iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Percikan Pengalaman Pastor Donatus di Pendidikan Seminari Siantar

Pengalaman Yang Diperhitungkan
Pastor Donatus Simbolon, SVD dan Perjalanan Misinya di Afrika
Masih teringat di ingatan saya, berangkat ke kota Pematang Siantar untuk mengikuti testing masuk seminari. Berbekal minimnya pengetahuan tentang Seminari, saya melangkahkan kaki bersama beberapa teman teman dari Paroki St. Yosef Tebing Tinggi untuk testing.

Hal pertama yang saya sadari adalah bahwa orang tua saya bukanlah orang yang sangat aktif di Paroki (pengurus Paroki). Orang tua saya adalah umat biasa, tentunya Pastor Paroki tidak begitu mengenal keluarga saya. Berbeda dengan teman teman lain yang pada umumnya anggota keluarganya dikenal baik oleh para Pastor.

Mungkin orang banyak bertanya, dari mana saya mengenal seminari? 
Saya merupakan anggota Misdinar di paroki St. Yoseph Tebing Tinggi. Mengenyam pendidikan dasar di SD negeri 163019 Tebing Tinggi dan melanjutkan ke SMPN 1 Tebing Tinggi. Di dua sekolah negeri ini, saya merasakan minimnya pelajaran agama Katolik. Waktu SD, saya harus bergabung dengan teman teman Protestan untuk mengikuti pelajaran Agama. 

Di SMP selama setahun saya harus belajar bersama teman teman protestan. Dua tahun selebihnya baru ada pelajaran agama Katolik, yang diadakan pada hari jumat setelah semua murid pulang sekolah. 

Semua murid yang beragama Katolik, mulai kelas 1 sampai kelas 3 dikumpulkan bersama dan belajar agama katolik. Sejauh saya ingat, bahan pelajaran agama Katolik saat itu sangat berbeda dengan pelajaran agama Protestan. Dimana pelajaran agama Katolik lebih pada pengenalan diri. 

Berangkat dari situ: ada kerinduan untuk menimba ilmu di perguruan Katolik. Dalam kerinduan itu, saya melihat pengumuman pendaftaran testing masuk seminari. Akhirnya saya memantapkan diri untuk mencoba.


Masuk Seminari Tak Lantas Harus Jadi Imam
Tidak ada dalam benak saya untuk menjadi seorang imam dikemudian hari. Walaupun saya anggota misdinar, saya bukanlah anggota yang cukup aktif. Sering kali saya mangkir dengan teman teman, jika ada pertemuan misdinar. Sembari teman teman bertemu, atau latihan, kami lari ke belakang Gereja dan mencuri kelapa muda milik sekolah katolik. 

Hal ini di ketahui oleh Pembina dan pastor paroki. Tidak mengherankan jika waktu saya mau mendaftarkan diri untuk testing, Pastor paroki dan Pembina memberi komentar: Bagaimana kamu bisa masuk seminari dengan kelakuan seperti itu? 

Jika lulus, paling hanya bertahan beberapa tahun saja. Kepada teman teman juga saya katakana bahwa saya hanya ingin mencoba, kalau lulus saya masuk, tidak ada keinginan untuk menjadi imam.

Dengan latar belakang demikian, saya lulus testing seminari dan masuk seminari. Untuk pertama kali dalam sejarah Paroki St. Yosef Tebing Tinggi, jumlah anak yang masuk seminari terbanyak adalah angkatan saya. 

Kehidupan di Asrama Seminari
Kehidupan di Asrama Seminari, sesuatu yang baru sama sekali bagi saya. Banyak teman yang baru dan berasal dari daerah yang beraneka ragam. Membina pertemanan adalah hal yang sangat penting, jika tidak kita akan seperti orang asing di dunia yang ramai. 

Mungkin bagi teman teman lain hal ini tidak sulit, karena mereka sudah memiliki senior senior yang berasal dari kampung atau paroki mereka. Akan berbeda seperti kami yang hanya memiliki 1 atau 2 orang senior saja.

Satu hal yang saya amati adalah adanya grouping di asrama. Adalah hal yang lumrah dan biasa terjadi, karena orang akan lebih dekat dengan orang orang sekampungnya. Juga didukung bahasa yang sama. 

