iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Jangan Bohongi Hatimu

Jangan Bohongi Hatimu
Hari-hari ini media masih ramai dengan hasil pemilihan presiden (pilpres) yang baru saja berlangsung kemarin, 9 Juli 2014. Quick Count atau hasil hitung cepat versi lembaga-lembaga survei yang digerai di layar televisi dan diurai di media elektronik lain sontak menjadi dewa atau dewi yang 'disembah'.

Bagiku, yang menarik bukan pada hasil yang dipulikasikan, melainkan pada "lembaga yang mempulikasikannya".

 Dari hasil hitungan cepat dari lembaga-lembaga yang turut serta dalam pilpres kali ini kita bisa menemukan satu fakta untik. Kedua belah pihak tak mudah menerima kekalahan dan serentak mengakui keunggulan lawan, bahkan ketika sebenaran hati mereka gundah untuk terus-menerus membohongi publik.

Sangat jelas kita tonton di layar kaca, juga sangat jelas tertulis di media massa, bahwa kedua kubu saling mengklaim hasil hitungan cepat. Sungguh mengejutkan ketika pihak yang kalah tak menerima atau kemenangan lawan menurut hitungan cepat dari lembaga survei yang selama ini sudah berpengalaman dan hasilnya capable.

 Sementara pihak yang merasa sudah menang tak kuasa untuk menahan kegembiraannya hingga berbondong-bondong ke tengah kota untuk berpesta.

De facto, hasil perhitungan cepat belum usai, kendati hasil hitungan cepat versi Litbang Kompas tak pernah jauh dari fakta di lapangan. Tetapi, sayangnya di dunia poliltik tak ada kebenaran kecuali kebenaran versi sendiri: diri sendiri, partai sendiri, tim sukses sendiri,followers  sendiri, dst.

 Salah satu stasiun televisi swasta bahkan getol dengan hasil hitungan cepat versi mereka, yang sama sekali tak disiarkan di televisi lain. Padahal semasa kampanye, tiap debat mereka kompak menyiarkan acara yang digagas KPU itu.

 Di sisi lain, kubu yang satu lagi sudah terlanjur percaya pada hasil hitungan cepat versi lembaga survei yang memang sudah terbiasa bekerja untuk kerjaan survei-survei-an di negeri ini. Entahlah, kita hanya berharap KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Presiden bisa bekerja cepat, tepat dan tak bermain sebelah mata. Tapi untuk sementara kita terpana dengan dinamika politik hari-hari ini. Kursi dan kuasa, tahta dan hasrat untuk kuasa ternyata begitu memikat.

Kebenaran dan kebohongan, kejahatan dan kebaikan, fenomena atau nomena, suara setan atau suara hati menjadi kabur dan buram karena aksi para politisi yang makin terbiasa membohongi suara hatinya. Dalam bahasa yang sederhana bisa dianalogikan begini, "Anda jatuh cinta pada seseorang", tetapi "Anda tak pernah mengiyakan, apalagi mengatakannya kepada orang bersangkutan.

Atau ketika Anda berantem atau bertengkar dengan suami/istri atau kekasih Anda dan dalam kondisi emosional Anda lantas mengatakan, "kita cerai saja", tetapi hati Anda mengatakan belum siap, bahkan tak mampu untuk berpisah dengannya.

 Politisi dan politikus juga sama! Banyak dari politisi, terutama para politisi yang mendapat kesempatan untuk mengatur negara ini ikut-ikutan menghianati hatinya, membohongi nuraninya. Tak mau menerima kekalahan.

Tak mau minta maaf bila salah. Sebaliknya, pihak yang dimintain maaf juga tak mudah memaafkan. Hingga kedua kubu tak lagi menyisakan "ampun atau mengampuni", "maaf atau memafkan", "memaklumi kelemahan dan menerima kelebihan" satu sama lain.

Suami istri, dua orang yang sedang jatuh cinta saja sering saling membunuh, entah lewat kata-kata atau lewat tindakan jahat hanya karena gengsi dan kuasa atau hanya karena perkara "aku tak dihargai' oleh pasangan mereka. 

Begitu juga dengan para politisi: demi kuasa berselimutkan gengsi disebut pihak yang kalah, koalisi yang telah terjalin harus kandas di tengah jalan. Kepentingan yang tadinya digolongkan kepentingan bersama secara revolutif bergeser menjadi kepentingan pribadi.

Kalau sudah begini, lantas di mana suara hati berada? Di mana cinta masih tersisa? Ke mana sisi kemanusiaan pergi meninggalkan kita? Mengapa begitu mudah kebohongan hinggap di hati dan pikiran kita? Kemana pergi daya tahan tubuh, daya tahan jiwa dan daya tahan roh yang disematkan Allah kepada kita?

Kita kerap mengamini pernyataan ini, "daging memang lemah, tetapi roh kuat". Tetapi serentak, tak lama berselang, bahkan di rentetan waktu yang bersamaan kita malah berbalik mengatakan, "karena aku manusia, maka layak membohongi hatiku, karena aku lemah akan nafsu-nafsu duniawi".

Begitu mudah bagi kita memaklumi kesalahan kita, tetapi serentak kita seakan tak kuasa mengikuti suara nurani kita yang mengajak kita untuk senantiasa berjalan dalam kebenaran, kejujuran dan ketulusan. Mudah bagi kita mengatakan cinta, tetapi dalam kondisi emosional kita membantah apa yang kita sebetulnya yakini. 

Mengapa bagi sulit bagi kita untuk berkata "aku kalah" sama agungnya dengan mengatakan "aku kalah"? Mengapa kita selalu cenderung mengulik dan mencecar kesalahan orang lain tanpa mengakui bahwa kesalahan mereka juga pernah kulakukan?

Jaman memang makin edan! Teknologi yang tadinya bertujuan untuk mempermudah jalannya hidup justru mempersulit kita untuk percaya pada suara hati, percaya pada nurani kita. Data dan fakta dibutuhkan dalam pembuktian hukum, tetapi suara hati jauh lebih agung dan bisa dijadikan bukti bahwa kita manusia. Seperti kata orang-orang tua jaman dulu, "Nak, jangan pernah mengambil keputusan di saat emosional!"

Para capres dan para pendukungnya sebaiknya jangan tergesa-gesa untuk saling mengklaim hingga KPU berani mengumumkan hasil pemilu yang sebenar-benarnya dan bukan berdasarkan gejolak yang terjadi. 

Demikian juga bagi Anda mencintai atau membenci seseorang lebih baik mengatakannya dan hasilnya tinggal Anda tunggu. Itu aja kok repot ! hehehe..


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.