iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Agama Jalan Menuju Ketidakmungkinan

Agama Jalan Menuju Ketidakmungkinan
Menganut agama berarti menganut imposibilitas atau ketidakmungkinan. Sebab, pertama-tama agama lahir dari ketidakmungkinan dan bertujuan untuk mengatasi ketidakmungkinan yang dihadapi oleh manusia.

Abraham/Ibrahim: Simbol Perwujudan Ketidakmungkinan

Alkisah, Abraham/Ibrahim dipanggil oleh Yahwe/Allah/Adonai/Tuhan. Abraham dipanggil Allah untuk membuat perjanjian (MoU) antara Allah dan Abraham serta keturunannya. Term of reference (TOR) dari perjanjian itu memuat kesepakatan timbal balik antara Abraham dan Allah.

Isinya, Abraham mengimani Allah yang memberkatinya: "Akulah Yahwe, Tuhan Allahmu", dan atas imannya itu Allah memberkati Abraham dengan keturunan sebanyak bintang di langit dan sebanyak pasir di tepi laut.

Kisah ini bisa kita temukan dalam Kitab Taurat Yahudi, Alkitab Kristen, Alquran Islam. Seluruh kitab ini bahkan menegaskan bahwa kisah panggilan Abraham di atas adalah awal lahirnya umat/bangsa beragama. Ya, dari siapa lagi kalau bukan dari Bapa Orang Beriman, Bapa Abraham?

Perjanjian ini terjadi di saat Abraham dan istrinya kala itu sedang galau karena tak kunjung mendapatkan keturunan. Kegalauan Abraham seakan dimanfaatkan Allah untuk mewujudkan misiNya di dunia. Allah pun menghadirkan diri dan memberi gerbang solusi bagi kegalauan Abraham dan istrinya.

Begitulah agama lahir, yakni dari "sebuah perjanjian antara manusia dengan segala keterbatasannya dengan Allah yang mampu membabat habis keterbatasan manusia itu dengan kemahakuasaanNya." Artinya, agama sendiri lahir dari posibilitas dan imposibilitas, antara kemungkinan dan ketidakmungkinan.

Sebab "tak ada yang mustahil bagi Allah" seperti dicatat para pemazmur. Allah selalu hadir, dan kehadirannya adalah jawaban atas ketidakmungkinan yang kita alami dalam kehidupan. Abraham sendiri sungguh telah merasakan bagaimana Allah menuntaskan ketidakmungkian dalam hidupnya.


Agama menjadi Jalan menuju Ketidakmungkinan

Pertanyaannya adalah, ketika agama ternyata lahir dari sebuah perjanjian yang mengikat secara turun temurun, apakah agama adalah sebuah keharusan ? Bisa jadi YA, tetapi juga bisa jadi TIDAK.
YA, apabila agama sendiri tetap setia menjalankan misinya sebagaimana Abraham menghidupi misinya dalam menjalankan perjanjiannya dengan Allah. TIDAK, apabila agama justru menyangkal isi perjanjian tersebut sembari membuat traktat sendiri-sendiri, entah antara agama A dengan Allah, atau Agama B dengan Allah.

Nyatanya, hari-hari ini agama justru terbelah dalam kepentingan kelompok masing-masing. Tak hanya itu, agama pun terkooptasi dan terklasifikasi secara parsial: agama Yahudi dengan Musa-nya, Islam dengan Muhammad-nya, dan Kristen dengan Yesus-nya.

Selanjutnya, ketika agama berjalan bersama kemungkinan-kemungkinan yang mereka tawarkan, apakah ia masih perlu?

Tampaknya ya, karena karena dalam hidup kita segala ketidakmungkinan selalu ada dan abadi. Artinya, dengan segala pengalaman jatuh-bangunnya, agama toh masih setia menjadi representasi atas kehadiran Allah dalam hidup kita.

Sebaliknya agama menjadi sangat tidak perlu disaat agama itu sendiri justru mengaburkan makna kehadiran Allah dalam hidup manusia, terutama lewat segala dogma dan fatwa-fatwanya.

Kenyataannya, kini agama-agama sedang menghadapi musuh utamanya, yakni dirinya sendiri. Agama rawan terjerembab pada kepentingan-kepentingan penganutnya. Agama bahkan begitu mudah tergiur oleh hasutan para politisi yang ingin menjadikannya sebagai alat kepentingannya.

Inilah yang terjadi hari-hari ini. Dengan penganut yang berada di luar kontrolnya, agama rawan hadir menjadi institusi remeh-temeh dari yang dibelokkan seeenak udel dari para penganutnya. Di era ini agama pun sangat rawan dimanipulasi oleh pemimpin dan penganutnya sendiri.

