iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Resiliensi Bukan Sekedar Diksi

Resiliensi Bukan Sekedar Diksi


Di lingkungan sekitar kita tak jarang kita temui orang yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Kemampuan untuk bertahan, baik dalam lingkungan buruk maupun di dalam situasi penuh tekanan inilah yang disebut sebagai resiliensi.

Lantas apa itu resilensi? Sebelum masuk pada pengertian, penulis akan mengurai ringkas mengenai istilah yang kini sudah akrab ditelinga para filsuf, teolog, psikolog maupun kaum rohaniwan-rohaniwati ini.

Istilah RESILIENSI untuk pertama kali dirumuskan oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience atau kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.

Ego-resilience secara spesifik merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, dan dengannya seseorang dimungkinkan untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa ia lakukan.


PENGERTIAN RESILENSI

Bila Anda mencari kata "resiliensi" (resilience) dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia, maka Anda menemukan resilience (nomina, noun) = kemampuan sesuatu kembali ke bentuk semula / elastisitas (the ability of a substance or object to spring back into shape; elasticity); kemampuan untuk segera pulih dari kesulitan / ketangguhan (the capacity to recover quickly from difficulties; toughness).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan (kekuatan dan fleksibilitas) seseorang untuk bangkit dari pelbagai keterpurukan atau kesulitan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan berat bukanlah sebuah keberuntungan, melainkan sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang.

De facto selalu ada saja orang yang mampu bertahan hingga pulih kembali secara efektif dari situasi negatif yang ia hadapi; tetapi serentak tidak sedikit pula orang yang tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.


KEKUATAN RESILENSI
Kemampuan seseorang bertahan dalam situasi buruk (resiliensi) merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul dari dalam diri individu untuk melawan kehancurannya serta untuk melindunginya dari segala rintangan kehidupan.

Ada 2 syarat yang kita butuhkan saat mengidentifikasikan resiliensi, yakni ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis), dan kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam cara yang kompeten, compotent manner).

Pada titik ini, seseorang yang memiliki intelegensi yang baik akan mudah beradaptasi, memiliki social temperament yang stabil serta berkepribadian yang menarik. Kekuatan inilah yang pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada dirinya dalam menghargai dirinya, kompetensi yang ia miliki dan membangun perasaan bahwa ia adalah orang beruntung.

Individu yang berada dalam situasi di atas adalah individu yang resilien, karena ia memiliki kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut ia akan mampu mencegah, meminimalisir atau melawan pengaruh yang bisa merusak dirinya saat ia mengalami musibah atau kemalangan.

Resiliensi dengan demikian adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan melunakkan kesulitan hidup individu.

Sebagai contoh, seorang remaja yang resilien adalah remaja yang tidak kalah pada saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan sekitarnya, seperti pengaruh obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental.


FAKTOR-FAKTOR RESILIENSI
Para peneliti berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada :
  • diri orang lain (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), 
  • kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan 
  • kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).

Faktor-faktor resiliensi di atas diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah "I Am" untuk dukungan eksternal
dan sumber-sumbernya, digunakan istilah "I Have" sedangkan untuk kemampuan interpersonal
digunakan istilah "I Can". Mari kita lihat satu per satu:

1. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain:
  • Bangga pada diri sendiri - Seseorang tahu bahwa ia adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan seseorang atau sesuatu yang mereka lakukan atau sesuatu yang akan ia dicapai. Ia tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan dirinya. Ketika ia mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantunya untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
  • Perasaan dicintai dan sikap yang menarik - Seseorang pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Ia akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Ia dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Ia selalu dipenuhi harapan, iman dan kepercayaan.
  • Ia percaya bawha ada harapan baginya, orang lain di sekitarnya maupun institusi yang dapat ia percaya. Ia merasakan mana yang benar dan mana yang salah, dan ia ingin terlibat di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
  • Mencintai, empati, altruistic - Seseorang yang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Ia peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan kepedulian tersebut lewat berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan.
  • Mandiri dan bertanggung jawab - Seseorang dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginannya dan menerima berbagai konsekuensi dari perilakunya. Ia merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal yang telah ia lakoni. Ia mengerti batasan kontrol terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.


