iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ulaon Adat

Pesta Adat
"Gimana lae Juntak. Jadi kita ketemuan besok?" tanya Naipospos mengingatkan janji si Juntak minggu lalu.

"Aduh lae. Maaf 'kali lah lae. Aku lupa kalau besok itu Pariban ni pardijabukku sian Tulangna nomor opat (sepupu laki-laki alias putera dari paman keempat dari istriku) akan menikah besok. Kurasa baru hari Sabtu depan lah kita ketemu ya laeku. Sori kalilah sudah kutolak lae untuk kelima kalinya. Semoga Sabtu depan tak ada halangan, lae," jawab Juntak dengan sedikit rasa bersalah.

"Oh begitu nya? Sudahlah. Padahal awak sudah atur jadwal supaya bisa bertemu lae. Macam jual mahal kutengok lae bah. Kalau Sabtu depan cem mana nya, jelas nya itu?" Tanya Naipospos kesal.

"Iya laeku. Janganlah marah sama awak laeku. Mana pula awak bisa atur-atur jadwal pesta keluarga awak. Lagipula, macam tak tau nya lae ini adat orang Batak. Macam tak Batak kutengok lae bah," Juntak mencoba membela diri sekaligus menunjukkan ketidak berdayaannya bila berhadapan dengan ulaon alias pesta.

"Oke lah lae. Kutunggu pun. Itu pun aku tak bisa nya janji. Siapa tau pula ada keluargaku yang marulaon (berpesta) pada hari Sabtu depan. Sebab, kudengar-dengar, pahoppu ni abang tubuni Oppung namartinodohon nami (cucu dari abang sepupu dari garis keturunan kakek kami) akan mengadakan Pesta Sidi (semacam Krisma kalau di Katolik atau Sunat di Islam) di Siantar Sitanduk, kampungnya Sr. Clarentia Fcjm, lae. 

Doakan saja acara itu dipindah ke hari Sabtu ini. Begitu juga dengan acara lae: semoga tak jadi ya," jawab Naipospos seakan menjawab tuduhan kalau dia tak beradat alias tak patuh pada adat dan tradisi Batak.

Bagi Anda yang tinggal di tanah Batak, berbagai ulaon (pesta) datang silih berganti, bahkan hari-hari Anda akan dipenuhi dengan pesta. Bahkan, rasa-rasanya, ulaon itu juga yang menjadikan orang Batak suka merantau dan jauh dari lingkungan sesama Batak.

Kendati demikian, selagi ada sesama Batak di lingkungannya, atau selama ia berasal dari keluarga Batak yang jelas asal-usul marganya, maka segala bentuk ulaon tadi tetap saja tak bisa ia hindari.

Tapi orang Batak toh pantang menyerah. Mereka selalu banyak taktik untuk menghindari pesta-pesta adat tadi. Ada yang berlomba menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sebab, ketidakhadiran seorang PNS dalam sebuah ulaon seringkali mudah dimaklumi.

Bila seorang PNS tak bisa hadir, paling-paling suhut ulaon (tuan rumah pesta) hanya bergumam, "Imada, ibaen na PNS i ibana, las so adong be tikkina tu paradaton on" (Begitulah kalau PNS. Mentang-mentang ia seorang PNS maka ia tak punya waktu lagi menghadiri berbagai acara adat).

Atau, bila ketidakhadiran seorang PNS dalam sebuah pesta perkawinan dianggap tak jadi soal, maka pihak suhut (tuan rumah) paling-paling bilang begini, "Nang pe dang ro amanta na PNS i tu ulaonta on, alai tung godang do lean-lean na tu hami namarulaon sadari on." (Walaupun bapak yang PNS itu tak bisa hadir pada pesta perkawinan ini, tetapi toh ia sudah memberikan banyak bantuan bagi suksesnya pesta ini).

*****

Banyak kisah menarik, unik, bahkan pelik tentang Ulaon Paradaton ni Halak Batak (upacara atau pesta adat Batak). Belum lagi bila setiap acara adat selalu dikaitkan dengan keharusan setiapa undangan untuk hadir karena posisinya dalam adat begitu sentral.

Di titik inilah seorang Daud Ginting protes, "Lalap kin Pesta!" (pesta melulu nih) atau seorang Vincensius Sihombing yang mengatakan, "Sai holan na pesta paradaton torus!" (acara adat melulu nih)." ha ha ha....

Tapi jangan berpikir liar bahkan berpikir negatif dulu. Sebab, bagi orang Batak, acara/pesta adat adalah sebuah momentum penting. Bagaimana tidak, di sebuah acara/pesta adat, selain terjadinya interaksi satu sama lain antar anggota keluarga juga karena di sana terjadi juga transaksi (ekonomi) kultural:

"Tikki pesta pamasu-masuon ni borukku ai ro do sude amang Simalango dohot inantana boru Sinabariba i. Jadi maila do huhilala molo dang parsidohot iba di ulaon ni Tulang i doba," kata Simanjorang Sr. kepada Simanjorang Jr. (Waktu pesta pernikahan putriku, Tulang Simalango dan Nantulang boru Sinabariba turut hadir. Maka malu rasanya kalau saat putrinya menikah aku tak bisa datang ke sana).

Akhir kata, aku selalu kagum pada ibuku. Di usianya yang sudah menginjak 71 tahun, ia yang hampir setiap bulan, bahkan seringkali 2-3 kali dalam sebulan menghadiri pesta, baik di desa dan kota di Sumut maupun diluar Sumut, bahkan sampai ke Pulau Jawa.

Kalau aku protes atas "kesibukan" ibuku, ia selalu punya jawaban yang kurang lebih sama dengan orang jawaban orang Batak kebanyakan, "Baen ma. Ea on mu do haduan i molo dung mar-ruma-tangga ho. Bah, molo dung jinalo adat sian keluarga, bah ikkon gararon do i tu nasida." (Ya sudahlah. Kelak kamu juga akan mengalaminya. Soalnya, kalau kita sudah menerima 'berkat' adat maka kita juga harus 'membayarnya').

Orang Batak memang luar biasa, sehingga mereka dengan cerdas "memainkan" kontradiksi ungkapan agung dalam Kitab Suci: "Aturan/hukum untuk manusia?" atau "Manusia untuk aturan/hukum?"

Horas...


Lusius Sinurat