iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Jangan Menyembah Dua Cinta Sekaligus

Jangan Menyembah Dua Cinta Sekaligus

Manusia memang rakus. Tak pernah puas. Apakah kita memang dicipta demikian ? Antara kebutuhan dan keinginan pun bercampuraduk dalam hidup kita. Terkadang kita tak kuat menahan hasrat untuk memiliki sesuatu atau seseorang; dan serentak kita juga kerap ingin menguasai apa yang kita miliki.

Hasrat akan sesuatu atau seseorang seakan melekat sedemikian rupa hingga kita kerap tak kuasa mengontrol diri kita sendiri. Segala sesuatu selalu tampak lebih baik dari apa yang telah ada pada kita. Demikian juga kita tak pernah puasa dengan orang yang kita cintai. Entah mengapa kita selalu ingin yang lebih baik, lebih hebat, lebih hebring, dan seterusnya.

Kita seakan ingin berlari terus-menerus, mencari dan mencari yang baru, mulai dari ponsel baru, ponsel pintar baru, Ipad baru; begitu juga sahabat baru, pacar baru, kekasih baru, atau bahkan suami atau istri yang baru. Sedemikian hebat hasrat itu hingga kita kerap tak lagi berpikir logis dan mengontrol perasaan kita dengan baik.

Di titik inilah ada istilah perselingkuhan, penghianatan, hingga bentuk kejahatan lain yang berujung pada perceraian, pertikaian bahykan hasrat untuk saling meniadakan. Ini hidup kita. Paradoks, dan terkadang ambigu. Paradoks hidup itu ada pada kesimpangsiuran yang kita ciptakan sendiri: kita tak pernah kuasa menetapkan pilihan terbaik untuk diri. Kita sering membiarkan hidup kita mengambang, membentang di antara keraguan untuk menyayangi atau mencintai apa yang sudah ada pada kita.

Seorang suami tak lagi tulus mencintai istrinya, begitu sebaliknya. Seorang kekasih tak lagi mampu merawat kekasihnya secara tulus berbalutkan kebahagiaan. Demikian juga manusia tak jarang harus melepaskan tali persaudaraan demi hasrat akan yang lain. Kita tak dapat menjaga dan merawat apa yang ada pada kita. Kita tak mampu merawat cinta yang benihnya sudah ditanamkan oleh orang yang kita cintai.

Kita tak pernah mampu menjadi problem solver saat ada problem dalam relasi. Sebaliknya kita malah sering menjadi problem maker yang dengan sengaja menciptakan masalah baru, tentu dengan harapan agar kita juga bisa mendapatkan orang baru dalam hidup kita.

Sedemikian hidup berjalan oportunis dan pragmatis: mana keinginan dan mana kebutuhan tak lagi bisa kita bedakan. Mana rasa suka (like) dan mana rasa cinta (love) tak lagi kita bisa bedakan. Seakan-akan kita dikaburkan oleh pandangan indah yang sekejap mengaburkan mata kita tentang mana yang sungguh baik dan mana yang tampak baik saja.

Ya begitulah hidup kita berjalan seiring dengan paradoks, ambiguitas, oportunis bahkan pragmatis. Bisa jadi itulah bunga-bunga kehidupan, atau seni merangkai hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. yang terpenting adalah kita banyak belajar kesetiaan dari perselingkuhan, kita harus belajar perdamaian dari konflik yang pernah terjadi, kita juga bahkan bisa belajar rasa puas dari hasrat memiliki secara berlebihan selama ini.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.