iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Veronika, Wanita Penyala Cahaya

wanita penyala cahaya purnama

Wanita itu hanya diam. Matanya sembab. Sesekali ia mengusap matanya dengan tangannya yang halus. Jelas sekali terlihat kalau ia lelah dalam tangis hari ini. Ia tak seanggun biasanya, tetapi kecantikannya tetap memesona seluruh sorot mata di sana, kamarin sore (9/5), di Penjara Cipinang.

Tak sepatah katapun ia lontarkan untuk wartawan yang terkadang, demi memburu berita suka tak peduli apa yang dirasakan narasumbernya. Ia memang sedang larut dalam kesedihannya. Ia datang bersama anaknya, juga ditemani iparnya dan beberapa sahabat suaminya. Ia melintas di tengah kerumunan pendukung suaminya. Penampilannya selalu sederhana, dan kesederhanaan itu yang disukai suaminya, yakni tanpa dandanan berlebihan.

Dialah Veronica Tan, istri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (bercerai tahun 2018). Ia cinta sejatinya Ahok yang selalu sedia bagi suami dan keluarganya.

Wanita yang akrab dipanggil Vero itu memang tak biasanya sesedih ini. Walaupun soal deg-degan karena keberanian suaminya adalah hal biasa baginya, bahkan sejak suaminya menjadi Bupati Babel, anggota DPR, hingga menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Bagaimana tidak. Suaminya bukan pejabat biasa. Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab dipanggil Ahok itu seorang gubernur luarbiasa. Ahok sangat concern dengan rakyat yang dilayaninya, dan selalu sedia membantu warga miskin dan membutuhkan uluran tangannya.

Begitu cintanya Ahok pada Indonesia hingga ia rela tak populer diantara sesama pejabat dan politisi di negeri ini. Ia berbeda. Korupsi jauh dari jangkauannya. Kejujuran adalah modalnya. Ia bahkan tanpa tedeng aling membasmi siapa saja yang merampas ABPD hingga ia semakin hari semakin banyak musuh.

Ya, musuh Ahok adalah para koruptor dan penilep uang rakyat. Suami Vero ini memang luarbiasa berani melawan segala bentuk kejahatan yang lazim dilakukan para pejabat di bumi pertiwi ini. Bahkan ketika masih menjabat wakil gubernur mendampingi Jokowi ia begitu berani menghantam para preman di tanah abang, hingga akhirnya bermusuhan dengan salah seorang bos preman yang kebetulan duduk di kursi DPRD DKI Jakarta.

Keberanian sang suami bahkan tak berhenti di sana. Ia semakin beringas melawan ketidakadilan dan segala tipu daya para politisi. Tak hanya bawahan atau teman sejawat. ia pun tak segan-segan melawan menteri hingga wakil presiden bila prinsip kebenaran yang dijalankannya mereka gugat.

Berbagai masalah menghampirinya. Hanya, luarbiasanya, rakyat Jakarta justru semakin mencintainya. Masyarakat puas atas segala perubahan yang dibuatnya. Banjir yang bisa menjadi aib perlahan dan secara bertahap justru semakin raib dengan bantuan teknologi yang dikembangakannya.

Jalanan serba mulus, bahkan sungai-sungai yang tadinya bak kubangan dengan bau busuk yang dihasilkan kini berubah menjadi sungai bersih, yang bahkan bisa dijadikan tempat bermain anak-anak.

Taman-taman kota dihijaukan. Bangunan liar dibersihkan, sembari rumah-rumah susun serba lengkap diberinya kepada mereka yang tak punya tumpangan. Belum lagi berbagai fasilitas dan segala bentuk pelayanan publik ia mudahkan.

Pendek kata, suami Vero bisa dikatakan telah berhasil mengubah wajah Jakarta sebagai kota yang moderna, ramah dan bersahabat. Tapi tahukah Anda, justru keberhasilan ini sering menjadi momok menakutkan bagi lawan-lawan politiknya.

Bagaimana tidak, kesempatan menilep uang negara semakin kecil. Belum lagi sistem pembayaran non-cash telah turut mengubah perilaku para pejabat yang terbiasa dengan sistem setor amplop. Mereka tak bisa bermain-main dengan uang, karena semua ada dalam kontrol sang gubernur.

