iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Hukuman Mati Bukan Solusi Terbaik

Hukuman Mati Bukan Solusi Terbaik
Di beberapa grup Jokowi, misalnya JOKOWI PRESIDEN KU , RELAWAN JOKOWI PRESIDEN, RELAWAN "BEJO" (BELA JOKOWI) dan sejesnisnya lagi ramai dibicarakan tentang hukuman mati. 

Terbersit pertanyaan di dalam nurani kita sebagai manusia: "atas dasar moralitas apa sebuah negara bisa menentukan seseorang boleh hidup dan harus mati?"

Gereja Katolik misalnya selalu berada di pilihan yang jelas soal ini: "hanya Tuhan yang berhak mengambil kehidupan manusia!" Ya, hanya Tuhan yang berhak menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati sekarang juga!.

Lantas, bagaimana menjelaskan hal ini kepada orang yang ateis atau agama lain yang menghalalkan hukuman mati? Ada beberapa pertimbangan yang bisa saya utarakan di sini:


Pertama, pada akhirnya semua hukuman yang ditimpakan kepada pelaku kejahatan (=melanggar hukum yang berlaku) pasti bertujuan mematikan yang bersangkutan. 


Bagaimana tidak. Orang yang dipenjara seumur hidup pun secar otomatis sudah bergaul dengan maut. Mereka yang dipenjarakan karena kejahatannya secara otomatis akan kehilangan kehidupan sosialnya sebagai manusia, dan itu akan membuatnya mati perlahan-lahan.


Kedua, hukuman mati pada akhirnya bukanlah solusi atas kejahatan, juga bukan efek jera bagi mereka yang akan melakukan hal yang sama. 


Buktinya, sejak hukuman mati diberlakukan di berbagai belahan dunia ini tak ada jaminan akan segera melenyapkan kejahatan serupa.


Ketiga, ketika pengampunan / permohonan maaf yang tulus telah dimintakan dengan tulus, dan permohonan itu telah disampaikan berkali-kali, maka tak seorang pun dari kita yang serta merta tak akan memaafkannya. Serentak, pemberiaan maaf itu tak serta merta akan menghapuskan hukuman yang dijalaninya.


Di titik inilah, secara perlahan-lahan, hukuman mati harus dihapuskan, dan bentuk hukuman seperti penjara seumur hidup harus dihidupkan kembali, tanpa grasi dan tanpa 'remisi' tahanan setiap Lebaran atau Natal.

*****

Sebagai presiden, Jokowi memang bertanggungjawab pada eksekusi 6 terpidana mati yang baru-baru ini terjadi. Tetapi serentak juga mengapa para pakar hukum tak menjelaskan kepada presiden mengapa beliau harus mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidup 6 tawanan narkoba itu. 

Bisa kita bayangkan bagaimana arwah orang yang dipaksa mati / dibunuh / dimatikan, sementara di sisa hidup yang ia jalani selama di penjara justru telah memberinya harapan untuk memperbaiki hidupnya kelak?

Memang apa yang dilakukan Jokowi adalah tindakan hukum, kendati harus beliau sadari bahwa masih ada aturan lebih tinggi dari hukum, yakni moralitas. Dan sisi pengampunan dan penyesalan adalah salah satu dari antara ajaran moral itu. 

Gereja Katolik dengan tegas meyakini bahwa nyawa manusia ada di tangan Tuhan, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil!" Konsekuensinya, Gereja Katolik juga tak mengenal hukum balas dendam, "mata ganti mata, gigi ganti gigi".

Akhirnya, sebagai saran dan masukan kepada presiden Joko Widodo agar lebih melakukan perbaikan di bidang hukum dan penerapannya ditengah masyarakat. Artinya, hukum (sipil) yang berlaku hendaknya hukum yang tetap tegas tetapi serentak juga harus manusiawi.

Kita semua tak pernah setuju dengan kejahatan, tetapi serentak dengan kebenaran yang kita yakini, kita juga sering berbuat jahat, seperti "membunuh sesama atas nama kebenaran agama tertentu."

Ini menjadi dasar pertimbangan yang menurut hemat saya perlu diverifikasi oleh negara: mana yang lebih manusiai: hukuman seumur hidup atau ditembati mati segera?

Semoga negara selalu menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang humanis saat menjatuhkan hukuman. Hal ini hanya bisa terwujud bila sistem hukum dan peradilan yang ada di negara ini segera diperbaharui.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.