iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Berlari Menyisir Batas

Berlari Menyisir Batas
Tadi malam di inbox WhatsApp ku masuk pesan spiritual dari seorang perempuan yang pernah saling mencinta denganku, "Aneh ya, teman-teman saya pada begitu deh. Lagi enggak punya uang semua inget saya, tetapi giliran lagi banyak duit enggak ada tuh yang inget saya. Ya mungkin saya dilahirkan untuk membantu orang-orang yang lagi kepepet. :)"

Karena aku sungguh kenal dengan perempuan yang selalu merasa diri sangat cantik ini, maka aku tak mungkin berani memuji keluhuran hatinya secara blak-blakan. Kalau Anda mau tahu, setiap kali ia kupuji maka reaksinya akan ganjil: ia akan segera menyebut namanya berkali-kali dengan tambahan kata seru "lho" hingga telinganya akan segera mengangkasa...."gue gitu loh...dst!"

Tentu bukan sifatnya yang ini yang ingin kutonjolkan. Aku hanya ingin jujur kepada Anda bahwa pesannya tadi malam tak saja memaksaku untuk memujinya, kendati hanya di kedalam hatiku, tetapi juga menghentikan pikiranku sejenak hingga aku hanya bisa diam dan terhenyak.

Dalam diam itulah hatiku berkata-kata: Aku bangga pernah mengenalmu, sejak ribuan hari silam.. dan dari sejak itu aku sungguh tahu bahwa hatimu tetap sama, kendati energimu tak selincah seperti sediakala. Aku juga selalu terkenang betap besar imanmu pada Tuhan mu, hingga kau selalu berkata padaku,

'Kalau bukan karena cinta Tuhan gue kagak mungkin banget seperti sekarang ini. Makanya gue bersyukur banget sekarang, dan sebagai tanda syukur gue, gue udah janji sama Tuhan untuk lebih dekat denganNya. Seperti pernah gue ceritain ke lu, gue tuh pernah lho nyaris lupain Dia dalam hidup gue.'

Begitulah hidupmu berjalan rasa syukur yang bahkan melampaui rasa syukur para imam yang menguduskan persembahan di altar nan kudus itu. Dan malam ini, kalau mau tahu, tuturanmu seperti petir yang menyambar ingatkanku. Mungkin saja bukan hanya aku, tetapi juga orang-orang yang pernah berjalan hingga ambang batas kebosanan dalam menyembah Tuhan yang setiap hari harus kami kunjungi di rumahNya, yang selalu dibangun berdampingan dengan rumah kami tinggal.

Aku pun teringat masa indah bersamamu. Bukan saja tentang bagaimana kita mengekspresikan rasa cinta dengan mesra, tetapi lebih dalam dari itu... aku justru lebih terkenang masa-masa di mana kau selalu disiplin dengan jam sucimu, ya saat doa yang telah kau jadwal sendiri.

Bahkan aku masih ingat... setiap kali kau selalu pamit dengan sopan saat memutus percakapan di telepon denganku, ketika gulita mulai memeluk malam hanya demi komat-kamit mengurai biji-bijian bundar Rosario mu, atau ketika hari-hari Novena mu selalu memanggilmu. Ya, kamu tak pernah lupa berdoa, termasuk mendoakanku.

Saat itu aku kerap merenung dan bercakap-cakap dengan hatiku sendiri: sungguh tak mudah mencintai wanita setulus kamu, sebab selama menjalin relasi yang lekat denganmu, engkau tak pernah lupa mengingatkanku untuk tidak melupakan "hidup doa".

Entahlah, apakah ini berhubungan sejarah hidupmu atau bukan.. aku tidak tahu. Tetapi baru-baru ini, dalam refelksiku aku menuliskan di kronologi fesbukku bahwa "selalu ada dua ruang saat mendekat kepada Allah, yakni "dari kegelapan menuju terang (seperti St. Paulus, St. Agustinus, dst) atau "dari terang menuju kegelapan hingga kembali pada terang".

Seingatku, aku menuliskannya untukmu. Aku iri padamu saat ini. Iri karena kedekatanmu dengan Tuhan yang pernah aku bangga-banggakan kepada siapa saja yang kutemui. Aku hanya bisa cemburu. Dan dalam kecemburuan itu aku teringat pengalaman yang pernah kau bagikan padaku di salah satu penghujung malam,

'Kalau lu mau tau, waktu masih remaja gue hanya asyik dengan diri gue sendiri; dan kalau gue mau jujur, saat itu gue merasa hidup gue tuh kering banget. Tetapi setelah dekat dengan Dia, gue lebih bisa menjadi orang yang bersyukur atas apa saja yang telah dianugerahkan Tuhan padaku, dan sebisaku aku berusaha membantu orang yang membutuhkan.'

Saat itu aku hanya bisa mengernyitkan dahi dan tak percaya bahwa ada perempuan yang mengaku ijazah SMAnya dibeli malah mengkotbahi aku. Tapi tak lama, aku justru merenungkan ungkapanmu itu. Saat itu akau hanya bisa menimpali kata-katamu dengan setengah bercanda,

'Wah beda banget sama gue ya, sayang. Sejak kecil gue merasa malah terlalu asyik bermain dengan Tuhan. Begitu asyiknya hingga geu sering lupa kalau diri gue sendiri juga perlu di-asyik-in keles hehehe...'

Dan saat kita berdua pun hanya bisa tertawa.

Itulah gambaran nyata tentang hidup kita, entah lewat pengalaman spiritualmu, entah lewat peziarahan spiritualku. Sungguh tak ada yang sempurna dan tak ada yang abadi. Cinta pun tak pernah abadi, sebab cinta itu hanya abadi di pribadi yang satu mengabdi pada pribadi yang lain.

Kita tak tahu mana pangkal, mana ujung dari perjalanan spiritual kita. Kita bahkan tak pernah tahu mengapa kita berpangkal dari perut seorang wanita dan berakhir di perut bumi. Yang kita tahu hanya... bahwa hidup kita diurai oleh ruang dan waktu yang serba terbatas... hingga di masa tertentu kita hanya bisa ingin kembali pada Tuhan, dengan rasa memelas dan penuh welas. 

Itu karena hanya Tuhan lah yang tak terbatas!"

*Dikutip dari sebuah draft Novel yang sedang ditulis, "Berlari Menyisir Batas"

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.