iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kesederhanaan Bukan Sekedar Tampilan

Kesederhanaan Bukan Sekedar Tampilan
"Saya banyak belajar dari sosok-sosok sederhana, yang bahkan oleh banyak orang tak diperhitungkan," demikian dituturkan seorang imam muda saat ia menerima tanggung jawab sebagai pastor paroki. Kita sebut saja namanya Ferdinandus.

"Orangtuaku datang dari keluarga sederhana. Ayahku hanya seorang tukang kebun di sebuah pastoran, sedangkan ibuku hanya tukang masak di susteran," kata Dinan, demikian Ferdinandus dipanggil akrab oleh teman-temannya.

Umat yang mendengar syeringnya terkesima. Tak sedikit dari antar mereka yang saling berbisik. 'Ini dia pastor yang kita tunggu-tunggu. Dia masih sangat muda, namun sudah sangat Fransiskan,' bisik Nai Refa kepada Nai Fare yang duduk berdampingan.

Pastor Ferdinandus melanjutkan, "Dengan kesederhanaan seorang Fransiskan, saya selalu commit menkritisi pola hidup mewah saudara-saudara se-ordo saya," tambahnya berapi-api.

Tiba-tiba Nai Refa menangkat tangannya dan menginterupsi sang pastor paroki barunya,
"Begini, bapak pastor. Aku ingin bertanya tentang sesuatu yang selama ini mengganjal di benak saya, ...," Nai Refa terdiam sejenak sambil memperbaiki posisi suntil (tembakau)-nya.

Nai Refa kembali melanjutkan, "Pastor pasti sudah tahu bahwa selama Pastor masih kuliah dan masih frater, kesederhanaan itu masih terlihat. Tak berhenti di situ, bahkan ketika Pastor masih Frater Topper dan sedang menjalani masa Diakonat, pola hidup sederhana itu bahkan sangat mengusik kebiasaan kami umat yang selalu ingin ganti smartphone baru.

Lantas, mengapa setelah menjadi imam, banyak para pastor justru jauh dari hidup sederhana? Tapi maaf kepada pastor senior yang ada di sini. Kalau beliau memang Fransiskan sejati,"
lanjut Nai Refa menunjuk Pastor Naburjius yang digantikan pastor Ferdinandus.

Spontan umat yang mendengar bertepuk tangan meriah. Tampak sekali mereka merasa lega karena hal yang mengganjal di hati mereka.

Spontan wjah si pastor paroki baru, Pastor Ferdinandus memerah. Tetapi ia masih berupaya menjawab dengan tenang sembari memaksakan senyumnya.

"Mauliate ma di inang Nai Refa. Benar apa yang ibu katakan tadi. Hanya saja, semua itu tergantung orangnya. Kalau sebagian umat mengira kesederhanaan itu tampak dari apa yang kami kenakan dan fasilitas yang ada pada kami, maka ibu benar. Tetapi bagi saya, kesederhanaan itu adalah kerelaan menjadi pribadi yang sedia melayani Tuhan tanpa memikirkan apa yang saya miliki.

Pastoran mewah, mobil baru dan bagus, sepeda motor racing, Iphone terbaru, fasilitas wifi, tivi kabel dan berbagai kemewahan yang ada di pastoran itu bukanlah milik kami. Kami hanya menggunakan dan memaksimalkan apa yang tersedia atau disediakan umat bagi kami," terang pastor Ferdinandus berfilsafat.

Ama Lopes yang mulutnya sudah mulai gatal tiba-tiba menghentak si pastor dengan pertanyaan agak menohok, "Kalau kami sih tak cemburu dengan segala kemewahan yang ada di pastoran yang kadang seperti istana yang tak boleh kami masuki itu.

Bukan. Bukan itu intinya bagi kami umatmu ini pastor. Kami hanya kwatir kelak kalau kaul kemiskinan itu ternyata hanya berarti : boleh manikmati kemewahan kendati tak memilikinya.

Bah, ternyata pola hidup para pastor kami tak lebih dari seorang presidan yang sepanjang menjabat sebagai kepala negara bisa terbang kemana-mana dengan pesawat kepresidenan, kendati itu bukan miliknya."


Ama Lopes emang ada-ada saja. Seperti nama anak pertamanya, Lopes, ia memang dikenal sebagai orang yang suka "menggulung" sarungnya agar tidak melorot. Ya, dia selalu kritis terhadap apa yang ia lihat.

Perkataan ama Lopes tadi pun menyisakan tawa umat yang hadir, namu sebaliknya, menyisakan senyum kecut pastor Ferdinandus yang merasa kena "sindir" oleh Ama Lopes.


Lusius Sinurat