Begitu banyaknya para koruptor dan preman jalanan yang terbiasa mengutip setoran dari para pedagang yang tersinggung dengan sistem yang dibangun Ahok. Tapi karena ia benar, tak satu pun yang bisa menghentikannya.

Hingga tibalah Pilkada DKI 2017. Para lawan politiknya mulai menyusun strategi. Mereka sadar bahwa Ahok tak mudah dilawan bila bertarung secara jantan. Lantas mereka mulai melirik "kekurangan" Ahok, yakni ia seorang warga keturunan Tionghoa, beragama Kristen dan suka meledak-ledak hingga ucapannya sering diplintir media massa.

Pendek kata, ia pun kalah dalam pertarungan meraih kursi DKI-1. Isu penistaan agama dialamatkan kepadanya, tentu masih dibumbui oleh isu Ahok disokong 9 Naga yakni para pengusaha Cina dan sering marah-marah.

Hal inilah, antara lain yang membuat Vero sering degdegan. Ia bahkan pernah mencoba membujuk suaminya agar berhenti jadi pejabat dan kembali menjadi pengusaha. Tetapi Vero toh mengalah karena misi sang suami menjadi pejabat adalah untuk membantu semakin banyak orang miskin dan kekurangan.



Sebagai seorang istri, Vero sungguh merasa bahwa pertarungan suami melayan ketidakbecusan di pemerintahan hingga menyuarakan kebenaran adalah pertarungannya juga. Belum lagi ia sangat hafal perilaku suaminya yang mudah marah melihat ketidakadilan, bawahan yang kerjanya lambat, bahkan para pengusaha yang kerjanya merugikan masyarakat,

Bero bahkan sudah tahu perangai suaminya itu sejak ia dinikahi Ahok di usianya yang masih belia, 19 tahun. Sebab tak lama setelah perkawinannya, Vero justru tak menduga kalau ia menjadi istri seorang bupati di Bangka Belitung. Dan sejak saat itu, Vero semakin memahami dan mengerti apa yang diperjuangkan suaminya, Ahok.

Tak jarang pikiran nakal Vero membuncah hingga mempertanyakan mengapa Tuhan menikahkan dia dengan seorang Ahok yang suka mengambil resiko dalam hidupnya itu. Ia sosok wanita pendiam, kalem dan kembut. Sementara sang suami justru meledak-ledak saat mempertahankan kebenaran yang ia yakini.

Namun, sebagai seorang aktivis di gereja, ia juga sadar bahwa menikah dengan Ahok adalah bagian dari panggilan hidupnya sebagai seorang Kristiani. Ia tahu bahwa api hanya akan padam bila disiram dengan air. Begitu juga ledakan emosi sang suami hanya akan mereda bila ia hadir dan menjadi pemadamnya. Belum lagi Vero sangat tahu betapa baiknya sang suami. Tentu, sejauh ia alami, Ahok adalah suami yang sangat bertanggung jawab dan sangat sayang kepada keluarga, sebagaimana juga ia sayang kepada warga yang membutuhkan bantuannya.

Itulah yang membuat perkawinan mereka tampak bahagia, dan memang bahagia. Mereka dikaruniai Tuhan dua putera ganteng dan satu puteri yang ayu. Dalam keseharian, ditengah kesibukan menerpa, toh Vero dan Ahok tak pernah abai pada pendidikan anak-anak mereka. Ya, keduanya memang sangat cocok dan serasi. Bahkan tak jarang perkawinan Ahok dan Vero dijadikan banyak orang sebagai perkawinan idaman.

Begtulah yang sesungguhnya terjadi. Apa yang terjadi dengan suaminya selalu bisa dirasakan oleh Vero. Kadang, secara bercanda Vero beberapa kali bilang di acara-acara talkshow berbeda bahwa ia 'sedikit agak menyesal' menikah dengan Ahok.

"Coba dulu tahu kalau dia suka marah-marah, pasti gua kagak mau. Tapi gimana lagi, orang baru kenal bentar,  dia malah langsung ngajak kawin. Terpaksa deh jadi istri Ahok," kata Vero sambil melirik suaminya yang sedang terbahak.



Sejak memutuskan untuk menikah dengan Ahok, Vero perlahan-lahan semakin tahu siapa Ahok. Sebagaiman telah disinggung di atas, awalnya ia memang terkejut ketika mengetahuai bahwa suaminya berkecimpung di bidang politik. Sungguh hal ini tak pernah terbayangkan oleh Vero.

