iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Hentikan Tangisan Paradoksmu

Hentikan Tangisan Paradoksmu
"Atik aha pe na dong ibagas uhurni sahalak jolma, lang mungkin 'ta botoh ai. Ra do homani sahalak jolma tangis ilobei 'ta tapi lang halani lungun pangahapni, tapi halani ase songon na simpatik hita bani," kata seorang ibu muda yang saat makan malam tadi duduk disebelah kananku.

Dalam bahasa Indonesia, perkataan bijak si ibu tadi bisa diterjemahkanbegini, "Kita tak pernah tahu apa isi hati seseorang. Tak jarang kita menemukan seseorang yang menangis di hadapan kita, bukan karena sedang bersedih hati, melainkan karena ingin mendapatkan simpati kita."

Inilah cara hidup orang yang selalu ambigu dalam pikiran, munafik dalam perkataan dan paradoks dalam tindakan.

Selain itu, jenis manusia ini selalu suka meleburkan dirinya dalam kekaburan makna, dengan tujuan agar orang tidak tahu siapa dirinya dan apa yang sebenarnnya yang ia inginkan. Inilah realitas sosial kehidupan kita, dan terutama di dunia sosial politik yang kini sedang dihiasi oleh perang antar-calon pencari tahta.

Pastinya, tak ada masalah dengan pola pikiran, perkataan dan pola tindakan setiap orang di sekitar kita. Sebab biarbagaimanapun setiap orang ingin menghargai perbedaan. Bukankah kita hidup bersama dengan yang lain justru karena kita berbeda?

Kita membutuhkan yang lain karena kita ingin memaksimalkan kekuatan kita sekaligus meminimalisir kelemahan kita. Anda harus siap menghadapai perbedaan, dan menjadikan perbedaan itu menjadi pemicu kemajuan hidup Anda!" Tetapi serentak hati kita juga tak kuasa untuk berhenti berteriak agar orang lain tak jatuh ke dalam lembah ambiguitas dalam pikiran, munafik dalam perkataannya dan paradoks dalam tindakannya, sebagaimana juga kita tidak menginginkannya.

Kita sadar bahwa di mana ada orang yang hidupnya "apik" (jawa, baik) di situ juga pasti ada orang yang hidupnya munafik; atau di mana ada orang tulus di situ pula pasti ada orang yang hidup penuh akal bulus. Demikianlah hidup selalu berlangsung dalam tegangan itu: menjadi orang yang apik dan tulus atau menjadi orang yang munafik dan penuh akal bulus!

Pendeknya, kita ingin agar kebiasaan buruk dalam relasi sosial itu semakin hari semakin berkurang. Kita semua ingin mengubahnya; dan tak satupun dari kita hanya menangisinya. Sebab, dengan melulu menangisinya maka hidup justru akan mandeg.

Buktinya, kita semua resah dengan kebiasaan para politisi, mulai dari politisi amatiran hingga prefesional yang sering menjual tangisan untuk mendapatkan istana kekuasaan. Mereka sudah terbiasa menjual tangisan sedang dijadikan sebagai 'sesuatu' hingga dijadikan sebagai pemoles citra pengganti ungkapan "aku sedang bersimpati dengan penderitaan rakyat."

Akhirnya, mengacu pada ungakapan hati si ibu muda di atas, kita semua berharap agar kita tak menjual atau membeli tangisan demi 'perhatian' orang lain. Maka, di akhir obrolan tadi malam, si ibu tadi juga hendak menasihati para pemimpin atau calon pemimpin di daerah ini, agar
  • Jangan mencari simpati orang lain dengan berpura-pura menangis, tetapi menangislah karena Anda sedang bersimpati dengan penderitaan orang lain! 
  • Jangan pula menangisi ketidakmampuanmu sembari berteriak ke seantero dunia karena kalah "kini, teman-temanku telah meninggalkanku!", tetapi menangislah karena Anda tak mampu memahami arti persahabatan dan makna hidup yang sebenarnya. 
So, please deh bro/sist...
  • Hentikan tangisan paradoksmu itu !
  • Singkirkan rasa sakit akibat kemunafikanmu !
  • Janganlah meneriakkan kebenaran yang ambigu !
dan... Jadilah dirimu sendiri !


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.