iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Putihnya Merah dan Merahnya Putih

PENGANTAR


"Ternyata memilih presiden lebih sulit daripada memilih istri, ya bang", kata soerang teman yang jagoin Brasil di Piala Dunia tahun ini. 

"Lho kok bisa?" tanyaku penasaran.

"Ya bang. Memilih istri pasti sudah melalui proses pengenalan yang intens: luar-dalam! Tapi kalau memilih presiden, itu jauh lebih susah. Coba, kita hanya dikenalkan kedua pasangan yang akan memimpin negara kita ini hanya dalam jangka waktu sebulan sebelum memutuskan akan merobek gambar siapa nantinya dari dua pasang itu.

Apakah dengan menonton debat sebanyak 5 kali kita lantas mengenal program-programnya dengan lengkap? Apaan, bang... wong debatnya aja kayak cerdas cermat di era ORBA. Pakai lonceng segala lagi. udah gitu pake emosian segala pas mempresentasikan visi-misinya. 

Ada capres yang bicaranya berlebihan, sok tegas, bicara angka tapi tanpa sumber valid, terkadang terlalu memudahkan persoalan yang akan dihadapi, atau ketika si calon bersangkutan tidak bisa menjawab pertanyaan calon lain...eh malah bilang gini, Saya setuju dengan Pak X!" Begitulah 4 debat telah berjalan," si teman yang kerjanya pengajar di PTS ini begitu lancar membeberkan opininya. 

"Terus apa lagi yang bikin lebih susah?", aku mencela presentasinya.

"Maaf neh ya mas, bukannya dirimu belum menikah? Ya, aku sih tahu banget kamu udah punya calon istri. Tapi kamu enggak tahu kapan toh bakal menetapkan dia secara sah sebagai pilihanmu atau - dalam bahasa pilpres, akan kamu coblos ? hahahaha.. Buktinya, kita seringkali kita enggak pernah tahu apakah gadis yang sering kita peluk itu bakalan jadi isrti kita. Jadi, mestinya jauh lebih sulit dong memilih istri daripada memilih presiden/wakitl presiden? Piye, jal?" tanyaku dengan dialek Semarang yang belum kental.

"Justru lebih mudah toh, bang! Kalau memilih pasangan hidup itu aku punya proses pengenalan yang panjang sebelumnya; dan apabila terjadi masalah antara aku dengan calon istriku, ya tinggal tak evaluasi dan selesaiin bersama toh. Baru deh kita nikahin. Tetapi kalau sudah enggak ada kecocokan, ya tak tinggal toh, bang," tangkisnya setengah bercanda.

"Iya ya..bener juga ya!" sambungku secara spontan.

Tiba-tiba secara spontan aku merasa betapa cerdasnya temanku satu ini. Enggak sia-sia dia sekolah sampe pascasarjana. Otakku langsung muter-muter...pyang-pyung kayak angin puting beliung... dan tak lama aku seperti menyimpulkan pembicaraan kami, apalagi makin hari suhu politik menjelang pilpres begitu tinggi.


KETIKA PESTA DIBUMBUI RASA CURIGA

Begitu yang terjadi hari-hari ini, di saat masa kampanye hampir usai dan pemilihan presiden 8 hari lagi akan kita lakukan. Label pemilihan umum dan pemilihan presiden adalah PESTA, tepatnya PESTA RAKYAT. Percaya atau tidak, hanya orang Indonesia yang berpesta dengan "musuh"-nya. Saya sengaja menuliskan tanda kutip untuk kata musuh, sebab masyarakat kita bahkan nyaris tak pernah tahu arti sesungguhnya dari kata "KAWAN" dan "MUSUH". 

Akibatnya makna kata REKONSILIASI pun tak selalu tepat digunakan sebagai jembatan perdamaian. Kok bisa? Jelas bisa! Soalnya tanpa pertikaian, tanpa percekcokan, tanpa kompetisi yang jelas tak jarang kita hanya merasa si anu itu musuh saya, eh tiba-tiba deh pake rujuk, islah, damai atau rekonsiliasi! Aneh bukan? 

Hal yang sama terjadi dalam pergaulan antar masyarakat, termasuk antar petinggi dan pemegang kekuasaan di negeri ini. Kita terlalu banyak MERASA tetapi terlalu sedikit BERPIKIR. Dari sinilah kecurigaan menyibakkan dirinya dan berikutnya kecurigaan itu ditahtakan di status Fesbuk, dikicaukan di Twitter, disiarkan lewat BBM, WhatsApp, WeChat, LINE, dan lain sebagainya.

Hasilnya, apa pun yang akan kita bagikan kepada orang lain lewat media-media di atas, tak lain tak bukan, hanyalah kecurigaan. Bila salah satu pendukung capres dituduh sebagai pelanggar HAM, maka akan dibalas oleh pendukung capres yang lain kalau capres mereka juga meninggalkan masalah yang belum tuntas di tempat tugas sebelumnya. 

