iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Bersosialisasi di Media Sosial



Gunakan akun Anda di media sosial Anda dengan bijaksana! Itu menjadi pesan ekspilisit dari kasus 'penghinaan' Florence Sihombing terhadap 'orang Jogja' di akun Path-nya.

Dengan tindakannya Florence Sihombing tak saja dibully di social media, tetapi juga sudah dipidanakan, dikeluarkan dari pascasarjana Fakultas Hukum UGM, dan sepertinya akan dikenakan kurungan minimal 6 tahun. 

Kendati tentang hukuman ini oleh para pakar hukum masih bisa dipertanyakan! Dan berita terakhir menyebutkan bahwa Florence akhirnya keluar dari penjara.

Sebagaimana dicatat www.kompas.com, setelah pengajuan penangguhan dikabulkan, Senin (1/9/2014) tepat pukul 14.50 WIB, Florence Sihombing ..menyampaikan permintaan maafnya: 
"Pertama-tama, sekali lagi dengan tulus saya minta maaf kepada Sultan dan seluruh masyarakat Yogya atas perbuatan yang saya lakukan. Saya memohon, dengan sangat, permintaan maaf ini bisa diterima seluruh warga. Saya harap masyarakat Yogya mengerti dan mau berbesar hati dengan mau memaafkan."
Kembali pada topik sebagaimana tercatut di atas, seakan tak terpungkiri bahwa kebanyakan masyarakat kita masih bermental konsumtif dalam berbagai hal, tak terkecuali dalam menggunakan media sosial (social media). Masyarakat kita seperti memiliki kecenderungan menjadikan akun di media sosial sebagai identitas yang sebenarnya dari seseorang: si A = akun fesbuk A, si A= akun Path si A; si A = twitter si A, dst.

Kisah Florence Sihombing yang diamuk warga Yogya di media sosial, bermula dari status yang ditulisnya di Path. Status itu dianggap menghina warga Yogya. Florence menulis status itu karena kesal ditolak mengantre di jalur antrean mobil di sebuah SPBU. 

Florence memang sudah di-bully di media sosial, dan hukuman itu rasanya juga mencerminkan betapa kita sering salah mengidentifikasi dua hal: pribadi dan akun pribadi. 'Hadirnya' Florence sontak meramaikan kembali 'pertikaian maya' di dunia maya lewat tulisan kontroversial di akun Path-nya. 

Hasil capture tulisan di Path tersebut kemudian diunggah ke jejaring Twitter. Memang terdapat kalimat hinaan di dalamnya. 
"Gimana Indonesia bisa maju? Mau aja lo semua diperbudak keadaan. TOLOL sampai 7 generasi. Dan mau-maunya Jogja diperbudak monopoli Pertamina. Pantesan MISKIN".
Status ini memancing reaksi keras keras dari para pengguna Twitter, begitu juga di fesbuk dan media sosial lainnya. @mercurianearth misalnya menyolot,
"@florencje_ Status S2, cara berpikir & ngomongnya kok KAMPUNGAN. Keluar aja dari Yogya."
Begitu juga komentar lain dari akun @senorita_eve
"Kasihan dgn cewe @florencje_ niy,ngakuny S2 tapi cara bicarany gak ada cerminan intelektualnya."
*****
Setelah mendapat bully, akun @florenceje kemudian menghilang dari media sosial. Pemilik akun @udprotomo kemudian menayangkan screenshot akun Path milik Florence yang berisi beberapa kalimat hinaan terhadap Yogyakarta, sebelum mahasiswi S-2 itu menghilang dari media sosial. 

Budayawan tersohor asal Yogyakarta, Butet Kartaredjasa secara bijak menilai tindakan kepolisian menahan Florence kontraproduktif. Tindakan tersebut sekaligus mencoreng citra kepolisian dan kearifan warga Yogya. 

Bahkan, Butet mengaku sempat mengirimkan SMS ke Kepala Polda DIY. Di Akun Facebooknya, Butet Kartaredjasa menulis 
"Ini SMSku kpd KAPOLDA DIY...sbg warga yogya yang mencintai kepolisian saya pengin mengingatkan, mbok Florence Sihombing dibebaskan aja. Penahanan ini bener2 kontraproduktif dan mencoreng citra kepolisian dan kearifan warga yogya. Sangat memalukan pak. Sungguh."
Sejalan dengan Butet, saya pikir kita harus membaca fakta ini. Florence sendiri tidak menyebut institusi atau person di status Path-nya. Maka sangat mengherankan tindakan polisi yang menangkap dan menahan Florence berdasarkan pengaduan beberapa orang yang menyebut dirinya 'orang Yogya' ini. 

