iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Politisi SKS

Politisi SKS
Ilustrasi: Mahasiswa yang terbiasa belajar SKS 

Sistem Kebut Semalam

Saat masih kuliah, mereka yang terbiasa menggunakan sistem kebut semalam (SKS) dalam mempersiapkan ujian adalah mahasiswa yang punya IQ dan EQ-nya rada tinggi. Bagaimana tidak, dalam waktu yang mepet dan serba kepepet mereka mampu mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, mengerjakan tugas rumah dan tugas-tugas kuliah lainnya.

Andai saja nilai si penikmat metode kepepet ini bagus, maka nilai itu tidak murni sebagai akumulasi murni dari upaya semalam suntuk. Sebaliknya, nilai itu adalah akumulasi dari kecerdasan mereka, tepatnya dari segala upaya mereka menjadi pendengar dan penyimak yang baik di kelas.

Persoalannya, apakah hasil dari penerapan SKS ini selalu maksimal? Entahlah. Relatif juga sih. Tapi secara umum nilai yang mereka dapat pasti tak sebaik bila mereka mempersiapkan diri atau mengerjakan tugas mereka jauh-jauh hari.

Itu berarti, mereka yang otaknya pas-pasan seperti saya, cara belajar dengan SKS ini tak mungkin memadai. Ya ialah. Mana mungkin saya mampu memahami materi tertentu dalam waktu sekejap bila materi itu samasekali asing bagi saya?

Bagi mahasiswa yang sudah terbiasa mempraktikkan SKS aja hasilnya belum tentu bagus. Kadangkala malah lebih sering dapat nilai pas-pasan, bahkan jeblok. Bukan apa-apa. menguasai materi perkuliahan satu semester hanya dalam waktu satu malam atau beberapa jam sebelum ujian tergolong tindakan nekad.

Impossible banget deh. Jangankan menghafal atau menguasai materinya, waktu untuk membacanya saja butuh waktu yang sangat lama. Persoalannya, terlepas dari hasil yang diperoleh, saat ini masih teap banyak orang yang suka menerapkan SKS ini dalam menjcapai tujuan hidup mereka.

Ilustrasi: Amien Rais yang semakin tua justru semakin aneh. Pola pikirnya bahkan sering disaman dengan Habieb Riziek


Politisi SKS

Dalam skala yang lebih luas, kebiasaan SKS ini malah merambah di masyarakat kita. Tak hanya pelajar atau mahasiswa lagi yang mempraktikkannya, tapi juga para politisi. Kita sebut golongan mereka sebagai Politisi SKS.

Sejak tahun 2014 jumlah politisi SKS bertumbuh pesat. Ada capres yang kalah konvensi partainya langsung mendirikan partai sendiri. Setelah punya partai ia kepengen menjadi Ketua Umum atau Ketuda Dewan Pendiri Partai, agar ia punya hak dicalonkan menjadi capres.

Setelah dicalonkan calon presiden, lalu kalah. Kekalahan ini membuatnya belajar, apalagi ia masih ingin mencalonkan diri menjadi caprs 2019. Kelompoknya pun mencari jalan pintas dalam waktu yang mepet dan kepepet.

Mereka mengujinya di salah satu propinsi. Cagub dan cawagub yang mereka majukan menggunakan praktik Politik SKS tadi. Menjelekkan lawan dengan melempar isu suku, agama ras di media publik hanyalah salah satu cara termudah mereka. Pendeknya, mereka pun menang dengan sistem SKS tersebut. Lawan yang berasal dari kalangan minoritas mereka kalahkan, bahkan mereka giring msuk penjara.

Ilustrasi: Prabowo Subianto, sosok yang sudah tiga kali gagal dalam Pilpres sering mengekspresikan ras frustasinya secara ganjil


Bisa Saja Berhasil

Penerapan politik SKS ini pun berhasil. Polanya sederhana dan dilakukan dalam waktu singkat. Mereka melempar isu sensitif tentang lawan politik, membayar massa turun ke jalan, hingga mamaksa aparat keamanan menangkap si calon agar gagal mencalonkan diri.

Terbukti, gaya politik instan ala SKS ini pun berhasil. Uji coba di ibu kota pun semakin menegaskan keberhasilan itu. Apakah cara instan ala SKS itu benar atau tidak tak menjadi soal bagi mereka. Karena bagi mereka, tujuan adalah hal paling utama. Tujuannya jelas: ingin menguasai negara ini, yang dimulai dari segala daya upaya memenangkan capresnya dan cagubnya.