2. I Have
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi yang akhirnya memberi seseorang semangat agar mandiri, terutama bagi individu yang independen maupun bagiu mereka yang masih tergantung pada keluarga. Berikut adalah sumber-sumber yang dimaksud:
  • Aturan keluarga - Kita tahu bahwa setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, bahkan jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka ia akan diberikan penjelasan atau malah dijebloskan kedalam hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian.
  • Role models - Role models, terutama dari orang-orang yang dapat menunjukkan kepada seseorang apa yang harus ia lakukan, entah itu dalam bentuk informasi tentang sesuatu maupun dalam bentuk semangat agar ia senang mengikuti ajakannya.
  • Relasi - Orang-orang terdekat, seperti suami, anak, orang tua, kekasih, sahabat dan sejenisnya merupakan orang yang mencintai dan menerima seseorang. Tetapi ia juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka.
3. I Can
Faktor I Can adalah kompetensi sosial, kompetensi interpersonal dan kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Saya akan mengurainya satu per satu:
  • Kompetensi Sosial - Faktor ini mengatur berbagai perasaan dan rangsangan di mana seseorang dapat mengenali perasaannya, mengenali berbagai jenis emosi dan mengekspresikannya lewat kata dan tindakannya, namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain juga terhadapa dirinya sendiri.
  • Di sisi lain, seseorang juga dapat mengatur rangsangan untuk membantai, kabur, merusak barang atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan lainnya.
  • Di titik inilah seseorang perlu menemukan relasi yang dapat dipercaya, misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian guna menemukan cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal yang ia hadapi.
  • Kompetensi Interpersonal - Keterampilan berkomunikasi seseorang dalam mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaannya kepada orang lain serta kemampuannya mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain sangat memengaruhi tingkat resiliensinya.
  • Menakar tingka temperamen diri sendiri dan orang lain (seperti cara bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) turut membantu seseoarng memahami temperamennya sendiri dan juga tanggap terhadap temperamen orang lain.
  • Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
  • Kemampuan memecahkan masalah - Seseorang dapat menilai suatu masalah secara alami, mengetahui apa yang ia butuhkan agar dapat memecahkan masalah tersebut, serta bantuan apa yang ia butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan.


CARA KERJA SEORANG RESILIEN 

Setiap faktor yang sudah disebut di atas, yakni I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi seeorang. 

Memang seorang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor di atas, tetapi apabila ia hanya memiliki satu faktor saja, ia tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi.

Artinya seseorang yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi. 

Hal ini menegaskan bahwa sang resilien adalah sseeorang yang ulet  yang menunjukkan fleksibilitas, daya tahan, kemampuan untuk menata ambiguitas yang ia miliki, menjadi lebih proaktif daripada reaktif, memiliki sikap optimisme dan pola pikir yang terbuka untuk terus-menerus belajar. 

Pendek kata, orang yang memiliki resilensi positif selalu memandang hidup sebagai perjalanan yang menantang tapi penuh dengan peluang.


10 CIRI SEORANG RESILIEN
  1. Menerima Perubahan- Ia mampu menemukan cara untuk menjadi lebih nyaman dengan perubahan yang konstan dan tak terelakkan dan ia selalu bisa menerimanya dan bukan menolaknya.

  2. Belajar terus-menerus - Ia selalu mempelajari keterampilan baru dan dengannya ia mendapatkan pemahaman baru untuk ia terapkan sepanjang masa perubahan yang ia jalani. 

  3. Memegang Kendali - Ia merangkul self-empowermentnya, mengendalikan karir dan perkembangan dirinya sendiri. Dengan demikian ia tidak berharap bahwa ada orang lain yang memandu jalan hidupnya.