Sebagai seorang pengguna sosial media, saya hanya bisa berefleksi. Jangan-jangan kita juga memiliki karakter yang sama. Dengan membalas hinaan Florence dengan hinaan yang lebih brutal, lantas apa bedanya kita dengan Florence? Apa bedanya kita yang menyebar foto kekejian ISIS dengan pasukan ISIS itu sendiri yang membunuh dengan sadis? Hal ini ditegaskan adik kelas almamaterku, Tappin Saragih :
"Kita sebagai pembaca atau pendengar harus bijaksana dalam menghadapi kasus Florence Sihombing ini; kalau kita bertindak menghakimi (bahkan mngacam dia) apa bedanya kita dengan dia? Ini suatu tindakan yang ceroboh sebagai seorang terdidik, namun juga sekaligus jadi cermin untuk refleksi bagi kita, apakah demkian juga dalam kasus yang lain ?"
Kita harus hati-hati dalam menggunakan media sosial. Kita perlu bijaksana dalam memaksimalkan media sosial. Bukankah media sosial seharusnya menjadi jembatan perekat persahabatan kita, dan bukan pemisah persahabatan jarak jauh? Sobat saya, Ineke Fatmawati mengatakan,
"Media sosial dirancang utk memenuhi kebutuhan eksistensi manusia (Maslow). Dengan media sosial, manusia bisa mengekspresikan dirinya, perasaannya dan pikirannya dengan bebas. Namun, tetap saja kebebasan berekspresi di media sosial memiliki batas nilai2 yg dianut masyarakat. Karena itu bijaklah Mengekspresikan sesuatu negatif bisa dikemas dengan cantik yg tdk menimbulkan syak wasangka. Namun sesuatu yg cantik yg dikemas dengan salah, bisa menjadi senjata makan tuan. [...] Makanya, kalau dipikir2 penting sekali bisa menulis dan berbahasa dengan baik ya."
Saya setuju dengan sobat saya ini. Sebab, apa saja bisa disampaikan secara lengkap dan sistematis, mulai dari lelucon, sindiran, ejekan, pujian atau apa saja, asal disampaikan secara intelektual: misalnya dengan sindiran berupa satir, pujian bernada indah, dst. Ineke melanjutkan,
"Dalam kasus Florence Sihombing... sebenarang dia termasuk 'melek media sosial' tetapi sangat disayangkan ketika dia tidak menyadari konsekuensi dari "ekspresi"-nya di media sosial. Dan ketika ekspresi nya itu dipublish maka terjadilah 'perang antara Florence dengan 'masyarakat' Yogyakarta. Ketidakdewasaan Florence justru tak tampak di sini. Seharusnya ia mampu menetralisir kekacauan, bukannya malah bersikap defensif nyolot atau memperpanjang persoalan dengan ekpresi sejenis."
Hal ini seharusnya menjadi sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana berinteraksi di media sosial. Kita semestinya berpikirlah sebelum mengekspresikan apa pun di media sosial: Apa dampak buat diri sendiri, keluarga dan masyarakat? Apa yang 'tampil' di media sosial itu adalah gambaran diri orang tersebut sesungguhnya meskipun orang tersebut memalsukan akunnya sekalipun.

Gabriel Sitanggang menegaskan kembali tentang perlunya sikap bijaksana dalam pemanfaatan media sosial: 
"Kita harus memiliki filter, setting privacy. Jika itu berkembang di luar orang-orang yang terkoneksi dengan pemilik akun, maka saya rasa, si pemilik akun tidak pantas dimintai pertanggungjawaban atas postingannya. Lain hal dengan sebuah akun yang memang sama sekali tidak memiliki filter dan memang ditujukan untuk dilihat oleh semua orang."
Akhirnya, mungkin perlu bagi kita semua - entah yang punya kecenderungan menuliskan (bukan mengatakan lho ya!) kalimat agitatif atau mereka yang punya kecenderungan menulis kalimat positif dan mengajak orang untuk berpikir lebih bijaksana- mari kita kembalikan media sosial sebagai jembatan keakraban, dan bukan gelanggang pertikaian, atau bahkan sebagai mahkamah agung yang dengan mudah menghakimi orang lain, sebab: 
Ketika yang lain SALAH di media sosial, misalnya dengan menulis kalimat yang bernada penghinaan terhadapa orang atau komunitas tertentu, itu tak lantas berarti bahwa kita yang membaca dan mengomentarinya menjadi BENAR."



Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.