasa cukup minta nomor HP, PIN BB, FB dan media maya itu dari orang dan bahwan kita dan selanjutnya kita terlalu yakin kalau kita akan bisa berkomunikasi dengan mereka.

Mungkin perlu kita tahu dan sadari bahwa karakter ‘bawaan’ kepribadian kita pada kahirnya menentukan seberapa besar pengaruh kita. Kita tidak selalu benar. Itu kepastian yang tak terbantahkan. Seorang wanita yang curhat dan menangis bukan lantas berarti ia adalah korban. Begitu juga bila pria yang suka gosip itu adalah bencong, karena bisa jadi ia itu justru tak punya teman pria lain yang memujinya.

Akhir kata, orang yang suka menjual simpati lewat kata-kata, apalagi di dunia maya bukanlah orang yang secara riil dan faktual punya bukti untuk kita lihat. Sebab, some things need to be believed to be seen. Oleh karenanya kita harus berjiwa pemimpin - yang mampu menjadi model, contoh bagi pengikut atau bawahan kita.

Tetapi jauh lebih penting dari itu adalah melakukannya secara sadar dan tulus. Kita terlebih dahulu harus terlihat menciptakan hal-hal yang baik (creative), bahkan perlu membuktikan kemampuan kita menghadapi situasi-situasi sulit, berkonflik dan mendesak. Ringkasnya kita harus menunjukkan obsesi, standar dan fokus kita sebagai pemimpin melalui situasi sehari-hari hingga orang lain mengetahui cara kita meng-’approach’ orang lain, berbicara secara tulus dan jujur, dan bagaimana kita menyalurkan emosi kita secara positif.

Sapalah dengan tulus dan jujur orang yang ada di sekitar Anda, entah itu teman, orang lain, atau bahkan bawahan kita. Dengan menyapa mereka dengan tulus dan jujur, khususnya kepada bawahan kita tidak akan khawatir bahwa kedekatan tersebut akan membuat bawahan kita “kurang ajar”. Sebaliknya dengan jualan simpati atau “jaga image” reaksi para bawahan atau followers kita justru bisa negatif.

Otoritas tidak penting di sini, otoritas seolah sudah mengalir dalam diri pemimpinnya. Kita perlu ingat, kehadiran bukan suatu respons melainkan suatu pancaran yang di’rasa’kan orang lain, secara kontinyu. Bukan sesekali, melainkan terus-menerus.

Pengalaman seperti inilah yang membuat kita merasa tidak punya musuh, bahkan ketika jarak sudah menjadi kendala.

* Refleksi ini secara khusus saya bagikan untuk Sinta dan Wulan yang telah bekerjasama selama 1 tahun di YCB.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.