iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menulis Itu Tak Sekedar Menarikan Imaji

Menulis Itu Tak Sekedar Menarikan Imaji Ketika sedang menulis, kita sering tidak tahu entah dari mana kata-kata itu datang. Biasanya kesadaran itu datang justru setelah tulisan selesai lalu kita membacanya ulang.

Ini aneh. Tapi iya kok nyata. Bisa jadi karena menulis berarti proses peziarahan pikiran menuju kesadaran baru, bahwa kata-kata yang ia tuliskan bukanlah sesuatu yang datang dari diri kita, tepatnya dari pikiran kita.

Ini kata kuncinya: Seorang penulis harus sadar sadar baha ketika ia menulis, kata-kata yang ia tuliskan bukanlah melulu DATANG DARI dirinya, tetapi HADIR MELALUI dirinya.

Di titik ini menulis itu ibarat mencinta. Mencintai dan menulis itu sama-sama proses menghadirnya keajaiban secar lebih nyata.

Tentu saja kita tak mencintai seseorang hanya dari kekuatan pikiran kita. Kita harus melibatkan hati kita. Maka lahirlah istilah "mencintai dengan tulus dan murni". Cinta model ini tak mungkin bersumber dari pikiran kita, melainkan dari hati. Sebab hati adalah media termurni dalam mengungkapkan cinta. Setuju?

Harusnya demikian. Sebab ketika masih muda kita kerap mengatakan bahwa "Cinta itu keajaiban yang nyata!" Disebut demikian karena ketika Anda mencinta seseorang maka Anda kerap melakukan sesuatu yang tak masuk akal, bahkan seuatu diluar kemampuan Adna.

Demikian juga dengan menulis. Percaya atau tidak, menulis adalah cara seseorang mewujudkan keajaiban. Ketika banyak orang menganggang sesuatu itu terlihat asing, tak masuk akal, bahkan sesuatu yang tak mungkin terjadi, maka seorang penulis seringkali justru berkata sebaliknya. Lewat tulisan-tulisannya, sesuatu yang tak mungkin tadi justru ia tampilkan menjaid sesuatu yang sangat mungkin.

Tak hanya itu, lewat goresannya, si penulis justru menggiring pembacanya pada kesadaran baru: "Oh begitu rupanya", "Oh my God, kenapa juga gue kagak nyadar kalau itu penting banget ya.", atau "Gila, loe bisaan menceritakan kisah hidup gue. Padahal gue kan kagak kenal loe?"

Pendek kata, sebuah tulisan akan dianggap "berhasil" hanya bila si penulis tadi mampu menarikan imaji dan mimpi-mimpinya atau mimpi-mimpi banyak orang hingga berupaya menampilkannya lebih nyata. 

Kendati demikian, ia harus tetap rendah hati dan mengakui bahwa tak setiap kata yang ia tuliskan itu datang dari dirinya, melainkan hadir melalui dirinya. Dengan kesadaran inilah ia akan tahu mengapa tulisannya tak pernah mampu menjelaskan sesuatu secara lengkap.

Sebab, sebagaimana cinta, tulisan pun harus tetap menyisakan keajaiban. Maksudnya, supaya Anda juga kebagian. Jadi, menulislah.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.