iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Simalungun Tanpa Korupsi: Mungkinkah?

Simalungun Tanpa Korupsi: Mungkinkah?

Kita semua sepakat bahwa praktik korupsi dan pungutan di lingkungan pemerintah itu sangat menyengsarakan pejabat, pegawai dan masyarakat. Begitu menyengsarakan sehingga tak jarang masyarakat merasa putus asa, pesimis dan apatis terhadapa para pemimpinnya. Lantas sejauh mana praktik kejahatan ini bisa diakhiri? Mengapa praktik korupsi dan pungutan liar oleh penguasa ini harus dihentikan?

Setidaknya ada 4 alasan mengapa pemerintah harus mengakhiri praktik korupsi dan pungutan "liar" oleh penguasa dan pemerintah tersebut, yakni:

Pertama, anak-anak dari kalangan masyarakat miskin tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak dari kalangan masyarakat yang orangtuanya mampu membayar pungutan "sejumlah tertentu".

Padahal, bisa saja, anak masyarakat miskin ini jauh lebih pintar daripada anak masyarakat yang mampu membayar pungutan tersebut. Ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) di mana orang miskin tidak mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang lebih mampu.

Lebih jauh lagi, kenyataaan ini dapat mengakibatkan anak orang miskin menjadi "malas" belajar sebab ia sadara kalau orangtuanya tak akan mampui membayar pungutan dalam jumlah tertentu yang diterapkan oleh penguasa.

Kedua, pegawai yang miskin tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan dengan pegawai lain yang mampu membayar pungutan dalam jumlah tertentu.

Padahal, bisa saja terjadi bahwa pegawai yang miskin tadi ternyata lebih jujur, lebih berprestasi dan mempunyai kualifikasi dan kemampuan kerja yang lebih baik dibandingkan pegawai lain yang meraih jabatan itu lewat jalur ‘membayar upeti ‘ kepada penguasa yang berwewenang.

Ketiga, pemilihan pejabat pada posisi tertentu hanya berdasarkan kemampuannya menyetor uang sejumlah tertentu kepada penguasa secara psikologis akan menekan bawahannya agar menyetor uang sejumlah tertentu kepadanya demi mengembalikan jumlah setoran yang diminta atau dituntut darinya oleh atasannya.

Bawahan yang dipaksa dan terpaksa menyetor jumlah tertentu kepada atasannya secara otomatsi juga akan terpaksa melakukan hal yang sama kepada masyarakat yang "membutuhkan" pelayananannya. Mana ada jenis orang seperti ini yang mau rugi atau kehilangan pekerjaannya!

Terakhir, pejabat tertentu yang terpaksa atau dipaksa untuk menyetor uang sejumlah tertentu kepada penguasa atau atasannya, secara otomatis juga akan melakukan tindakan yang sama kepada kontraktor dan konsultan yang melakukan pekerjaan di lingkungan instansinya.

Akibatnya, kontraktor yang mengerjakan sesuatu di lingkungan instansi itu terpaksa mengurangi mutu atau jumlah volume pekerjaan yang dilakukannya.

Hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat, sebab pekerjaan yang dikerjakan oleh si kontraktor (misalnya jalan raya atau bangunan fisik lainnya) akan cepat rusak alias tidak berkualitas.

Ketika pegawai dan pejabat suatu instansi ditetapkan berdasarkan kemampuan memberikan setoran, dan sebaliknya, bukan berdasarkan kualifikasi dan keahliannya, maka tugas dari instansi tersebut tidak akan berjalan dengan baik dalam melayani masyarakat.

Lagi dan lagi, masyarakatlah yang akan menjadi korban. Jam kerja pejabat dan pegawai yang menjadi "korban" dari praktik semacam ini akan habis untuk memikirkan pengembalian uang yang telah ia setor.

Selanjutnya ia tak sempat lagi berpikir untuk bekerja secara profesional dalam melayani masyarakat. Mereka bahkan akan segera melupakan satu hal penting dalam hidupnya, yakni bahwa mereka digaji dari pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh rakyat.

Mereka bahkan lupa bahwa korupsi dan pungutan liar adalah tindakan jahat dan kedua tindakan tersebut dilarang oleh agama mana pun. Mereka juga lupa bahwa korupsi dan pungutan liar adlaah tindakan yang melanggar hukum, merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.

Pertanyaannya adalah dimanakah hati nurani kita? Apakah kita tidak takut kepada Tuhan? Apakah kita tidak kasihan kepada masyarakat miskin di sekitar kita? Apakah kita tidak takut pada "sumpah serapah" dari masyarakat kepada kita?

Pemikiran inilah yang menjadi tolok ukur bagi kami dalam mewujudkan Simalungun Baru atau Simalungun Tanpa Korupsi dengan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil dan merata dengan menghadirkan pemerintahan yang bersih dan transparan berasaskan Habonaron do Bona.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.