Coba deh bayangkan antar "Pelanggaran HAM" versus "Pejabat Aktif"! Enggak nyambung bukan? Tapi..ya, tetap aja para pendukung kedua capres itu ngotot meng-ilahi-kan calon mereka. Bahkan, tindakan paling menjijikkan pun terjadi ketika sekjen partai pendukung pun begitu rajin berkampanye hitam, bahkan cenderung melecehkan capres atau cawapres lain di twitter. 

Untuk mewujudkan rasa haus akan kekuasaan mereka pun merapatkan barisan, mengumpulkan para barisan sakit hati kepada calon yang satu lagi karena tak kunjung mau berbagi jatah kursi kalau menang. Di kubu capres yang satu lagi, kendati lebih karena mendapat simpatik dari calon pemilihnya, mereka juga turut bermain kubu-kubu-an.


PEMERINTAH SBY ADALAH WAJAH KEMARAHAN ?

Pertanyaannya, dari sejak awal pengumuman capres dan cawapres, ke mana pemerintah pergi? Sebab, di sela kampanye pilpres pemerintah malah 'sangat sukses" membiarkan umat beragama minoritas dilempari batu; atau membiarkan masyarakat terbelah dalam dua kubu pendukung capres-cawapres. Pemerintahjuga membiarkan terbit majalah tak beretika sebagai media kampanye hitam untuk capres tertentu, bahkan samapi dua kali tanpa teguran, namun hanya mengatakan, "belum cukup bukti!" Tak hanya itu saja, babinsa yang notabene bagian dari TNI pun boleh mengarahkan calon pemilih agar memilih si capres A, tetapi pura-pura mendata (sensus), dan ini juga dibiarkan. 

Lantas, mengapa pemerintah tidak netral? Mengapa partai ditahtakan begitu tinggi di atas lembaga bernama negara? Mengapa semua bentuk kampanye hitam tak ada yang diputihkan, melainkan dimerahkan. 

Mengapa konflik yang terjadi di sisa masa kekuasaan SBY dan para dedengkotnya justru tampak sengaja dibiarkan, agar masyarakat tak sempat memikirkan nilai Rupiah yang anjlok? atau investor yang mulai berlarian ke negara lain? atau demonstrasi buruh yang selalu mengusik para pejabat? atau apakah supaya masyarakat bahkan tak sempat mengeluhkan harga-harga kebutuhan pokok yang mulai menukik sejak Bulan Ramadhan ini?


PESTA RAKYAT VS PERANG RAKYAT ?

Masih ingatkah Anda bahwa tagline dari setiap pemilihan pemimpin di negeri penuh kekerasan ini adalah PESTA RAKYAT? Siapa itu rakyat? Apa itu pesta? Dan bagaimana mungkin rakyat yang sudah terbelah dalam dua kubut hingga menghasilkan kekerasan dan konflik akan berpesta bersama? 

Meminjam istilah Cak Lontong di salah satu acara diskusi para pelawak tanah air, "Makanya mikirrrrr!" Lagi, bagaimana mungkin Pilpres akan berjalan LUBeR (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) kalau sudah jelas semua pendukung sudah mendeklarasikan dirinya akan memilih capres A atau capres B? Bisa saja sih masih LUBeR, tetapi luber yang lain, yaitu [L]angsung menentukan pilihan sebelum waktunya, sebab [U]mumnya orang Indonesia senang berperang antar kubu berbeda, juga karena suara rakyat kita bisa di-[be]elidengan lembaran rupiah yang hanya cukup untuk sekali makan saja, juga karena [R]akyat Indonesia tak pernah bisa menyimpan rahasia hingga sebelum menetapkan pilihan mereka sudah ngebut mendeklarasikan diri ke kubu yang mereka anggap menguntungkan.

Begitulah ajang Pilprel telah menjadi ajang pembingkaian masyarakat dalam kubu. Bukan hanya karena berbeda calon presiden dan calon wakil presiden yang akan mereka pilih, melainkan juga karena terjadi penggiringan masyarakat ke kandang yang telah disediakan oleh para capres/cawapres. 

Dan hal paling menjijikkan adalah ketika para juru kampanye berkoar-koar di stadion, di aula nan sejuk, di pasar-pasar, di bandara, dan berbagai tempat bahwa "sekrang rakyat kita sudah cerdas". Rupanya 'pujian' jenis ini masih ampuh merangsang libido sebagian rakyat yang terbuai oleh pujian. Akhirnya mereka hanya bisa manut dan nurut sama si empunya pujian. 

Masyarakat kita memang begitu mudah terhasut oleh apa saja, entah makian, entah pujian yang mereka dapatkandan itu dibiarkan terus menerus bagai kasut yang setiap kali kita injak. Maka, kata-kata bahwa masyarakat kita cerdas justru dimaksimalkan sebagai trade-mar kampanye oleh dua kubu capres/cawapres.

