iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kemeja Putih dan Sarung Presiden

Kemeja Putih dan Sarung Presiden
Jokowi membuat para pejabat parlente geleng-geleng kepala, tetapi sekaligus harus mengikuti sang presiden menggunakan seragam putih polos dengan lengan dilipat. Cara berpakaian yang biasa dipadukan dengan celana warna hitam ini, konon katanya menyimbolkan orang kerja.

Baru-baru ini saya menonton di Youtube, bahwa ponsel presiden hanya seharga Rp 1,2jt dan asli rakitan anak-anak muda Indonesia. Kalau wapres JK masih update, karena menggunakan iphone seharga 12jt.

Maka kebayang bila saat para menteri diajak kongkow bareng di lingkungan istana dan ponsel mereka berbunyi karena lupa silent. Pasti malu sekali mengangkat iphone nya.

Tak hanya itu, saya beberapa kali ketemu gubernur, bupati, camat, bahkan para mantan pejabat. Rasanya tak ada yang pake ponsel dengan merek dalam negeri seperti yang dipegang bosnya.

Saat kunjungan ke Pekalongan, Jokowi malah memadukan kemeja putih, dasi motif merah putih, jas, dan....sarung sebagi pengganti celana. Belum lagi sendalnya yang biasa ia beli di mall saat mengadakan kunjungan ke daerah.

Itulah Jokowi ori. Bukan Jokowi palsu sebagaimana diledekin kubu lawan yang belum move on pasca Pilpres 2014 silam.

*****

Kemeja putih-putih dan celana hitam yang biasa dwajib dikenakan para mahasiswa semester 1, karyawan yang sedang dalam masa training, atau para remaja yang sedang mengikuti upacara inisiasi keagamaan.


Kini, berkat orisinalitas Jokowi yang tukang kayu itu, seragam putih-hitam itu malah dikenakan presiden. Jokowi seakan mengatakan seragam bukan soal harga, tetapi soal tubuh dan jiwa yang dibalutnya.

Di kampung-kampung di Sumut, termasuk di kampung kami, anak-anak miskin yang ingin punya hape biasanya hanya diberi HP China atau racikan lokal Indonesia yang nama mereknya saja tak akrab di mall atau di toko-toko di electronic center. Kini Jokowi seakan mengatakan bahwa penggunaaan ponsel itu lebih pada fungsi daripada life-style.

Lagi, Jokowi seakan menandaskan bahwa semua produk lokal, termasuk ponsel, harus dikontrol kualitasnya oleh presiden. Tentu, selain itu, presiden kita sekarang ini sangat mencintai produk buatan anak bangsanya.

Di Medan, para pejabat juga suka pake sarung, tapi hanya saat dipijat di rumah. Di Karo juga unik. Sarung malah dilipat dan dikalungkan ke leher oleh kaum pria saat acara adat. Sedangkan di Jawa, orang sarungan itu biasa identik dengan para kyai (kampung). Artinya, sarung itu biasa hanya sekedar pakaian rumahan atau boleh dikenakan saat keluar rumah, tapi Anda harus jadi kyai dulu.

Jokowi lagi-lagi tak mau membiarkan sarung yg dahulu kala adalah hasil tenunan leluhur kita hanya populer di kalangan orang desa atau kyai di mesjid. Ia mengenakan sarung saat pergantian tahun di Papua maupun saat di Istana Bogor. Dan, baru-baru ini ia bahkan menggunakannya sebagi pakain resmi seorang presiden.

*****

Lalu......

Harga cabe naik, pajak kendaraan naik, bensin mungkin akan naik, atau seperti digosipkan berbagai pihak yang menyukai "Pepo" Prihatin, harga-harga lain akan naik......

Maka, kaum menengah-atas protes. Mereka enggak tahu kalu petani hanya menjual cabe Rp 20.000 - Rp40.000,- per kilo, dan kini rencana akan dinaikkan oleh pemerintah.

Kaum borju yang punya beberapa mobil mewah dan motor gede untuk sekedar koleksi juga marah dengan pajak kendaraan mereka.

Syahdan, mereka tak sadar ketika seluruh anggota keluarganya keluar rumah dengan masing-masing satu mobil telah merampas hak pejalan kaki, penumpang kendaraan umum, bahkan telah mengusir beca dan ojek dari jalan protokol.

Ketika Presiden Jokowi meninggikan harkat dan martabat kalangan kecil, juga menaikkan gengsi produk lokal, tak satu pun kaum borjuis itu bertepuk tangan. Mulut mereka hanya komat kamit berteriak "Jokowi kebanyakan Pencitraan."

Belajarlah dari orang Papua yang selama puluhan tahun disuguhi harga semen 750rb -1jt per sak, bensin ratusan ribu per liter, bahkan rokok Dji Sam Soe Rp 50rb per bungkus.

Baru-baru ini saya tanya orang-orang di Bali tentang pertanian sawah mereka yang terkenal di Ubud. Kata mereka, orang muda sudah gak minat bertani karena hasil tak menutupi modal. Fakta yang sama juga terjadi di Simalungun, tempat asal saya. Petani cabe, tomat, sayur, jeruk, dst mengeluhkan hal yang sama.

Jadi, supaya harga cabe gak naik itu mudah saja. Tanam cabe sendiri di pot, lalu rasakan betapa sebatang cabe saja tak mudah merawatnya.  Terus, kalau bensin dan pajak kendaraan naik, ya mulailah pake sepeda biar sehat.

Gitu aja kok repot!


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.