iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Negara Kekeluargaan

Negara Kekeluargaan

Partai oposan dirangkul, dijadikan menteri. Tentu dengan syarat: Partai pendukung sudah lebih dulu kebagian jatah di kabinet. 

Anak-anaknya "para pengkritik" dan dipandang "berjasa untuk negeri" juga dijadikan menteri atau wakil menteri. 

Para pemegang saham besar di negeri diakomodasi dan dijadikan jadi "mitra muda" di istana. Kalau orangtuanya gak diberi jabatan, ya berilah jabayan kepada putra/putrinya sendiri.

NKRI adalah satu-satunya negara di dunia yang alergi kritik dan tak suka si tukang nyinyir. Keinginan si pengkritik lantas dibungkam dengan jabatan atau posisi di pemerintahan.

Itu terjadi saat ada gesekan sedikit di internal koalisi. Lihatlah, pelukan Surya Paloh ke Sohibul Iman langsung dibandingkan tuntas dengan pelukan Surya Paloh ke Jokowi, bahkan dan sebutan sayang Surya Paloh ke Megawati.

Ini lantas berarti, di kalangan elit tak akan ada lagi kericuhan politis. Semua kawan dan lawan sudah terakomodasi. Urusan UU, Perpres, Inores, bahkan Permen akan beres di tangan pemerintah. Mereka cukup berbagi waktu jadwal makan bersama.

Perang dan saling rebutan pengaruh justru terjadi di ruang tengah, di level kelompok pro dan kontra pemerintah, yang mencoba mengais rejeki dengan harapan ada kucuran "profit" dari perwakilan mereka di tingkay elit.

*****
Harga-harga kebutuhan yang naik drastis, seperti iuran BPJS, cukai tembakau, listrik, tarif tol, pungutan pajak yang makin ganas di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Biasanya pengumuman akan dituntaskan oleh menkeu, yang diikuti proklamasi kenaikan gaji ASN yang dipandang sebagai representasi kaum menengah.

Bagaimana dengan kaum ekonomi lemah? Harga padi, karet, jeruk, cabe, dan berbagai hasil pertanian tak ada yang menjamin akan mengalami kenaikan. 

Di saat yang sama, dana desa bisa diterima desa fiktif, dan bantuan-bantuan kepada petani boleh dibisniskan para pejabat di daerah.

Maka, satu-satunya pekerjaan yang paling masuk akal di era pemerintahan Jokowi ini adalah menjadi PNS, TNI/Polri, dan tentu saja jadi gubernur, bupati/walikota, dan pasti jadi kepala desa. 

Kalau tak percaya, lihatlah hebohnya masyarakat yang ingin menjadi PNS. Ini dipandang sebagai satu-satunya pekerjaan yang asyik dan mendatangkan profit.

Untuk membungkam kritik kaum agamawan, pemerintah memberi hibah yang cukup besar. Ya, minimal mereka bisa berpesta dan melupakan derita umat beragama yang bekerja sebagai tukang beca, petani, buruh, dll. 

Paling mudah adalah memberi fasilitas kepada para pemimpin agama itu, atau membantu menggaji marbot, guru sekolah minggu, atau para sintua.

Lantas bagaimana bila banyak pengangguran?Pemerintahan Jokowi akan menggaji para penganggur mulai bulan Februari 2020 mendatang. Asyik bukan?

Inilah yang disebut dengan pemerataan, minimal pemerataan keuntungan fiktif dari bisnis negara yang modalnya bersumber dari utang dan pajak rakyat.

Kita selalu berbangga pada apa yang ditampilkan di televisi atau di media sosial yang mememang mempublish berdasarkan bayaran.

Pemerintah lantas berulang-ulang menyeru, "Kita semua satu keluarga dengan 17rb an pulau, 13rb an suku, dan berbagai agama. Negara kita memang tidak kaya," tapi minus kejujuran kalau keuntungan itu mereka bagi-bagi keuntungan itu secara merata.

Soal utang itu hal biasa. Toh di tahun-tahun mendatang akan ada pemutihan, tentu setelah negara ini jatuh miskin dan tak berdaya. 

Para pendukung fanatik pun akan berkata kepada netizen yang suka kritis terhadap pemerintahan Jokowi, "Makanya kerja, supaya kaya (seperti kami).

#HidupNKRI
#NegaraKeluarga
#BekerjaTanpaKritik

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.