iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Monaco Asia: Untuk Kita atau Mereka?

"Tidak. tidak. Aku tidak habis mengerti, mengapa justru para pemuka agama yang lebih 'heboh" menginjakkan kakinya di Parapat setelah Danau toba mulai dilabeli "Monaco Asia itu?" kata Ama Lamhot kepada Sudung, pentolan preman di kampung Sipangan Bolon.

"Bah. Betul nya itu? Macam rebutan umat mereka itu di kampung kita ini," ketus si Sudung sok menduga-duga.

"Tapi, tunggu dulu. Kurasa ini bukan soal rebutan umat. Sudah beragama nya semua orang di sana. Hanya saja perilakunya masih agak-agak kurang mencerminkan orang beragama.

Ya, macam awak lah," sela Ama Parulian yang duduk bersebelahan sambil baca koran seribuan, persis dihadapan si Sudung.

Ama Lamhot yang makin bingung, kembali menegaskan pertanyaannya tadi, dengan kalimat perlahan dan dengan suara keras khas orang Batak.

Ama Parulian lalu meletakkan koran seribuan yang tadi dibacanya. Sambil menatap Ama Lamhot dan si Sudung, dia mulai mempresentasikan pemikirannya,

"Kurasa begininya itu.Bukan soal kepentingan diri atau kelompok pertama-tama yang dilakukan para pemuka agama itu. Mereka kan punya massa alias umat. 

Jadi mereka punya potensi mengajak umatnya untuk berwisata ke Danau Toba ini. Apalagi pak presiden kita sudah membentuk tim untuk memajukan kampung kita ini menjadi tujuan wisata sekelas negara Monaco di Eropa sana."

Ama Parulian menghela nafas sejenak, sambil menyalakan rokok 999 khas sumut itu. Entah karena cara Ama Parulian begitu menarik, perlahan-lahan orang-orang di lapo itu mulai mendengarkan pemaparan si Ama Parulian tadi.

"Jadi, untuk kita yang ada di lapo ini, kita seharusnya malu. Daerah kita yang ingin dimajukan. Tapi orang kita malah santai seolah tak ada yang terjadi di sekitar kita.

Padahal orang-orang di Jakarta, Medan, Amerika dan di tempat di mana orang batak merantau sudah sangat sibuk memperbincangkan Badan Otorita Danau Toba yang telah dibentuk pak Jokowi itu.

Iboto hamu do aha lapatanni hatakhon? (Kalian ngerti enggak sih apa yang telah kusampaikan tadi)?" tanya Ama Parulian yang butuh afirmasi atas uraian panjang lebarnya.

Kaum bapa dan anak-anak muda yang ada di lapo itu pun hanya mengangguk. Sesekali mereka meminum "tuak takkasan" (tuak asli versi lokal). Demikian juga Ama Parulian.

Walaupun Ama Parulian seorang sintua di gereja, ia sesekali bersosialisasi di lapo tuak di kampungnya. Katanya sih dia belum pernah mabok, karena ia memang menyadari status sosialnya tadi.

Di penghujung uraiannya, Ama Parulian menegaskan,

"Jadi aku hanya menganjurkan dan mengajak para bapak sekalian, terutama kaum muda kita yang ada di kampung ini, agar semakin mempersiapkan diri menyambut "BODT" yang sedang gencar-gencarnya menjadikan kampung kita ini, dan Danau Toba secara umum menjadi tujuan wisata kelas dunia.

Kalau kita tidak siap, maka bersiaplah jadi tukan jual kamar hotel seperti di Puncak, Bogor sana. Atau, bersiaplah menjadi penonton yang saban hari menyesali perbuatan kita karena tergoda menjual tano hatubuan (tanah kelahiran) kita.

Jadi bagaimana: kita akan tetap seperti ini (menghabiskan waktu di lapo) dan tak berusaha mengambil bagian dalam kemajuan Danau Toba ini?"

Kalimat terakhir ini rupanya menyentuh hati mereka yang ada di lapo. Sebab, tak lama kemudian mereka perlahan-lahan meninggalkan lapo. Bahkan ada yang langsung melunasi utang tuaknya karena merasa disadarkan oleh Ama Parulian.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.