Sejak kecil, di tempat kelahirannya, di kota Medan, pekerjaan bidang politik selalu dihindari oleh kaumnya, etnis Tionghoa yang ada di Medan. Pendeknya politik itu sungguh diluar jangkauannya.

Belum lagi, nenek moyangnya yang datang ke kota Medan pada abad ke-14 adalah sebagian besar menjadi buruh perkebunan teh di Medan dan di Deliserdang. yang diimpor dari Penang, Malaysia oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu; dan sebagian lagi datang untuk mengadu nasib sebagai pedagang.

Lihatlah, sektor industri dan perdagangan Kota Medan umumnya juga dikuasai pengusaha Tionghoa. Kawasan bisnis di Jalan Asia, Jalan Thamrin, Jalan Sutomo, hingga ke Tebing Tinggi, Pematangsiantar, Tanjung Balai dan kota lainnya hampir seluruhnya milik etnis Tionghoa yang mudah dikenali dengan ruko berteralis. Geliat bisnis di mal juga sama.

Sayangnya masyarakt Tionghoa Medan yang umumnya tinggal di pusat kota Medan dan kawasan pecinan di sekitar rumah susun Sukaramai, sekitar Asia Mega Mas itu terkesan eksklusif. Kesan ini setidaknya muncul karena antara mereka tetap menggunakan bahasa ibunya (bahasa Hokien) hingga sekarang.

Eksklusivitas itu bahkan bukan hanya soal bahasa dan pergaulan antar mereka. Mereka bahkan membangun getho sendiri. Mereka tinggal, bersekolah, berbelanja, berobat hingga berwisata di tempat-tempat yang ekslusif kalangan mereka sendiri.

Entah karena trauma Peristiwa 1998 atau karena berbagai tekanan dari Pemerintahan Orde Baru, perilaku ekslusif ini seakan melekat dengan diri orang Tionghoa Medan.

Wanita Penyala Cahaya


Khusus dalam interaksi sosial, orang orang Tionghoa Medan memang terkesan tertutup. Tak banyak dari mereka yang berinteraksi dengan orang pribumi, kecuali saat bersua di pasar dan toko mereka. Bagi sebagian besar dari mereka, orang pribumi itu "bukan kelasnya".

Kelas pribumi (Melayu, Jawa, Batak, termasuk Keling) mereka pandang lebih rendah, dan tolok ukurnya itu ekonomi, tentunya. Anehnya, antar warga Tionghoa sendiri tak lantas berarti merasa sama dan sederajat. Ada juga kelas-kelas tertentu di antara mereka.

Biasanya, warga Tionghoa yang tinggal di kontrakan, rusun dan ruko-roko sempit, termasuk para buruh dan pedagang kecil sering dipandang sebagai kelas terendah dalam strata sosial mereka.

Sebaliknya, mereka yang tinggal di perrumahan elit, punya beberapa pabrik dan terkenal sebagai pengusaha akan dipandang sebagai orang Tionghoa kelas atas alias kelas elite. Kelompok yang disebut terakhir bahkan sering memandang sebelah mata sesama warga Tionghoa yang tinggal di rusun atau pedagang kecil yang lebih miskin.

Tak hanya itu, warga Tionghoa Medan juga memandang sebelah mata orang Tionghoa yang ada di Jawa dan pulau lain. Mereka dipandang tak orisinal dan kelasnya sudah turun menjadi pribumi akibat perkawinan campur, pergaulan hingga bahasa Indonesia yang mereka pergunakan sehari-hari.

Tapi anehnya, baik warga Tionghoa kelas atas, menengah maupu kelas bawah justru sama-sama memandang rendah masyarakat pribumi, sebagaimana telah disebutkan di atas. Disamping itu masih ada golongan lain, yakni orang Tionghoa yang menikah dengan orang pribumi. Sekaya apapun dan sehebat apapun pekerjaannya, mereka tetap warga Tionghoa kelas dua atau kelas yang lebih rendah dibading mereka yang menikah dengan sesama Tionghoa. Anggapan ini juga berlaku bagai warga Tionghoa, terutama mereka yang ada di Jawa yang sudah tak bisa berbahasa Hokien, Mandarin atau Kanton.

