iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kreatifitas itu Selalu Kontekstual

Kreatifitas itu Selalu Kontekstual

Kreatifitas memang selalu kontekstual. Bayangkan ketika orang merasa berjualan makanan di tempat di mana orang tidak suka makan di warung; juga membuka cafe dengan makanan-makanan khas eropa di tempat di mana orang masih fanatik dengan nasi dan ikan asin.

Tak terhindarkan bahwa kreativitas itu selalu erat terkait dengan ruang dan waktu.

Di sebuah kota kecil seorang anak muda merasa 'kalah' oleh selera pasar di sekitar cafenya. Ia berjuang menjual juice ubah-buahan, omlet, spageti, dan jenis makana cepat saji lainnya, sementara orang datang ke cafe hanya untuk menonton televisi atau sekedar makan nasi.

Di kota yang sama seorang ibu muda juga bertutur mengenai penglamannya membuka cafe mini saat Piala Dunia tahun lalu. Dengan berbekal layar lebar alias infocus ia memfasilitasi para penggemar sepak bola menonton di cafe 'musiman'nya itu.

Apa yang terjadi? Ketika siaran langsung pertandingan sepakbola sejagat itu berlangsung, para penonton memang duduk manis di cafe, tetapi hanya memesan segelas teh manis dari pukul 23.00 hingga pukul 04.00 esok paginya.

Pendek kata, biaya sewa LCD pun gak ketutup.. boro-boro membayar kewajiban kepada televisi swasta yang mempunyai hak siar pertandingan sepakbola antar timnas negara itu.

Begitulah kreativitas selalu mendandani diri dalam konteks lokal. Namun itu hanya satu dimensi dari kreatifitas.

Sebab ada satu hal penting lain yang harus kita sadari ialah bahwa kreativitas justru tak terkungkung oleh ruang dan waktu.

Bukankah para pedangang kreatif saja yang memampu mendikte pasar? Dulu orang merasa tak butuh ponsel, tetapi sekarang produsen ponsel atau smartphone justru mampu memaksa orang membeli produk mereka.

Maka, bila kebanyakan orang tidak suka jajanan warung, mengapa kita harus memaksakan diri membuka warung? Atau, mengapa para pedagang seringkali merasa terlalu percaya diri membuka sesuatu yang tidak dibutuhkan konsumen?

Jawabnya hanya satu, yakni karena orang kreatif tidak mau didikte pasar, jusrtru mereka harus mendikte pasar. Orang kreatif tidak menyerah kalah pada tantangan; sebaliknya mereka justru selalu mampu mengkonversi tantangan menjadi motivasi untuk semakin kreatif.

Ketika jabatan politik selalu dipahami sebagai cara membeli 'hak' rakyat, maka orang kreatif harus mengembalikan makna demokrasi pada tatanan yang melekat pada terminologinya: kekuasaan selau berasal DARI rasa percaya pada seorang pemimpin - UNTUK menata kehidupan bersama - yang diberikan OLEH mayoritas rakyat yang akan dipimpin.

Mengembalikan makna di atas sungguh tidak mudah. Dibutuhkan kerja ekstra keras untuk menghalau 'kebiasaan yang salah' bahkan telah menyelimuti tatantan bermasyarakat tersebut.

Bila orang pragmatis dan pesimis akan mengatakan, "Aku tak peduli dengan semua yang terjadi itu, karena tidak menguntungkan aku," maka seseorang yang kreatif justru yakin bisa mengubah kebiasaan itu.

Ia justru terntantang untuk menemukan cara baru sembari mengevaluasi cara lama yang justru telah menjerumuskan masyarakat menjadi masyarakat pragmatis dan terbiasa melakukan politik transaksional.

Cara baru itu adalah dengan mengubah paradigma (shift paradigm) yang salah masyarakat - yang dalam kurun waktu panjang sudah mereka hidupi. Si orang kreatif akan memulai dari dirinya. Ia tak mengatakan "jangan korupsi" sementara ia seorang koruptor.

Pemimpin yang didengar pada akhirnya, bukan pemimpin yang pragmatis, yang menggamit orang-orang terdekatnya untuk mengamankan kursi kekuasaannya. Pemimpin yang kreatif, oleh karenanya bukan pemimpin yang out of context. Ia bukan pemimpin yang datang dari pola pikir masa lalu, melainkan pemimpin yang kontekstual: tau siapa yang akan dipimpinnya.

Orang kreatif juga tak akan mudah menjual Tuhan dengan mengatakan bahwa "Kekuasaan ini adalah anugerah Tuhan", tetapi dalam praktiknya ia sungguh jauh dari ajaran agama yang dianutnya.

Benar bahwa politik adalah arena perebutan kekuasaan bahkan ada yang hendak menggapainya dengan intrik-intrik licik dan picik; tetapi serentak selalu ada juga pemimpin yang lahir dari bawah, hidup di tengah masyarakat dan tahu ke ke arah mana ia akan menggiring masyarakat yang akan dipimpinnya.

Pemimpin kreatif, sebagaimana telah saya singgung di awal, bukanlah pemimpin yang sekedar mengisi perjalanan waktu, pun bukan orang yang dipilih hanya untuk meneruskan visi dan misi dari pemimpin sebelumnya.

Orang kreatif selalu berpikir bahwa orang lain selalu lebih besar, lebih pintar, lebih kaya, atau lebih hebat dari dirinya. Anggapan itulah yang selalu harus dipegangnya karena ia menyukai tantangan, dan selalu berhasrat untuk memberikan pencerahan baru di sekitarnya.

Selamat berjuang, calon pemimpin baru di Simalungun.
Semoga di penghujung tahun ini kita memiliki pemimpin kreatif.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.