Sekali lagi, apakah hal ini berhasil? Seberapa maksimal output dan outcome dari metode SKS yang mereka terapkan ini? Yang jelas, sejauh ini masyarakat sudah mulia tertipu oleh gubernur dan wakil gubernur yang terpilih secara SKS ini.

Tentu, karena mereka bukanlah hasil dari penghargaan pada proses. Meraih kemenagan dengan cara instan dan curang ini terbukit telah menghasilkan gubernur yang kerjanya merendahkan keberhasilan orang lain, memajukan daerah yang dipimpinnya walaupun hanya dalam imajinasinya.

Politisi SKS
Ilustrasi: Fadli Zon sering dianggap sebagai sosok yang tak mampu berpikir positif mengenai presiden Jokowi


Tujuan Pribadi Menjadi Nomor Satu

Bagi para politisi SKS ini, tujuan jauh lebih penting daripda apa yang mereka dapatkan dari setelah tujuan mereka tercapai. Buktinya, cara instan ala SKS ini juga mereka masih terapkan, bahkan dipandang sebagai salah satu strategi terbaik dan terefektif untuk meraih kemenangan politis.

Misalnya, ketika seorang capres berpikir bahwa untuk memenangkan pilpres, ia cukup bertelanjang dada sambil berterikan di atas pundak orang yang mengangkatnya. Andai cara itu tak terlalu ampuh, maka ia akan mulai menakut-nakuti rakyat dengan mengatakan negara ini akan bubar 12 tahun lagi, karena pemerintah saat ini justru dipenuhi maling dan seua bisnis telah dikuasai asing.

Tak hanya itu, agar Partai sang capres menang Pemilu 2019, timnya pun cukup mengatakan ke publik bahwa partainya adalah Partai Tuhan, sementara partai lain adalah Partai Setan.

Pemikiran model beginian tentu mereka pandang sebagai pola pikir brilian. Tentu saja, karena bagi kelompok politisi SKS ini memimpin negara itu cukup dengan membiarkan Tuhan bekerja sendirian, termasuk mengusir setan yang mencoba mengusik mereka.

Para politisi SKS ini dipenuhi orang-orang dengan budaya instannya. Mereka itu selalu merasa bahwa mendapatkan suara itu mudah: hanya bermodalkan fitnah, meneriakkan kata Allah walaupun kelakuan kayak setan, atau memberi jaminan kepada para pengikutnya akan masuk surga walaupun di saat yang sama mereka justru sedang menciptakan neraka ditengah mereka.

Belajar dan bertindak dengan SKS memang membahayakan. Sebab, bagi penganutnya, dunia itu sempit, tepatnya sebatak keinginan mereka. Tak heran ketika kehadiran alat-alat komunikasi digital dan internet yang semakin canggih sangat memudahkan mereka. Pengen dianggap benar? Sebarkan saja fitnah dan hoax di media sosial.


Penutup

Andai saja kebiasaan SKS menjadi cara terampuh mencapai tujuan, maka siapa pun yang ingin menjadi Presiden cukup bermodalkan kemampuan bertelanjang dada didepan publik seperti Prabowo, atau untuk menjadi ketua DPR cukup bersilat lidah dan memfitnah sembari menebar ujaran kebencian kepada lawan politiknya seperti Fadli Zon.

Begitu juga untuk dianggap sebagai Bapa Bangsa dan Tokoh Reformasi, seseorang cukup mengklasifikasikan partai-partai yang ada kedalam golongan partai Tuhan dan partai Setan sebagaimana dilakukan Amien Rais.

Bagi mereka, soal hasil itu belakangan. Ibarat gubernur yang menang lewat cara SKS yang berjanji menghadiahi rakyatnya Rumah DP 0%, tetapi justru harapan rakyat kepadanya yang tinggal 0%.

Akhrinya, agar praktik SKS ini tak menjadi kebiasaan, kita harus banyak belajar dari para penulis. Sebelum menulis buku, mereka sudah terbiasa merancang outline terlebih dahulu. Outline itu berikutnya akan menjadi tahapan sistematik dalam merangkaiu tulisan mereka.