Kelas-kelas berdasarkan tingkat ekonomi ini bisa kita lihat dalam pergaulan sehari-hari, entah saat Anda jalan-jalan di mall, supermarket, saat menjemput anak sekolah, pun di rumah makan. Saya ingat betul ketika di bulan Maret 2014 lalu temanku yang asli keturunan Tionghoa Medan terlihat ketakutan saat kami jalan bareng di Centerpoint Mall Medan, Ia begitu takut jadi perhatian dari sesama tionghoa yang memang sebagian besar selalu mengunjungi mall elite itu.

Dari teman itu pulalah saya tahu mengapa orang Tionghoa Medan begitu berjarak dengan pribumi. Kalaupun belakangan ada kasus perkawinan pria Tionghoa dan gadis pribumi atau sebaliknya, seringkali terjadi mereka justru teralienasi alias terasing dari keluarganya sendiri.

Veronika


Kenyataan di atas sungguh dialami dan dihidupi oleh Vero saat ia kecil hingga memutuskan pindah ke Jakarta setelah SMA. Di kota terbesar ketiga di Indonesia itu ia belum pernah menyaksikan langsung ada orang Tionghoa yang menjadi politisi, entah jadi camat, bupati, walikota, bahkan gubernur. Sebab, politik sangat jauh dari jangkauan pemikiran warga Tionghoa, bahkan hingga hari ini.

Maka, bagi para gadis Tionghoa, sebagaimana juga diamini oleh orangtua mereka, menikah dengan pengusaha kaya dan asli Tionghoa adalah idaman mereka. Sebaliknya, menikah dengan politisi itu berarti menikah dengan orang "pribumi" dan hidupnya akan kere dan tak mungkin bisa kaya.

Jauh sebelum munculnya Ahok, dalam benak mayoritas warga Tionghoa Medan, seorang pejabat di negeri ini identik dengan orang pribumi. Untunglah setelah fenomena Ahok mulai bermunculan politisi Tionghoa dari Medan, seperti Hasyim, Sofyan Tan, dll. Tapi di masa anak-anak Vero, situasinya jauh berbeda. Pejabat itu identik dengan tukan palak alias rentenir yang merampas uang mereka demi mengurus Kartu Keluarga, KTP, SIM dan semua urusan administratif lain yang berkaitan dengan pemerintah.

Menurut penuturan beberapa teman pengusaha di Medan, dulu mereka sering menjadi korban pungli oleh para preman asli atau preman berdasi yang diutus oleh dinas-dinas tertentu dari pihak pemerintah.

Kenyataan itu bahkan masih terasa hingga kini. Beberapa orang sering minta bantuan saya untuk menemani mereka ke kantor kecamatan mengurus e-KTP dan ke kantor pajak untuk menyetor pajak. Menurut pengakuan mereka, biasanya mereka akan didatangi oleh para calo ke rumah mereka untuk mengurus surat-surat tersebut.

Kenyataan ini ada benarnya. Lama terjadi Kota Medan justru dikuasai oleh kelompok preman berdasi yang bahkan lebih ditakuti daripada polisi atau tentara. Tak hanya itu, tak sedikit juga pejabat di propinsi ini belakangan terendus melakukan KKN, terutama korupsi. Tak tanggung-tanggung, dua gubernurnya secara beruntun justru jadi tawanan KPK hingga dibui.

Para "preman" itu memanfaatkan "ketakutan akan diusir dari Indonesia" yang menghinggapi sebagian pengusah Tiongha Medan hingga mereka rela membayar segala hal lebih mahal dibanding yang dibayar warga pribumi di kota ini. Di sisi lain, kelicikan para pengusaha Tionghoa Medan yang rela membeli segala kemudahan lewat para pejabat bisa dibeli itu justru merugikan negara. Sebab lazim terjadi di Medan ini seorang pengusaha Tionghoa cengli dengan pejabat pajak dengan syarat laporan pajaknya dimainkan dan si pejabat diberi amplop tebal.

Artinya segala bentuk kejahatan itu pada akhirnya terjadi karena antar kedua belah pihak saling membutuhkan. Sekitar tahun 90-an hingga 2000-an, berbagai ancaman penutupan usaha sering dilontarkan para pejabat lokal untuk merampok para pengusaha Tionghoa. Sebaliknya, agar semua urusan beres, para pengusaha Tionghoa tadi pun rela membayar amplop yang lebih tebal kepada petugas pajak daripada pajak yang harus ia bayarkan ke kas negara. Pokoknya, semuanya tergantung chuan dan cengli.

