iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Profesor Berotak Kolor

Profesor Berotak Kolor
"Terlepas setuju atau tidak setuju, saya tidak setuju sama yang setuju," kata Cak Lontong saat mempresentasikan 'hasil survey'-nya pada acara ILK dua tahun lalu, dengan tema "Gelar Pendidikan Sebagai Jaminan Mutu".

Orang kharismatik dengan bungkus sekte akhir zaman sangat mengamini bahwa apa yang terjadi hari-hari ini sebagai tanda-tanda akhir jaman. Sebut saja berapat contoh berikut:

  • seorang ayah yang memerkosa putrinya, 
  • remaja menikahi nenek bangkotan, 
  • anak menggugat harta orangtuanya, 
  • agama dijadikan sebagai senjata pembunuh demi kekuasaan dan uang, dan 
  • masih banyak fenomena sejenis lainnya.
Sejalan dengan Cak Lontong, saya juga setuju dengan orang yang tidak setuju dengan sekte akhir jaman di atas. ha ha ha.

Apa yang terjadi hari-hari ini hanyalah ulangan dari peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, dalam perjalanan sejarah bumi. Tak terkecuali dengan kebiasan ahli agama yang mengklaim Tuhan untuk membenarkan tindakan jahatnya. 

Bukankah Yesus juga mati karena keputusan ahli agama di zamannya? Bedanya, dengan bantuan teknologi, apa pun yang terjadi di sekitar kita hampir selalu dipublikasikan.

Saya tak tertarik dengan fenomena akhir jaman di atas. Hanya saja, fenomena yang akan saya singgung berikutnya justru menegaskan akan terjadinya "akhir zaman", tapi akhir zaman bagi dunia pendidikan kita.

Bagaimana tidak, di televisi dan internet, saban hari kita disuguhi berita yang akan membuat Plato dan Aristoteles menyesal seumur hidup karena telah memperkenalkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. 

Fenomena yang saya maksud adalah berita tentang para kaum intelektual dengan sederet gelar yang justru berpikir, bertutur dan bertindak tak rasional, dan selalu terlihat lebih tolol dibanding orang yang tak bersekolah sekalipun.

Saat diwawancara, diliput atau meliput diri sendiri untuk kebutuhan akun medsos-nya, juga saat mengungkapkan pendapatnya di depan publik, banyak profesor kita yang otaknya terlihat menor. 

Mereka adalah Profesor Hukum tapi otaknya fakum bahkan mesum, Profesor Psikologi dengan tingkahnya bak psikofat, Profesor Sosiologi tapi kesehariannya malah sangat asosial, Profesor Teknik tapi pola pikirnya selalu berbau klenik, Profesor Teologi tapi otaknya ia malah anti-sesama manusia, dst.

Kita tidak sedang berbicara tentang profesor di negeri asing. Kita hanya fokus pada para profesor di negeri kita, termasuk mereka yang lulusan luar negeri dan lulusan terbaik di universitas dalam negeri.

Kenyataannya, banyak Profesor Doktor, entah Profesor plus Doktor, atau Doktor minus Profesor malah terlihat bak setan yang lulus dengan menipu.

Di Universitas-universitas, para Prof. Dr. di PTN/PTS kita justru sangat minus publikasi, tapi sangat sibuk membangun tirani. Misalnya, kalau rektornya Gultom maka jabatan strategis harus dipegang orang bermarga Gultom, terutama terkait uang dan kebijakan kampus.

Ya, minimal anggota keluarganya si Gultom atau anak buahnya yang dipastika pro-Gultom. Bila ada Prof Dr. bermarga Nababan, dan kontra dengan Prof. Dr. Gultom tadi, maka bersiaplah ia menjadi dosen berlabel lakban, alias dosen pelapis.

Di Sidang-sidang Pengadilan, para Prof. Dr. bidang Hukum yang menduduk jabatan sebagai hakim, jakasa penuntut umum, pengacara, dst. justru bukan karena prestasi akademik atau karirnya. Kebanyakan justru karena unsur politik.

Bayangkan saja, jauh sebelum putusan hakim, masyarakat sudah tahu hasil sidang Ahok, sidang Jessica vs Mirna, pra-peradilan Setnov, dst. Itu karena mereka menggali kebenaran bukan dengan otaknya, tetapi hanya mengikuti arus pasar: sigodang hepeng nunga pasti monang (si kaya sudah pasti akan menang)

Di bidang Poltik, banyak pengamat politik yang bergelar Profesor Doktor, tapi analisis politiknya sangat dangkal, bahkan samasekali tak menggelitik. Ternyata selain karena memang otaknya cetek dan profesornya didapat karena beli jurnal untuk dipublikasi di media nasional, juga kerena para profesor doktor itu sekaligus berprofesi sebagai ketua partai, anggota dewan, bahkan menjadi pejabat publik.

Tak sedikit juga dari mereka yang malah berakhir di penjara, bahkan sebelumnya, saat tertangkap tangan melakukan korupsi, juga saat mereka dihadiahkan baju oranye dari KPK, para Prof. Dr. tadi malah asyik senyam-senyum pertanda puasa dan bahagia bisa jadi koruptor.

*****

Tak banyak seperti Profesor dengan kualitas keilmuan dan kepribadiannya yang selaras dengan kecerdasasannya. Sebut saja Prof. Dr. Reinald Kasali, Prof. Dr. JE Sahetapy, dan beberapa profesor cerdas lainnya. Selain menguasai bidang ilmunya, mereka juga selalu berupaya memaksimalkan ilmunya untuk kepentingan publik.

Entah karena begitu mudahnya mendapatkan gelar doktor di PTN/PTS kita, atau karena tesis dan desertasi mereka di luar negeri hanyalah terjemahan dari skripsi mahasiswanya di dalam negeri, kita tak tidak tahu mengapa profesor kita banyak yang bermodal "geccor" (ribut),

Nyatanya banyak sekali profesor di negeri tercinta ini yang (-maaf!) berotak kolor, karena otaknya justru sangat gampang menyerap apa pun yang kotor.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.