iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kejujuran dan Profesi

Kejujuran dan Profesi

Ada gak sih politisi yang jujur? Publik selalu terburu-buru menjawab, "tidak ada". Bisa jadi karena banyak dari mereka yang berakhir di penjara. Kita begitu apatis dan skeptis terhadap dunia perpolitikan kita. Tak hanya soal kasus korupsi, para politisi kita juga seperti sudah terbiasa mengatakan ya untuk tidak, dan mengatakan tidak untuk ya.

Tapi sejujurnya, tak hanya politisi. Kita semua juga punya potensi untuk tidak jujur. Apalagi lingkungan sekitar kita mendukung kecenderungan tersebut.

Sejak kecil kita sudah terbiasa dibohongi orang tua/orang dewasa. Saat anak menangis atau bandel, kita orang dewasa sering menakuti-nakuti mereka dengan ancaman "Awas nanti ibu panggil polisi kalau enggak mau diam". Nyatanya hingga mereka dewasa ini sang polisi yang "dipanggil" itu tak kunjung terlihat.

Tak kalah anehnya, ketika kita orang dewasa sering mengatakan "tak punya duit" ketika anak meminta uang jajan. Padahal disaat yang sama si anak tahu kalau ayahnya menyuruh kakanya membeli kuota internet 100rb.

Orangtua memang sudah terbiasa membohongi anak-anak mereka, dengan berkata "Papa mau kerja dulu ya, nak" atau "ibu mau pergi Doa Lingkungan dulu, ya anakku", tetapi disaat yang sama sang ayah justru nongkrong di cafe di pusat kota dan sang ibu bergosip ria dengan tetangganya.

Belum lagi kebiasaan kita orang dewasa yang memperlakukan anak-anak seperti fakir miskin dan anak-anak terlantar, lewat kebiasaan kita membrinya bala bantuan berupa uang jajan.

Kendati si anak tak melakukan apapun, bahan ia hanya menunjukkan batang hidungnya, kita pun segera mengambil dompet dan memberinya lembaran uang kertas untuk jajan.

Di kalangan masyarakat Batak, praktik ini bahkan sering dilakukan dihadapan orangtua si anak. Mungkin saja agar kita terlihat murah hati oleh orangtua si anak, atau lebih postifinya, agar si anak tidak tergoda berbohong dan tidak memberitahu orangtua kalau ia baru dberikan duit sama oomnya.

Singkat kata, praktik korupsi, kebiasaan berbohong, bahkan hobi berbagi fitnah, gosip dan berita bohong tak pelak lagi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kita.

Andai saja terminologi "koruptor" tak hanya dialamatkan kepada pelayan publik atau pejaba negara, maka kita semua, tanpa terkecuali akan ditangkap KPK, Bahkan orang-orang yang bekerja di KPK sendiri pun harus menangkap dirinya sendiri.

Di Pemerintahan, di tempat kerja, bahkan di lembaga agama sekalipun, masyarakat kita sudah terbiasa berbohong. Seakan-akan sikapnya yang koruptif dan tindakannya suka demo menuntut bagiannya dipandang sebagai bagian dari balas dendam di masa kecilnya. Ya, karena sepanjang masa kanak-kanaknya ia sering dibohongi.

Apa yag dilakukan oleh gangster bernama FPI dan para pengawal fatwa MUI dan yang berafiliasi dengan agama dan para politisi jahat pun sama saja.

Mereka menuntut Ahok diadili karena tuduhan melecehkan agama mereka (padahal para penganut waras dari agama bersangkutan malah tak merasa dilecehkan). Tuntutan ditanggapi polisi. Tapi apa yang terjadi?

Mereka masih dendam dengan masa kecilnya tadi. Seperti anak-anak yang merengek minta jajan, mereka minta lagi, lagi dan lagi hingga tuntutan dipenuhi. Persis kayak anak-akan yang dikasih hati lalu minta jantung pula.

Anda tau komplotan gangster ini bahkan akan demo terus dan menambah permintaannya, yakni Ahok harus dipenjara (tentu agar tak ikut Pilkada dan jagoan mereka melenggang menang). Bila tidak, atasan Ahok, yakni Presiden Jokowi yang akan dilengserkan.

Lihatlah, bahwa masyarakat kita memang sudah terbiasa bertindak seperti anak-anak. Tepatnya ingin membalaskan dendam masa kanak-kanaknya, karena orangtua mereka mungkin berbohongnya lebih banyak dari orangtua kita.

Saya teringat peristiwa penetapan hukuman mati di salib oleh imam-imam Yahudi. Mereka menghujat "Yesus menghina Agama Yahudi" tapi hingga hari ini tak terbukti. Mereka tak sadar, bahwa mereka sendiri yang menghina agamanya sendiri; bahkan hingga kini kaum mereka sering dimusuhi.

Negara ini memang hancur justru oleh orang-orang yang merasa diri benar sembari menuduh orang lain tidak benar, disaat mereka sendiri justru berselimutkan kejahatan dan dendam yang akud.

Entah sampai kapan kita mampu memutus kebiasaan munafik kita ini, dan sampai kapan kita keluar dari masa kanak-kanak kita. Faktanya masih banyak orang di negara ini yang tampil seperti kuburan: "tampak indah dari luar tapi (bau) busuk di dalam".

Mungkin inilah langkah pertama bagi kita semua untuk berlaku jujur, yakni meninggalkan masa anak-anak yang sendu dan penuh kebohongan dan mulailah mengakui bahwa kita ini orang munafik. Tapi sayangnya kita tak pernah berusaha untuk jujur dan mengakuinya.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.