iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Hurang Lobi

Hurang Lobi Masyarakat Indonesia memang suka sekali dengan "quasi matematica" dimana segala sesuatu dijumlah (A+B), diurang (A-B), dikali (AxB) dan dibagi (A:B) dengan hasil yang tak pasti (+/-).
Sehingga hasil perhitungan itu pun sering dibumbui kata "kurang lebih", "kira-kira", "sekira", "sekitar", "hampir", "mendekati" sebelum menyebut totalnya.

Hebatnya, pemahaman matematis keliru ini juga sering diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat kita.

*****

Masyarakat kita, termasuk yang sudah sekolah sampai S3 hingga digelari profesor sekalipun masih menganut sistem perhitungan "kurang lebih" ini.

Berikut beberapa contoh:

(1)
"Pokoknya, kurang lebih segitulah," kata Ombas kepada Lambas saat mengembalikan sejumlah lembar kertas yang pernah dipinjamnya dari Lambas saat ia mem-print tugas kuliahnya.

"Ah kau ini. Perasaan waktu itu kau minta 30 lembar, kok sekarang yang kau kembalikan cuma 27 lembar? Belum lagi kau kasih yang 60 GSM padahal waktu itu kau ambil punyaku yang 70 GSM nya," gugat Lambas.

"Sudahlah. Kau ini perhitungan kali kutengok. Macam tak pernah kau ini pinjam barang aku. Kurang lebihnya, genapilah," jawab Ombas dengan logat Medan yang sangat kental.


(2)
"Piga halak bo na ro di punguanta nabodari i (berapa orang yang hadir pada pertemuan kita tadi malam)? tanya Apul kepada Timbul.

"Songon na biasa ma. Hira-hira dua pulu halak do naro (Seperti biasa. Ada sekitar 20 orang yang datang)," jawab Timbul.

Lihatlah, bukan hanya perhitungan jumlah barang (something) yang sering keliru atau kurang tepat. Jumlah orang/jiwa (somebody) pun sering dijumlah dengan hasil tak pasti alias "kira-kira".


(3)
Dalam tradisi "mandok hata" (memberi sambutan) di pesta-pesta adat Batak Toba, misalnya, kata "hurang lobi" (kurang lebih) bahkan seperti jadi tren yang tak boleh dihilangkan. Mungkin agak sedikit melenceng dari Matematika, dalam berbagai ritual adat Batak, kata kurang lebih (hurang lobi) bahkan seperti sudah menjadi bagian dari adat.

Alkisah, saat menyampaikan terimakasih atas kebaikan Tulang-nya yang telah menjamu mereka (mangalean mangan), Lamtorop dan istrinya, Lamotik pun ingin menyampaikan sesuatu.

Lamptorop:
"DI hamu Tulang dohot Nantulang nami, hupasahat hami do otik hata nami ombas tu haradeon ni Tulang dohot Nantulang nami mangalehon indahan na las dohot aek sitio-tio tu hami beremuna on. (Terimakasih banyak, Tulang dan Nantulang, atas kesediaan kalian berdua mengundang kami untuk makan bersama di rumah ini)"

Entah karena gugup dan kehabisan kata-kata, entah karena sudah menjadi kebiasaan dalam adat Batak Toba, seperti biasanya, setelah mengungkapkan isi pikirannya, Lamptorop pun melanjutkan kalimat ini....

Lamptorop:
"Songoni ma jo hata sian au, beremuna, Tulang dohot Nantulang. Hurang lobina, tambai ma, hasian (Demikian kata sambutan dari saya. Kurang lebihnya, silahkan tambahin, sayang)" katanya sambil mempersilahkan Lamotik menyampaikan isi hati dan pikirannya.

Seringkali karena "mandok hata" ini dipandang sebagai keharusan, maka Lamotik pun tak merasa enggak enak hati kalau diam alias tak menyampaikan sesuatu kepada Tulang dan Nantulangya.

Lamotik:
"Ima tutu. Songon nau dipasahat beremun nakkin, Au pe dohononku do apala saotik hata tu hamu, Tulang dohot Nantulang (Ya deh. Aku juga ingin menyampaikan sesuatu kepada Tulang dan Nantulang, walaupun hanya singkat),"

Nyatanya model komunikasi macam ini jamak terjadi di sekitar kita. Tak hanya orang Batak, tetapi juga semua suku yang ada di negeri indah kepingan surga ini.

"Berapa banyak uang dikorupsi Anas Urbaningrum?" tanya Paijo kepada Parno.

"Kurang lebih 50 milyar, mas," jawab Parno yakin.

Padahal menurut data yang dikeluarkan KPK dan dirilis media sekelas KOMPAS dan TEMPO, Anas Urbaningrum mengkorup Rp 53,35 miliar dalam bentuk 5,5 juta dollar AS.

* * * * *

Lantas mengapa masyarakat kita suka menyebut "kurang lebih"? Tampaknya tak ada alasan lain kecuali demi mencari jalan keluar yang aman.

Bisa jadi kebiasaan ini merupakan trik atau jalan keluar ketika seseorang merasa dijebak. Atau, jangan-jangan hal ini menyiratkan bahwa masyarakat kita memang tak bisa menghitung secara tepat.

Ha ha ha...
Daripada bingung, kutanya dulu sama Profesor Matematika Unimed yang kukagumi, adinda Mangaratua Simanjorang#SaiNaAdongDo


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.