Bahasa perlu dan penting sebagai alat komunikasi dan memperkuat rasa persaudaraan. Ada peraturan: bahwa anak anak seminari diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantara. Jika ketahuan berbahasa daerah maka hukuman adalah mengangkat kotoran babi, atau membabat rumput. Namun di sisi lain, anak anak yang kurang paham atau tidak bisa bahasa daerah diberikan keringanan. Ini disebut proses belajar.

Percikan Pengalaman Pastor Donatus di Pendidikan Seminari Siantar
Pastor Donatus dalam pertemuan dengan biarawan-biarawati di Botswana, Afrika

Hidup Menurut Aturan dan Jadwal 

Hidup menurut aturan dan jadwal adalah bagian dari Seminari. Lonceng memiliki peran penting. Hampir tidak ada kegiatan yang dimulai tanpa lonceng. Suara lonceng panjang, ditengah jam belajar adalah tanda libur, dan sangat dinanti-natikan. Sayang, lonceng seperti itu hanya terdengar jika bapa Uskup berkunjung ke Seminari.

Mungkin banyak seminaris yang memiliki pengalaman “buruk” di seminari. Sebagai contoh mengalami kekerasan fisik dari senior, disuruh mencuci pakaian senior. Pengalaman saya berkata lain. Jujur saya katakan, selama 4 tahun di Seminari, saya tidak mengalami kekerasan fisik. 

Kekerasan fisik mungkin terjadi, ketika para junior tidak mengikuti aturan yang ditetapkan oleh seminari. Ketakukan dilaporkan atas kesalahan yang diperbuat, menjadi alasan para junior tidak melaporkan kekerasan yang terjadi. 

Di lain pihak, para senior merasa memiliki tanggung jawab untuk menertibkan para juniornya. Selain itu, memanfaatkan kesalahan korban untuk melakukan kekerasan, sebagai aksi balas dendam yang pernah dialaminya.

Pendidikan Bebas Bertanggung Jawab

Pendidikan di asrama dan sekolah memberikan tanggung jawab kepada murid-muridnya. Mulai mengatur organisasi, menjalankan koperasi, Majalah dan lain lain. 

Para siswa di kondisikan sedemikian rupa supaya dapat mengatur hidup dan kegiatannya sendiri. Selalu ada rapat komunitas untuk memilih decanus dan fungsi jabatan lainnya.

Patut dibanggakan kemampuan para seminaris untuk mengorganisir suatu kegiatan. Para seminaris mengatur sendiri untuk mengadakan aksi panggilan. Menentukan tempat, orang yang bertanggung jawab dalam transport, menghubungi pastor paroki, membuat persiapan dan lain lain. 

Kegiatan ini tidaklah “melibatkan” para pembina tapi dilakukan sendiri oleh para seminaris. Dengan kata lain: para seminaris dibiasakan untuk mengatur kegiatanya dan juga menjaga rasa persaudaraan dalam kegiatan diluar seminari.

Relasi Akrab Dengan Guru dan Pembina Seminari
Dari semua itu, saya sangat kagum akan hubungan atara para seminaris dan guru yang akrab. Para guru bukanlah sosok yang menakutkan, seperti image di sekolah lain (pengalaman waktu SD dan SMP). 

Guru adalah sebagai teman, orang tua dan pembina. Kami bisa berbagi kisah dan pengalaman, tanpa menurunkan harga diri guru. Sedemikian dekatnya dengan guru, tanpa malu malu seminaris berani mensharingkan masalah pribadinya kepada guru: masalah keluarga, seksualitas, keuangan, kepribadian dan lain lain. 

Jauh berbeda dengan para prefek. Bagi saya, Prefek itu menakutkan, dalam arti jika saya bercerita soal masalah saya, maka saya bisa bisa dikeluarkan dari seminari. Perasaan ini, timbul karena kurang rasa kedekatan dengan para prefek seminari.

Makanan Khas "Ikan Indosiar"
Bagi saya menu makanan cukup baik, hanya saja sering kali sarapan yang kurang menarik. Sebagai anak anak yang berada dalam masa pertumbuhan, kami menjadi anak anak yang selalu merasa lapar. 

