iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Jangan Takut Pada Kemajuan (BODT)

Jangan Takut Pada Kemajuan (BODT) "Just be +thinkin', Guys," kata anak-anak muda Medan saat penulis bertanya apa benar Danau Toba akan rusak dan masyarakat lokal akan semakin miskin bila mega proyek BODT diwujudkan Pemerintah Pusat.

*****
Pembangunan selalu punya konsekuensi. Tak hanya persoalan Danau Toba. Kemudian soal apakah masyarakat lokal akan tergusur atau malah termotivasi maju.. itu juga tergantung masyarakatnya.

Menurut hemat kami, persoalan Danau Toba, dari sekarang, harus didekati dari 3 pendekatan penting:
(1) pendekatan ekonomis,
(2) pendekatan kultural, dan
(3) pendekatan ekologis.

Mari kita diskusikan 3 pendekatan di atas secara ringkas.... 


(1) Pendekatan Ekonomis

Selama ini kita terlalu fokus pada pendekatan ekonomis, maka dua unsur terpenting bisa kita lupakan. Kita seakan memberi ruang dan waktu berlebih membahas tentang siapa yang akan memiliki hotel, cottage, villa atau siapa yang akan menjadi raja Ferry, kapal barang, rental mobil, rental sepeda motor, rental speed boath, banana boath, dst.

Tapi kita lupa bahwa semua orang yang datang dari luar dan atau masyarakat setempat (yang bertahan dan tinggal di tanah Batak itu) selalu membawa kultur yang melekat pada diri mereka.

Bule Eropa Barat dan Amerika akan datang dengan pendekatan pragmatis dan kapitalisnya, para emir asal Timur Tengah akan datang dan segera membeli semua aset sembari membangun mesjid dan islamic center-nya.

Demikian juga bule-bule asal Eropa Timur akan datang dengan perhitungan yang matang tentang untung dan rugi saat berbisnis; dan ini mirip dengan cara pelancong asal China, Taiwan dan negara-negara oriental lainnya.

Tentu saja contoh-contoh di atas hanya pandangan sepintas (prejudice/prasangka), kendati secara umum kesan itu sudah terbukti di 'lapangan'.

Lantas bagaimana dengan para pelancong lokal / nasional (WNI) sendiri?

Jangan heran bila Restoran Padanga akan semakin banyak di Parapat, Tuktuk, Ambarita, Pangururan, Simanindo, Onan Runggu, Palipi, dst. Kini, bahkan resto dan rumah makan berlabel "RM ISLAM" sudah bertebaran.

Juga orang Jawa dan Sunda akan datang dengan pendekatan kultur yang lebih softly. Mereka hadir lewat kantor-kantor pemerintahan, ditambah para buruh yang akan eksodus ke sekitar danau Toba untuk membangun hotel-hotel dan fasilitas lain yang pasti akan bertambah.


(2) Pendekatan Kultural 

Inilah pertanyaan terpenting bagi kita masyarakat Batak, terutama yang berdiam di bibir danau Toba atau di Pulau Samosir sekalipun:

"MAMPUKAH KITA MENGANGKAT PESONA BUDAYA BATAK SEBAGAI BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI WISATA DANAU TOBA?"

Di titik inilah budaya dan tradisi Batak Toba di Samosir dan di pesisir danau toba dari arah Sumatera Utara, harus menjadi bagian dari parawisata, bukan malah tersingkir karena kalah bersaing.

Parapat, dan terutama Tomok selama ini sudah mencoba menjadikan situs-situs Batak dan pernak-pernik ritual Batak sebagai bagian dari pengembangan ekonomi rakyat. Bahwa hal itu masih kurang maksimal hanya karena para bupati, camat, kepala desa, kepala lorong, dst terlalu banyak "marhobas" (bekerja) di lapo atau di pesta-pesta perkawinan.

Jadi, siapa tahu dengan "turun tangan"-nya pemerintah pusat, termasuk Presiden Jokowi, sistem pemerintahan akan berjalan dengan lebih baik. Kita berharap demikian.


(3) pendekatan Ekologis 

Dari sisi ekologis, kiranya jelas bahwa Danau Toba jauh sebelum gencarnya BODT bentukan pemerintah pusat telah kita kotori sendiri dengan berbagai aktivitas bisnis yang merusak alam.

Sebut saja bisnis keramba, wc umum dengan pembuangan langsung ke Danau Toba, perhotelan,  bahkan warung-warung yang jamak membuang sampah ke dalam Danau Toba.

Lalu, mengapa Bali tak kehilangan kekhasan kulturalnya saat daerah mereka menjadi destinasi wisata terbesar di Indonesia?

Tentu saja karena mereka melakukan pendekatan budaya (kultural) dan ekologis (religiositas), baru melakukan berbagai upaya ekonomis.

Batak punya nilai-nilai religiositas yang diwariskan oleh leluhur. Bahkan nilai-nilai religiositas itu masih dipraktikkan dengan apik oleh masyarakat Batak pemeluk Ugamo Parmalim.

Sebagai orang Batak, entah menganut agama Kristen dan agama Islam, kita patut meminta maaf kepada leluhur masyarakat Batak.

Sebab kehadiran agama-agama kita ini telah turut membunuh berbagai unsur budaya yang sangat indah, terutama dalam kaitannya dengan kecintaan pada semesta dan berbagai unsur-unsur budaya yang didakwa sebagai unsur budaya yang haram hukumnya bila sudah memeluk Kristen atau Islam:

Sebut saja larangan-larangan yang umum dituturkan oleh para orang tua kita, "Kalau sudah menjadi Kristen, tinggalkan kebiasaan adat itu!", "Tidak boleh ada gondang di dalam gereja dan di mesjid apalagi dalam upacara-upacara keagamaan", "Jangan pakai ulos kalau sudah memeluk Islam karena tidak sesuai syari'ah", "Haram pesta adat!", bahkan agama-agama itu dengan gagah berani mengesahkan perkawinan semarga yang memang sangat tabu dalam adat Batak, dst.

Jadi, mari kita menjadikan aktivitas bisnis (ekomomi) dengan tetap menjujunjung 2 faktor penting lainnya, yakni kultur dan ekologis.

Semoga ini menjadi jawaban sekaligus kita jadikan sebagai jembatan kemajuan parawisata di Danau Toba.

Entah Anda seorang akademisi, penggiat sosial / LSM, mahasiswa/pelajar, penguasa, pengusaha atau masyarakat biasa, dan kita semua yang berasalah dari tanah batak, tepatnya di Pulau Samosir (Ingat.... dalam konsep teologis masyarakat Batak, leluhur kita berasal dan bermula dari Pusut Buhit).


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.