iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Cocok Kam Rasa

Cocok Kam Rasa


Selalu ada cara untuk turut bergembira dengan seorang/beberapa orang yang telah berhasil di tahapan tertentu dalam hidupnya. Salah satunya dengan memberi hadiah, bingkisan atau kado. Kebiasaan ini bahkan ada di seluruh lapisan masyarakat dunia. Tapi, sebagai warga kelahiran Sumut, saya hanya ingin membentangkan kebiasaan pesta di kalangan masyarakat Sumut.

Di kalangan masyarakat Sumut, terutama orang Batak, berbagai bentuk "ekspresi turut bergembira" itu biasanya ditempatkan di panggung utama. Tak terkecuali di acara adat maupun di pesta-pesta keagamaan, dan pesta umum.

Biasanya, momen paling disukai adalah saat manortor (menari), memberi sambutan di panggung utama, atau menitipkan lewat pengumuman.


Sambutan dari Panggung utama....

"Onom juta hanbakku. Lang pitah ai dassa, dong pe homani 3 juta nari humbani parrumahku hubani nasiam ganupan na marpesta on," kata X dari panggung saat didaulat memberi sambutan.

Sederhananya, si Mr. X tadi mengumumkan sumbangan sebesar 6 juta sumbangan pribadinya, dan 3 juta dari istrinya untuk masing-masing pestawan/pestawati.


(2) Saat Manortor (manari)...

Musik berlanggam chacha, rumba dan dangdut melayu biasanya menjadi musik pengiring proses pemberian uang yang biasa dijepit di jemari.

Mr. X akan menari diiringi musik dengan volume sangat besar, meliuk-liuk, maju mundur hingga mendekat ke arah sang jubilaris (yang berpesta). Asal tahu saja. Hanya duit kertas yang cocok untuk ritual ini. Lu gak bakalan bisa menjepit uang koin saat manortor... ha ha ha.

So, Anda harus menyelipkan uang minimal uang 5rb, 10rb, 20rb, 50rb, 100rb atau kelipatannya. Tergantung posisi Anda di pesta itu. Kadang juga tergantung kepentingan apa yang Anda bawa ke pesta tadi.

Hebatnya lagi, orang sering "fly" saat menikmati ritual ini. Maksudnya, orang suka asal main tarik uang dari dompetnya hingga tak tersisa ongkos pulang wkwkwkwkw...


(3) Saat MC mengumumkan dari panggung...
"Mr. X minta maaf karena tak bisa hadir di pesta kita ini. Sebagai "tanda" permintaan maafnya, Mr. X menitipkan masing-masing 6jt kepada setiap jubilaris," kata MC dari panggung utama.
Riuh rendahnya suara tepuk tangan dari tuan rumah pesta dan undangan yang hadir sangatlah penting sesaat setelah pengumuman ini dibacakan. Jumlah titipan, entah hanya puluah ribu, ratusan ribu atau bahkan lebih dari puluhan juta rupiah turut memengaruhi nada tepuk tangan hadirin.

Tapi ingat, konteks dari semua ekspresi kegembiraan di atas adalah pesta kegembiraan. Jadi, semua berjalan selalu dalam konteks gembira dan senang.

Persoalannya, momen seperti ini sering dimasuki para politisi. Belum lagi di saat musim pilkada. Para kontestan akan diundang atau hadir tanpa diundang. Di sana mereka akan menebar janji plus menyebar "amplop".

Tujuannya satu, agar ia mendapat waktu dan penggung di pesta orang lain. Begitulah yang terjadi di acara-acara perkawinan, mangadati (pesat adat penuh), juga di acara-acara keagamaan.

Para kontestan tak jarang mendapatkan "mic" (microfon) alias panggung utama dengan mudah. Bahkan sering terjadi, si calon kepala daerah tersebut justru dimuliakan melebihi aktor utama (si orang yang dipestakan). Acara lelang atau pengumpulan dana pembangunan gereja adalah ritual paling disukai politisi. Konon katanya, momen seperti itu sejalan dengan misi mereka; "membantu masyarakat" yang kesulitasn.

Begitulah mereka mendapat perhatian lebih dari banyak orang. Ia akan memposisikan dirinya menjadi donatur terhebat dengan foot note "mereka yang dibantu akan memilihnya saat pencoblosan nanti."

Hebat bukan? Belum lagi MC suka memanas-manasi suasana. Tentu, karena dia juga sudah disalam di belakang panggung.
"Cagub Sumut yang satu ini, Mr. X ternyata sangat mencintaai umat kita. Ia tak pernah alfa membantu kita. Bereng hamu ma kan (lihatlah), saat ini beliau (berjanji) akan menyumbangkan Rp 300jt untuk pembangunan gereja kita," tegas MC dari panggung utama.
Biasanya sih riuh-rendahnya nada tepuk tangan akan menjadi penentu si cagub Sumut diterima atau malah tak disukai. Ya, minimal untuk menyenagkan donatur hebat tadi.

Di titik inilah kita semua harus hati-hati. Jangan sampai para politisi itu mencuri kegembiraan pesta dari jubilaris utama atau aktor utama pesat, hanya karena ia memberi sejumlah uang. Sadarlah, bahwa saat ini mereka sedang berkompetisi. Satu per satu tempat pesta, terutama pesat gereja akan mereka datangi. Meminta doa hanyalah salah satu cara diluar pesta.

Si calon gubsu, misalnya akan memberikan kepalanya ditumpangi para pendeta atau pastor, sembari tak lupa memberi ruang bagi juru foto untuk mengabadikannya di koran-koran harian mereka. Ingatlah, Sumut begitu tertinggal dalam banyak hal dari propinsi lain, terutama dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pembangunan. Sebaliknya, Sumut begitu jumawa dalam hal praktik money politic dan KKN.

Anda tahu, salah satu penyebabnya adalah ketika para calon pejabat daerah ini sering diberi ruang mencuri kegembiraan pesta rakyat yang kelak akan mereka layani. Benar, bahwa di satu sisi ada sekelompok orang ingin bergembira tapi tak mau rugi, dan di sisi lain, ada orang yang ingin menjadi penguasa dan punya banyak uang tetapi tak punya banyak waktu untuk mengumpulkan massa.

Tapi hal itu bukan alasan untuk mengamini "simbiosis mutualisme" alias saling tergantung karena sama-sama tak bermut ha ha ha.  Atau, dalam penegasan orang Medan, jangan sampai kebiasaan itu justru dijadikan sebagai pembenaran: "Cocok kam rasa?"