Tidak mengherankan jika ubi para suster, sering kali menjadi korban. Ubi dapat tumbuh tinggi dan besar, namun umbinya kecil. Mengapa? Karena umbinya telah diambil dengan cara mengorek tanah dari samping, sehingga pohon ubi tumbuh besar dan segar, tapi umbi yang besar sudah hilang. 

Jika ada “potus” sering kali piring yang terdekat dengan pintu sudah kosong. Tidak ada pilihan lain, makanan enak atau tidak, harus disantap. 

Membuang makanan adalah suatu hal yang tidak boleh. Makanan harus habis sampai butir yang terakhir. Pembina selalu mengatakan: orang tua kalian sudah memeras keringat untuk menghasilkan sebutir beras. Ungkapan ini, sangat berkesan bagi saya sampai saat ini.

Pengalaman Yang Diperhitungkan
Pastor Donatus sedang merayakan Misa

Wahana Pengembangan Bakat dan Seni
Pendidikan di seminari penuh dengan pengembangan bakat dan seni. Sejak awal para seminaris digebleng untuk mengembangkan bakat bakatnya. Sesuatu yang sangat menarik, namun bagi saya ini merupakan kesulitan yang nyata di depan mata. 

Dengan postur tubuh yang pendek, sangat tidak memungkinkan untuk bermain basket, juga Volley. Mencoba untuk bermain bola kaki, hanya menjadi underdog. Tennis Meja hanya sekedar bisa bermain. 

Bagaimana dengan musik? Lebih parah lagi, selalu tidak pernah lolos dalam test, dan suara tidak bisa sesuai dengan nada yang dimainkan alat music. Tidak mengherankan jika jadwal olah raga, maka saya sering memilih lari, entah lari di tempat atau keliling lapangan. Bahkan sering sembunyi di gudang. 

Mungkin yang bisa saya bangkan adalah bisa renang, walau tidak hebat. Dalam Seni, beberapa kali, goresan tangan saya dalam seni lukis, tidak dikembalikan P. Philipus, artinya lukisan itu memiliki nilai yang baik. 

Dengan minimnya bakat dan seni dan olah raga, menjadikan saya, orang yang kurang percaya diri. Merasa kecil, baik itu dalam bakat dan postur tubuh. Teman teman memberikan julukan: ATENG. 

Pada awalnya itu merupakan suatu gelar yang menyakitkan. Ketika orang lain menyebutkan Ateng: saya merasakan diremehkan. Tidak jarang saya menjadi barang olok-olokan di antara teman-teman. Saya merasa orang yang tidak pantas dan tidak layak sebagai seminaris yang sarat dengan orang orang penuh bakat dan seni. Jarang tampil dalam bidang olahraga maupun music adalah bagian dari kehidupan saya.

Mungkin bagi sebagian orang, hal ini sepele, namun lain dengan saya. Dalam keputus-asaan, saya memberanikan diri untuk mundur dari seminari. Sungguh tidak saya duga jawaban dari Direktur Seminari kala itu, Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap,  
"Seorang imam tidak harus bisa bernyanyi, tidak harus bisa olah raga. Jika kamu merasa 'dihina' dengan sebutan Ateng, mengapa kamu tidak memanfaatkan itu sebagai suatu kekuatan dirimu. Artinya: jadilah seorang Ateng, yang selalu membuat orang terhibur. Terimalah keadaan dirimu dan bersyukur. Membuat orang merasa terhibur dan senang adalah suatu karunia. Pikirkan baik baik itu."

Dunia seakan terbalik. Saya berfikir: mengapa saya harus hidup seperti orang lain, mengapa saya harus hidup seperti orang lain, lebih baik saya hidup apa adanya. Bangkit dari keterpurukan yang satu, tidak menjadikan hidup lebih mudah. 

Setelah melangkah lebih jauh tantangan datang lagi. Saat pembagian jurusan di SMA. Perubahan kurikulum mewajibkan sekolah harus memiliki beberapa jurusan. Sebelumnya Seminari hanya memiliki jurusan SOS (Sosial). Tuntutan Departement Pendidikan, mewajibkan seminari membuka jurusan lain dan seminari membuka jurusan IPA.