Akibatnya agama justru semakin menjauhkan dirinya dari Allah yang diimani oleh Abraham lewat perjanjiannya dengan Allah yang sungguh ia cintai. Faktanya, agama-agama di jaman ini justru secara tak sadar telah menjauhkan dirinya dari Allah yang mengatasi ketidakmungkinan dalam hidup kita, sembari mempertuhankan kepentingannya sendiri.


Agama Masih Pelu Justru Karena Kerapuhannya

Hal terpenting dari eksistensi agama adalah keberadaa agama sebagai "jalur penghubung" antara "Ketidakmungkinan menuju pada Kemungkingkian" dalam hidup manusia. Lewat ajarannya agama membentangkan cara bagaimana manusia bisa lepas dari ketidakmungkinan atau keterbatasan dalam hidupnya.

Kebutuhan akan jawaban atas keterbatasan manusia pada akhirnya telah menggiringnya untuk secara terus menerus mencari, mencari, dan mencari jawaban atas ketidakmungkinan tersebut. Dan melalui agama, Allah semestinya menjadi solusi utama bagi ketidakmungkinan yang kita alami, sebagaimana diamini oleh Bapa Abraham.

Satu fakta dalam agama Samawi (teisme) yang tak bisa kita sangkal, bahwa kita, entah bergama Yahudi, Kristen dan Islam adalah pewaris iman Abraham. Kita adalah pewaris perjanjian itu. Agama-agama Samawi oleh karenanya haruslah kembali menjadi institusi yang membuka tabir kegalauan dan kegelapan hidup manusia yang begitu ringkih menuntaskan segala ketidakmungkinan yang ia hadapi.

Agama menegaskan bahwa Allah adalah solusi bagi hidup manusia, asalkan manusia beriman dan berharap kepadaNya, serta mencintai sesamanya seperti mencintai ia mencintai diri dan TuhanNya. Pendek kata, setiap orang beragama, dalam mengatasai keterbatasannya, semestinya memiliki iman, harapan dan cinta kasih. Iman, harapan dan cinta kasih adalah tiga hal yang diajarakan oleh agama untuk menjembatani ketidakmungkin dalam hidup manusia.

Iman, harapan dan cinta kasih itu berjalan dalam lingkaran ruang dan waktu yang tak berbatas. Seperti Abraham yang tak pernah berhenti ber-HARAP atas hidup yang lebih baik, demikian juga orang beragama tak boleh behenti berharap terus-menerus akan hidup yang lebih baik di masa hidupnya.

Sebagaimana Abraham hanya mengimani saja tawaran Allah untuk menuntaskan ketikdakmungkinan yang ia alami, demikian juga setiap orang beragama seharusnya memiliki IMAN seperti Abraham, yang hanya menjawab YA atas tawaran Allah.

Bila Abraham selalu mengandalkan dirinya pada kekuatan CINTA di sepanjang hidupnya, bahkan ketika cintanya pada istrinya diuji karena tak kunjung memiliki keturunan, demikian juga setiap orang beragama harus mampu mengandalkan cinta sebagai gerbang pencarian kemungkinan di atas ketidakmungkinan hidupnya.


Agama Jalan Transformasi Hidup Manusia

Agama menjadi (sangat) penting bagi penganutnya justru ketika cara yang ditawarkan oleh agama bagi persoalan hidupnya, yakni mengandalkan Allah dalam setiap usahanya mencari mengatasi ketidakmungkinan dalam hidupnya.

Sebagaimana Allah adalah jawaban atas kegalauan Abraham, demikian juga agama wajib menghadirkan diri "disaat hidup menjadi pertanyaan" atau "ketika jawaban atas pertanyaan tak kunjung datang".

Pendek kata, agama sudah seharusnya berjalan dalam rangka membuka tabir keterbatasan hidup manusia dengan iman, harapan dan cinta kasih yang dimilikinya. Artinya, agama itu harusnya jadi solution maker, dan bukan problem maker.

Maka, agama - lewat kerapuhannya- harus rela menjadikan dirinya menjadi jalan menuju kesempurnaan bagi para pengukutnya. Maka, ketika agama kehilangan kemampuannya menjadi saluran antara manusia dan Allah, maka pada saat itulah agama akan kehilangn tajinya.

Demikian juga ketika ada kelompok tertentu mengkalim agama sebagai lembaga yang berhak berhak menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah atau mana halal dan mana haram, maka pada saat itu juga agama tak lebih darii biro hukum, yang pro terhadap kelompoknya dan kontra pada mereka yang tidak seragam dengan kepentingan kelompoknya.

Semarang, 15 Agustus 2014 pkl 19:19 wib.