iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ritual versus Repetisi

Ritual versus Repetisi
Ritual itu adalah tindakan pengulangan, tetapi tak melulu pengulangan.

Agama kaya dengan ritual, dan tak jarang bahwa ritual yang dijalankan oleh para pengikutnya menjadi gerbang bagi siapa pun untuk membedakan mana Katolik, Protestan, Islam, Budha atau Hindu.

Tentu salah satu unsur ritual yang membedakan agama-agama di atas adalah cara masing-masing agama tersebut melakukan ritual mereka.

Lantas mengapa kita membutuhkan ritual yang sama di waktu yang berbeda?

Mengapa umat Islam tak merasa bosan merayakan Idul Fitri, atau umat Kristen tak bosan merayakan Hari Raya Paskah atau umat Hindu masih setia merayakan HR Nyepi dan Budha dengan Waisaknya setiap tahun ?

Bukankah itu hanya pengulangan? Lebih sederhana lagi, mengapa orang Katolik secara khusus atau Kristen secara umum selalu merayakan Perjamuan Kudus setiap Kamis Putih, menyalibkan Yesus setiap Jumat Agung dan bersukaria merayakan Malam Paskah setiap tahunnya?

Secara tekstual dan teknis tak terlihat perbedaan di tiap perayaan yang setiap tahun dirayakan itu. aat Kamis Putih orang mengenang perjamuan Yesus dan Murid-muridnya ditambah peristiwa Yesus membasuh kaki ke-12 murid.

Saat Jumat Agung, lantas mereka digiring dalam kelamnya penderitaan dan mengharubirunya pengorbanan seorang Yesus bagi para sahabat-sahabatNya, dan terutama dalam memperjuangkan "kebenaran" yang dibawaNya.

Begitu juga saat malam Paskah, umat Kristiani merayakan kegembiraan para murid Yesus yang sebelumnya galau dan takut karena kehilangan Rabbi yang bahkan mereka anggap sebagai Tuhan yang hidup.

Kebangkitan Yesus oleh umat Kristen dirayakan sebagai simbol pembebasan manusia dari dosa oleh pengorbanan Yesus, sosok yang diurapi Allah (Kristus).

Hal ini juga secara simbolik adalah akhir dari masa puasa yang telah dijalankan oleh umat Kristen selama 40 hari sebelum Malam Paskah ini.

Setiap ritual itu dirayakan sebagai tindakan pengulangan (repetisi). Teks dan teknia perayaan hampir selalu sama. Tetapi, apakah tiap ritual itu melulu sebagai repetisi?

Aku teringat pada ungkapan kuno dalam bahasa Latin, "repetitio mater scientiarum est" yang berarti bahwa pengulangan adalah ibu dari segala ilmu. Ungkapan ini tak sekedar berkaitan dengan ilmu, tetapi juga hidup kita.

Sebab, melakukan tindakan yang sama di waktu yang berbeda dan oleh orang-orang yang berbeda pula pasti bukan sekedar pengulangan. Perbedaan tempat, waktu dan subyek yang merayakan sebuah ritual itu adalah pembeda utama.

Di titik inilah ritual bukan sekedar pengulangan. Setiap ritual tersebut dirayakan maka saat itu pula tercipta nuansa baru. Mengutip penyanyi centil dan cunihin, Syahrini, pengulangan itu "sesuatu banget".

Ini ibarat menyanyikan lagu yang sama di panggung berbeda dan dihadapan penonton yang berbeda pula.

Belum lagi suasana hati atau berbagai hal lain yang selalu berbeda di tiap tempat. Lantas di mana letak 'pembeda' dari ritual-ritual yang kita lakukan berulang-ulang itu?

Pertama-tama ada pada 'roh' atau suasana hati dari subyek yang merayakan, ditambah lagi oleh nuansa (aura) yang tercipta saat ritual itu dilakukan. 

Di titik inilah keHADIRan Anda merayakan ritual yang tata acaranya bahkan sudah Anda hafal itu masih perlu, bahkan bisa dikatakan penting.

Pentingnya kehadiran Anda di tiap ritual yang dirayakan itu justru ada pada kemampuan Anda memaknai kehadiran Anda sendiri.

Selamat memasuki ritual kematian dan kebangkitan Yesus bagi umat Kristiani di mana pun Anda berada.

Semoga Anda bisa "menikmati" nuansanya, sembari mengadopsi nilai-nilai kehidupan yang terkandung lewat ritualnya.

Agar..... agar.... agar..... ritual tersebut tak melulu sebagai pengulangan !


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.