Saya bersama 11 teman lain (total 12) adalah angkatan pertama jurusan IPA di seminari. Pihak seminari memutuskan saya untuk masuk IPA, sementara pembicaraan bersama wali kelas alm. Bapak Ginting, saya mengatakan keinginan saya untuk masuk IPS. Tentu saja saya menolak, karena ada beberapa teman yang prestasi akademis dalam pelajaran IPA lebih baik, justru di izinkan masuk IPA. 

Dunia serasa kiamat, membayangkan betapa majunya teman teman di SMA lain dalam bidang ini, sementara seminari masih “jauh dibawah”. Hal ini karena pihak seminari memang tidak memiliki persiapan dalam hal ini, juga saya yang tidak membayangkan akan adanya jurusan IPA.

Kembali menghadap Direktur, dan melontarkan ancaman untuk keluar, jika tidak masuk IPS. Dengan santainya Pastor Anselmus mengatakan, 
"Kamu pasti bisa! Percaya pada dirimu! Tapi kalau mau keluar, ya silahkan saja. Besok juga kamu bisa gulung tikar".
Akhirnya, saya memutuskan maju terus. Walaupun ada kekhawatiran tidak lulus karena merasa kemampuan dalam mata pelajaran jurusan IPA merasa tidak mampu. Pada umumnya kami belajar Fisika, Kimia, Matematika dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, PPKN. 

Terkadang kami seakan-akan tak peduli akan guru pelajaran tersebut. Kadang kami mengatakan: Pak/ Ibu, dibaca ajalah, atau langsung ujian ajalah. Bersama teman teman, kami banyak mencari banyak contoh soal sebagai latihan: entah dari sekolah lain, maupun dari lembaga kursus mata pelajaran. 

Saya merasa hidup sungguh tidak tenang, karena kekhawatiran tidak lulus SMA, karena jurusan yang memang tidak diharapkan. Terima kasih kepada Tuhan, semua berjalan dengan baik, lulus walaupun dengan hasil yang kurang memuaskan (menurut saya).

Percikan Pengalaman Pastor Donatus di Pendidikan Seminari Siantar
Bersama Guru Matematika SMCS, Ibu Nelliana Sitanggang

Nelly, Guru Matematika Yang Belum Berpengalaman
Siapakah ibu Nelly Sitanggang? Ibu Nelly Sitanggang adalah guru baru dan sama sama baru di seminari bersama angkatan saya. Sudah menjadi opini umum kalau pelajaran Matematika itu sulit. 

Saat itu menurut pandangan kami, ibu Sitanggang (biasa kami memanggilnya), tidak cocok untuk mengajar kami. Alasanya kami kurang melihat adanya trick trick mengajar yang baik. Di lain pihak, kami masih baru, tentunya nakal dan sedang bertumbuh.

Adalah suatu kebahagiaan tersendiri untuk tidak belajar. Nah, guru baru, perempuan pula, kalo sudah dibuat marah, pasti tidak jadi belajar. Kami sadar saat itu, sebagai guru baru, ibu Sitanggang tidak memiliki pengaruh untuk mengeluarkan kami dari seminari, beda dengan guru guru senior lain (makanya mereka disegani). 

Namun Ibu Sitanggang selalu sabar mengajar, terutama kalau kita bertanya. Hanya saja teman teman lain menggunakan kesempatan bertanya untuk mengulur waktu belajar. Sering kali kami bertanya, walaupun sebenarnya sudah mengerti.

Tidak jarang pula, setiap kami melihat Ibu Sitanggang masuk kantor Br. Gerad, maka berikutnya kami minta dibelikan goreng pisang. Kami akan menolak belajar, kalau belum dibelikan goreng pisang. Ini menjadi seperti sebuah permainan. Minta goring atau perment baru mau belajar. Ibu Sitanggang, kadang mengabulkan dan kadang tidak.

Salam dari Tanah Misi. Semua pengalaman baik dan buruk sungguh berguna bagi kehidupan di masa mendatang.

Kiriman Pastor Donatus Ahmad Santoso "Ateng" Simbolon, SVD - Mantan pemanjat kelapa di Seminari dan kini menjadi misionaris SVD di Botswana, Afrika bagian Selatan. Pastor "Ateng" lahir pada tanggal 21 Agustus 1976 dan ditahbiskan menjadi imam pada 7 September 2006 di Kota  Malang.


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.