Begitulah gambaran warga Tionghoa Medan tentang politisi dan hal itu sangat melekat hingga dibawah alam sadar mereka. Pendeknya gambaran tentang pejabat bagi mereka adalah hina, kotor dan negatif, hingga akhirnya mereka selalu berupaya berjarak dengan politisi, polisi dan preman.





Sekali lagi, Vero hidup dengan pola pikir di atas. Politisi atau pejabat adalah manusia yang suka korupsi dan hidup mereka bersumber dari hasil pemerasan terhadapa warga Tionghoa.

Hingga akhirnya, perlahan tapi pasti, pandangan Vero dan mayoritas warga Tionghoa Medan itu berubah seturut popularitas Ahok sebagai warga Tionghoa pertama yang pernah menjadi bupati, anggota DPR hingga menjadi Gubernur di ibukota Jakarta. Dalam perjalanan hidupnya sebagai istri dari politisi bernama Ahok, pandangan Vero tentang politik pun turut berubah. Pandangan bahwa warga Tionghoa tak boleh menjadi penguasa alias pejabat publik pun perlahan sirna.

Tak hanya itu. Efek paling besar justru terjadi dalam diri orang Tionghoa di Medan ini. Bukan saja karena faktor Ahok, namun juga faktor Vero yang asli Tionghoa Medan yang menjadi istri pejabat yang bersih dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme turug mengubah pandangan tersebut.

Gambaran bahwa Keturunan Tionghoa hanya boleh jadi pengusaha, pemilik toko dan pedagang perlahan mulai berubah. Di bidang politik, terutama dalam pencalonan DPR/DPRD nama mereka mulai bermunculan. Mereka yang selama ini mendiamkan segala pelecehan dan perampokan yang dilakukan oleh pejabat publik kepada mereka mulai diprotes. Bersamaan dengan lahirnya media sosial, mereka pun semakin lantang berbicara dan menyuarakan hak-hak mereka.

Vero-lah yang membawa perubahan di kota yang sangat semrawut ini. Memang bukan ia per se yang menjadi pejabat publik, tetapi sebagai istri Ahok ia pun menjadi ibu PKK dan banyak berbuat bagi negeri yang semasa mudanya tak ia sukai karena diskriminasi yang ia alami.

Hanya saja, semua kebanggaan tadi seakan sirna seturut hukuman penjara 2 tahun yang dijatuhkan hakim pengadilan kepada suaminya, Ahok. Segala keberhasilan Ahok seakan sirna karena tuduhan pelecehan agama yang dialamatkan kepada kekasih jiwanya itu.

Tentu saja hatinya sangat sedih menyaksikan perjuangan pria yang sangat ia cintai itu seakan berujung di penjara. Inilah tangisan pilunya Vero. Tetapi serentak, tangisan Vero bukanlah semata tangis pilu kesedihan. Sebab, ketegaran sang belahan jiwanya justru menghapus air matanya.

Bila tangisan pertama Vero terjadi setelah Ahok bercanda akan menikah lagi bila Vero duluan meninggal, maka tangisan kedua yang terjadi sore tadi (9/5) adalah tangisan sebaliknya. Sebab, bukan ia yang pertama meninggalkan Ahok, tetapi justru Ahok yang lebih dulu meninggalkannya dan "pergi" ke "rumah barunya" di rumah tahanan.

Akhirnya tangisan Vero bukanlah melulu tangisan miliknya. Tangisan Vero adalah tangisan Indonesia yang abai pada segala kebaikan dan kemajuan yang telah diperjuangakan Ahok, bahkan menghukumnya secara tidak adil hanya karena tekanan kelompok radikal yang berkali-kali berteriak di jalan raya.

Tangisan Vero adalah tangisan ketidakadilan Indonesia atas apa yang menimpa seorang Ahok. Tangisan itu justru semakin menjadi-jadi hingga seluruh negeri seakan bertanya kepada Tuhan, "Tuhan, mengapa cinta kami kepada Ahok justru dikalahkan oleh rasa benci sekelompok orang yang menjual namaMu?"

Verinika Tan, terimakasih atas tangisanmu yang telah merekam wajah sesungguhnya negeri tercinta ini, wajah yang sering abai pada keadilan dan kedamaian.

#KamiWargaKotaMedanSangatBanggaPadamu, #IbuVeronikaTan