Media sosial adalah salah satu kandang dari kedua kubu. Grup FB, Halaman FB, Twitter dengan Hastag segala, path dan puluhan media sosial lain dijadikan kandang yang para harimau dan anjing yang setiap melihat 'lawan' akan mengaum dan menggonggong, dan ketika melihat para anggota dari gang yang memberinya makan, sang harimau hanya bisa menjilati pipi mereka, dan sang anjing hanya bisa mengebaskan ekornya. Ngeri! Menakutkan! Bisa jadi inilah pilpres yang tak lebih membutuhkan otot daripada otak.


DI NEGARA INI MELECEHKAN SECARA FISIK ITU BAIK

Coba Anda bayangkan! Masuk akal enggak ketika kedua capres yang sudah lolos test di KPU malah dihina-hina oleh dua kubu masyarakat yang sudah sedemikian hebat diklasifikasikan dalam dua kubu oleh kedua timses? 
  • Para pemiliki televisi ikut mengacaukan situasi lewt tayangan tiada henti tentang kehebatan capres yang didukung pemiliki stasiun televeisi bersangkutan dan sebaliknya mencari kesalahan atau menghasut penonton untuk tidak memilih capres yang tidak didukung oleh pemilik TV bersangkutan. Ini sama saja dengan kampanye hitam (black campaign).
  • Para pengusaha juga bermain-main dengan sokongan dana yang menggiurkan, tentu setelah menganalisa angka keberuntungan bila calon yang mereka sokong menang. Mereka bicara soal peluang dan uang!
  • Para alim ulama, para ustad, para kyai dan para pendeta (untung saja para pastor tidak diperbolehkan oleh Gereja Katolik untuk berpolitik praktis, melainkan harus netral) berebutan menjual doa dan shalawat mereka kepada salah satu calon yang siap membelinya. Bahkan ada yang sengaja menjual fatwa demi memenangkan sang calon 'majikan'-nya kalau terpilih.
  • Para artis juga tak ketinggalan. Mereka mencoba menjual diri lebih mahal karena mereka bisa mengklaim kalau mereka punya jutaan followers....minimal di Twitter mereka. Dengan mendeklarasikan diri mendukung capres tertentu mereka berpikir followernya pasti ikut, tapi yang terjadi sering malah dibenci followersnya.
  • Para menteri, kepala daerah dan hampir semua pejabat turut terbawa arus: tentu dengan dua pertimbangan mereka harus menjadi tim sukses: pertama, karena mereka anggota partai pengusung si capres/cawapres; dan kedua, karena mereka mulai menimbang-nimbang siapa capres yang lebih berpeluang mengawetkan jabatan mereka,entah 5 tahun lagi, entah 10 tahun lagi....?!



PENUTUP

Lantas, mengapa masyarakat kita tak kunjung dewasa dalam berkompetisi? Mengapa masyarakat kita tak bisa mengolah emosi secara sehat dalam perbedaan pendapat? Pemerintah SBY sepertinya turut turut andil dalam kekacauan ini, mulai dari ditangkapnya beberapa menterinya oleh KPK karena korupsi, pecahnya kongsi politiknya dengan paratai koalisinya, ketakutan akan ditangkap KPK setelah tidak menjabat, dan entah alasan apa pun... sehingga dengan membiarkan masyarakat saling berkicau, saling mengaum dan saling mengonggong... minimal ketakutan itu sedikit agak mereda. 

Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Tentu hal pertama dan utama adalah dengan tidak memahami pilpres sebagai perang badar, sebab ini adalah pesta kegembiraan. Selanjutnya, dalam rangka pemilihan presiden 9 Juli 2014 mendatang kita tidak boleh mempersoalkan siapa merah atau siapa putih karena, kedua warna itu harus disatukan untuk jadi Indonesia. 

Siapa pun yang menang, semoga tidak hanya membuktikan satu hal kelak : Siapa pun presidennya, tetap aja negeri ini diajajah asing!" Sebaliknya kita harus kritis dan mengandalkan suara hati kita masing-masing, bukan malah marah-marah enggak jelas! Ingat...... "setiap orang bisa marah! Itu hal mudah! Tetapi marah pada orang yang tepat, pada saat yang tepat dengan alasan yang benar dan tingkat kemarahan yang pas, bukanlah hal mudah!" 

Bisa jadi benar bahwa memilih istri lebih mudah daripada memilih presiden; tetapi tak lantas berarti - kendati dalam waktu kampanye yang singkat masa kampanye - kita sama-sekali tak mengenal calon presiden yang akan kita pilih. Dan untuk sampai ke arah sana, maka lebih baik memaksimalkan suara hati saat memilih daripada mengandalkan otak dan otot yang berujung pada ancaman akan kematian. Semoga.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.