iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

I know him in whom I have believed

I know him in whom I have believed

Seorang rekan kerja di salah satu lembaga konsultan SDM selalu mengulangi kalimat "based on trust" saat ia berhasil menuntaskan MoU (kesepakatan) antara lembaga konsultan kami dengan perusahaan/lembaga tertentu.

Begitu mahalnya kepercayaan, sehingga, seperti rekan kerjaku tadi selalu merasa bahwa kerjasama yang telah terjalin tak mungkin terwujud bila antar kedua belah pihak tak saling percaya.

Begitu pentingnya kepercayaan dalam hidup kita, hingga agama membutuhaknnya, bisnis menjadikannya sebagai prasyarat kerjasama, bahkan kita selalu mengharapkannya.

Adagium SCIO CUI CREDIDI(I know him in whom I have believed / aku tahu kepada siapa aku percaya) menjadi gerbang bagi lahirnya rasa saling percaya. Sebab, tanpa unsur percaya, seorang pebisnis akan selalu awas pada keseimbangan “debet (debitur) dan credit (kreditur)-nya.

Tak jauh berbeda, antara penjual dan pembeli, bahkan antara sesama pebisnis unsur kepercayaan adalah modal utama untuk menjalin kerjasama. Sebelum memberi pinjaman, misalnya pihak bank selalu terlebih dahulu mengecek kualitas dan kredibilitas si nasabah alias calon peminjam.

Ini juga dilakukan pihak asuransi, leasing, bank, dan bisnis lainnya kepada mereka yang meminjam uang atau membeli secara kredit barang tertentu. Semua ini dilakukan tak lain untuk membangun relasi bisnis yang baik.

Hari-hari ini, "kepercayaan" sedang marak diekspresikan oleh masyarakat kita. Adalah kasus penahanan Ahok yang memicu adrenalin masyarakat untuk berani menyuarakan cinta dan kepercayaan mereka kepada Ahok sekaligus ketidakpercayaan mereka pejabat manapun di negeri ini yang telah terbiasa membohongi mereka demi kuasa dan harta yang ingin dikumpulkannya.

Di titik ini, ungkapan bahwa unsur "percaya” dalam politik adalah barang langka ternyata pecah telur. Lagi-lagi, Ahoklah yang mengubahnya. Lewat Ahok lah masyarakat sadar bahwa selama ini, negeri kita sulit maju, yakni minimnya kepercayaan pemimpin kepada warganya, dan sebaliknya, rendahnya kepercayaan rakyat keapada pemimpinnya.

Di sisi lain, tingginya kepercayaan masyarakat kepada Ahok ternyata bukanlah sesesuatu yang datang tiba-tiba, bak Gunung Tangkuban Parahu yang disulap oleh amarah Sangkuriang yang tak berhasil meyakinkan ibunya Dayang Sumbi untuk menikahi dia.

Adagium "Scio cui credidi" (I know him in whom I have believed) tampaknya telah menjadi dasar masyarakat dalam memilah siapa politisi/pejabat yang baik dan politisi/pejabat yang buruk. Juga siapa politisi yang mengumbar kebencian dan siapa politisi yang mewartakan kebaika.

Salah satu buktinya adalah ketika Ahok dielu-elukan di hampir semua daerah di ngeri ini, eh si Fahri Hamzah justru ditolak di Minahasa. Di titik inilah pentingnya bagi seorang pemimpin memiliki integritas yang mampu ia tampilkan dengan jujur.

Seturut gesitnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat kita pun semakin kritis dalam menanggapi informasi yang ia terima. Kalau sebelumnya masyarakat sangat mudah percaya pada informasi bersifat hoax, kini mereka justru sangat hati-hati dalam menyikapi sebuah opini atau berita di media sosial.

Lantas, dari mana perkembangan pemikiran, daya kritis dan unsur kepercayaan publik itu lahir?

Lagi-lagi, Ahoklah yang mengubahnya. Kepercayaan masyarakat Jakarta dan Indonesia kepada Ahok bukanlah tanpa alasan. Ahok telah berhasil menerapkan open management dalam pemerintahannya. Ia bahkan begitu berani menghantam para pencuri uang negara dan siapa saja yang membohongi rakyat demi memperkaya diri.

Selain itu, transparansi Ahok di berbagai bidang, termasuk dalam hal keuangan, kebiasaannya menilai sesuatu/seseorang secara obyektif dan mengatakan sesuatu berdasarkan fakta dan bukan rekayasa hanyalah sebaian unsur yang menabalkan nama Ahok sebagai pemimpin yang paling dipercaya di negeri kepulauan ini.

Ekspresi masyarakat hari-hari ini di berbagai daerah di Indonesia adalah bukti betapa rakyat Indonesia begitu mencintai pemimpin Jakarta itu. Hingga, orang tak peduli ia pernah menjadi warganya Ahok atau bukan.

Bagi masyarakat yang masih memiliki nurani, hukuman yang dialamatkan kepada Ahok sangat tak sebanding dengan pencapaian Ahok selama menjadi gubernur. Itu karena masyarakat kita tahu siapa yang harus dipercayai: "Scio Cui Credidi"... I know him in whom I have believed... Aku tahu kepada siapa aku percaya (2Tim1:12).


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.