iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Kritik Tak Melulu Ekspresi Kemarahan

Kritik Tak Melulu Ekspresi Kemarahan
Sumber: Tribun

Anda pernah marah? Pasti. Aku juga pernah marah. Bahkan bagi sebagian yang tak mengenal karakter orang Batak akan menyebut orang Batak itu suka marah. Tapi aku tak membahas tentang karakter itu. Selain karena itu soal streotype, juga sering justru karena bersumber dari ketidaktahuan.

Menarik menonton #MataNajwa tadi malam. Tamunya Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno yang baru saja merayakan 100 hari memimpin DKI Jakarta. Sadar tau tidak, Anies adalah sosok yang mudah marah, tapi sekaligus sering memaksakan diri untuk menahan amarahnya.

Dasar si Najwa. Dia jago banget mengulik kelemahan narasumbernya, untuk selanjutnya akan dibombardir dengan pertanyaan yang membuat si narasumber gelagapan.

Najwa tak pernah bermaksud menelanjangi narasumbernya. Ia hanya menangkap "jeritan" rakyat Jakarta yang gemas dengan tingkah gubernur dan wakil gubernurnya.

Sebagai warga Jakarta, Najwa hanya ingin mengevaluasi, bukan soal kemenangan yang kontroversial di Pilkada 2017 lalu, melainkan tentang kinerja DKI-1 dan DKI-2 setelah 100 hari menjadi sorotan kamera karena kemunduran Jakarta ditangan mereka.

Najwa menang. Anies terlihat emosional dan cenderung marah. Di satu sisi ia merasa sudah mulai melunasi janji politiknya, tapi di sisi lain ia sadar bahwa ia bukan hanya pemimpin bagi tukang beca, atau karyawan dari partai pengusungnya.

Anies marah karena ia menganggap Najwa sebagai oposannya. Anies terlihat gampang emosi karena ia masih berada di masa lalu, di mana ia dan Sandi belum bisa diterima sebagian warga Jakarta. Mungkin masih ada 42% yang bilang Anies sebagai gabener dan sandi sebagai wahgabener.

Tak hanya Najwa, wakilnya si Sandi Uno juga merasa disindir dan dituduh Anies karena ia suka kecolongan saat berhadapan dengan wartawan. Anies memang belum pernah terlihat mampu menekan amarahnya. Bahkan ketika ia memaksakan diri tersenyum, orang tetap saja melihat wajahnya yang ditekuk sebagai pertanda ia marah.

Tak heran bila kita melihat perubahan signifikan di wajahnya. Baru bekerja 100 hari sebagai pemimpin Jakarta, Anies sudah tampak lebih tua dengan tampilan wajah yang lebih kusut. Kemarahan Anies adalah tanda bagi warga DKI Jakarta bahwa dibawah Anies-Sandi wajah DKI Jakarta telah berubah secara drastis.

Tanah Abang menjadi kumuh, beca mudah semakin berkeliaran, dan rumah DP 0 tak berjalan seperti yang dipikirkan keduanya. Anies marah, bukan saja pada ketidaksanggupannya menerima kritik warga DKI yang membandingkan dia dengan Ahok, tetapi juga karena dia selalu merasa gampang menjadi gubernur di DKI Jakarta.

Begitu mudahnya menjadi gubernur, hingga Anies hanya menoleh ke belakang dan menyalahkan pendahulunya, dan Sandi masih sempat ber-lipsbam-ria atau bermain OKE OCe-an di manapun ia berada.

Anies memang marah, tapi lebih pada dirinya sendiri, tepatnya pada ketidaksanggupannya menjadi Gubernur DKI. Ia marah mengapa ia menjadi gubernur di waktu yang salah. Habis gimana coba, Ahok selalu dijadikan acuan oleh warga Jakarta yang kini dipimpinnya.

Di sisi lain, tingkat stress yang semakin tinggi hingga begitu sensitif dengan pertanyaan Najwa tadi malam juga menunjukkan betapa Anies tahu kalau rakyat Jakarta semakin hari justru semakin cemas dengan gaya kepemimpinannya.

Di titik ini kita melihat bahwa kemarahan Anies akan menimbulkan masalah baru hingga menghambat kerja samanya dengan Sandiaga Uno. Sebab, keduanya punya kemampuan yang kurang lebih sama: sama-sama tidak tahu harus berbuat apa, kecuali menyalahkan warga Jakarta atas kebodohannya.

"Kebodohan" yang dimaksud di sini adalah ketidaksiapan dan ketidaksediaan Anies menjadi pendengar yang baik. Minimal itu yang terlihat dalam acar #MataNajwa tadi malam. Persoalannya Anies merasa diserang Najwa. Biasanya, hanya orang yang dalam posisi terjepit atau merasa diserang yang melakukan hal demikian.

Lihatlah, betapa Anies tak leluasa bertutur tentang apa yang sudah dilakukannya 100 hari. Ia justru begitu sibuk memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan Najwa, mulai dari persoalan "Mengapa Tanah Abang kini jadi kumuh?", "Beca kok malah dibiarin di Jakarta?" atau "Mengapa Anies selalu berupaya mengubah pergub dan perda untuk meloloskan janji politiknya?"

Ah dasar Anies. Mantan mendikbud ini ternyata mulai sadar bahwa menjadi gubernur di DKI Jakarta itu tak hanya dibutuhkan orang yang seiman dan seagama. Nyatanya, warga Jakarta justru merindukan kembali Ali Sadikin, Jokowi, Ahok dan Djarot untuk memajukan Jakarta.

Minimal, warga DKI Jakarta, terutama yang masih belum tercemar racun PKS, Gerindra, PAN, FPI berharapa, "Mbok ya kalau enggak sanggup, ya belajar dari gubernur sebelumnya. Itu aja kok repot lu berdua!" Hahahaha...

Syukur deh, mas Djarot datang ke Sumut untuk mengembangkan ide-ide cemerlang Jokowi dan Ahok di daerah kami ini. Kalau dia masih di Jakarta, pasti Anies-Sandi malah gugup bekerja. Makanya, Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno jangan terlalu sering bermain Ok Ocretan di Jakarta. Hahaha...