  4. Memukan Cita Rasa Tujuannya - Ia mengembangkan "personal why" yang memberikan arti bagi pekerjaannya dan juga membantunya menerapkan hal itu kedalam konteks yang lebih luas. Sebuah tujuan yang jelas turut membantunya untuk menilai secara lebih luas tentang kemunduran yang sedang ia alami.

  5. Menghargai Identitas dirinya - Ia mementuk identitasnya secara terpisah dari pekerjaannya. Baginya pekerjaan/karir itu hanyalah salah satu aspek dari identitas dan kehidupannya. Untuk mencapai derajat ketahanan (resiliensi)-nya ia harus memisahkan "siapa dirinya" dari "apa yang ia lakukan".

  6. Merawat Relasi - Sang resilien selalu mengembangkan relasi pribadinya dan membina jejaring yang lebih luas dan profesional dengan orang lain. Baginya, relasi pribadi dengan orang lain turut melandasi tingkat resilensi-nya.

  7. Menyedikan Waktu untuk Berefleksi - Refleksi mendorong seorang resilien untuk selalu belajar, melahirkan perspektif baru serta menelorkan tingkat kesadaran diri yang akhirnya turut meningkatkan resilensi-nya.

  8. Merubah Keterampilan - Seorang resilien selalu bertanya dan mengubah definisinya mengenai diri atau karirnya. Selanjutnya ia akan membingkai caranya melihat kemampuan yang ia miliki, mempertimbangkan kemampuannya untuk berbagi keterampilan yang ia miliki dan kemudai mengembangkan ketrampilan baru.

  9. Mengembangkan Kecerdasan Emosional - Seorang resilien selalu berpikir kreatif dan fleksibel pada saat ia berada dibawah tekanan. ia lebih memilih untuk memperluas cakrawala berpikirnya daripada menutup diri saat menghadapi tantangan. Ia juga akan fokus pada masa depannya dan berusaha mendapatkan kekuatan dari setiap kesempatan baru yang akan muncul dengan sendirinya.

  10. Merawatan Diri - Akhirnya sang resilien selalu merawa dirinya, entah dengan caraq berolahraga, makan makanan sehat, mengembangkan hobi menulis jurnal, bermeditasi, menghabiskan waktu dengan teman dan keluarga, membuat perencana yang tertata serta menikmati kegiatan lain yang menyenangkan dirinya.

Selamat datang Sang Resilien!
Sekian dan terimakasih.

**********
Sumber Bacaan:
  • Banaag, C. G. (2002). Reiliency, street Children, and substance abuse prevention. Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol 3.
  • Bernard, B. (1995). Fostering Resilience in Children. University of Illinois at Urbana Champaign, Children Research Center.
  • Community Resilience, Woodrow Wilson International Center for Scholars dalam www.wilsoncenter.org
  • C. S. Hollings (1973), “Resilience and Stability of Ecological Systems,” Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 4, p. 1.
  • Davis, N.J. (1999). Resilience & School Violence Prevention: Research-based program. National Mental Health Information Center.
  • E. Callaghan, J. Colton (2007), Building sustainable & resilient communities: a balancing of community capital, Environment, Development and Sustainability.
  • Gail Godwin (2001), Heart: A Natural History of Heart-Filled Life. New York: William Morrow & Co.
  • Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Fondation.
  • Hiew, C. C., Mori, T., Shimizu, Masuharu., & Tominaga, Mihoko. (2000). Measurement of Resilience Development: Preliminary Result with a State Trait Resilience Inventory. Journal of Learning & Faculty of Education, Volume I. Hirosima University.
  • Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079.
  • Liquanti, R. (1992). Using Community-wide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A Conceptual Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities, Far West Laboratory fo Educational Research and Development. San Fransisco - diambil dari http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/citu11bhtm (24/10/04).
  • Richmond, J. B. & Beardslee, W. R. (1988). Resiliency : Research and pracital applications for pediatricians. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 9 (3), June, 157-163.
  • Tugade M.M & B.L. Fredrickson. (2004). Resilient Individual Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320-333.