iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Aek Sipaulak Hosa, Warisan Silahisabungan

Aek Sipaulak Hosa, Warisan Silahisabungan

Dari silsilah si Raja Batak, Silahisabungan adalah generasi ke lima. Raja Silahisabungan mempunyai delapan bersaudara dari satu ayah Tuan Sorbadibanua dan dua Ibu. 

Dari Anting Malela Boru Pasaribu lahir (1) Raja Sibagotni Pohan yang bermukin di Balige, (2) Raja Sipaittua yagn bermukim di Laguboti, (3) Raja Silahisabungan bermukim di Silalahi, (4) Raja oloan mempunyai kerajaan di Huta Bakkara, dan (5) Siraja Hutalima tidak mempunyai keturunan. 

Kemudian dari Boru Pasopati lahir tiga orang anak, yakni (6) Toga Sumba yang bermukim di Humbang, (7) Toga Sobu bermukim di Silindung dan (8) Toga Pos-pos bermukim di Silindung.

Tiga dari lima anak Tuan Sorba Dibanua dan Anting Malela Boru Pasaribu, yakni Sipaittua, Silahisabungan, dan Raja Oloan sepakat untuk merantau dan keluar Tanah Balige, karena terjadi kesalahpahaman di antara mereka.

Awalnya ketiga anak Tuan Sorbadibanua itu pergi ke Mual Sibuti mengambil air minum sebagai bekal hidup dikemudian hari. Mereka mengisi air kedalam kendi dan mengambil tanah tiga kepal lalu dimasukkan kedalam gampil masing-masing. 

Mereka meninggalkan Balige untuk mencari kehidupan masing-masing. Saat Sipaittua telah menemukan tempat permukiman di Lagu Boti, kedua adiknya Silahisabungan dan Raja Oloan meneruskan perjalanan mereka untuk mencari tempat tinggal.

Setelah mereka mencari-cari tempat permukiman, Raja Oloan dan Silahisabungan lalu menemukan tempat tinggal, yakni Huta Bakkara. Huta Bakkara itu lalu diberikan Silahisabungan kepada adik kesayangannya, Raja Oloan. 

Namun karena merasa lelah, Silahisabungan masih sempat tinggal beberapa waktu bersama adiknya. Setelah Silahisabungan merasa adiknya sudah bisa mandiri, ia lalu berpamitan kepada Si Raja Oloan untuk melanjutkan perjalanannya.

Ditengah perjalanan, Silahisabungan tiba di Harangan Hole, hutan belantara yang belum pernah diinjak manusia. Silahisabungan bertapa selama 30 hari 30 malam, hingga memperoleh kesaktian, dan kelak ia dikenal sebagai Datu Bolon. 

Setelah fase meditasi lewat, Silahisabungan melanjutkan perjalanannya, dan tiba di Silalahi Nabolak. Di sana ia membangun gubuk kecil seagai tempat tinggalnya.

Pada suatu hari, Raja Pakpak yang bernama Raja Parultep bersama rombonganya sedang berburu beberapa jenis burung. Raja Parultep menyumpit seekor burung elang, tapi tidak mati, melainkan terbang ke daerah di mana Silahisabungan bermukim. 

Karena rasa penasaran, Raja Parultep berlari mengejar elang itu. Pada saat itulah ia bertemu secara tak sengaja dengan Silahisabungan. Saat pertamakali melihat keberadaan Silahisabungan, Raja Parultep langsung marah dan berkata, 

“Hei, kau ini siapa? Berani sekali kau tinggal di daerahku ini. Kamu tahu, akulah Raja Pakpak yang berkuasa sampai hingga ke paintai danau Toba ini?"

Silahisabungan yagn sedang menduduki tanah tiga kepal yang ia bawa dari Balige dan air yang ia bawa dari Mual Siguti. Dengan sangat santun dan berwibawa, menjawab: 
“Maaf, Raja Pakpak yang mulia, saya ini tidak bersalah. Justru Ucapan yang mulialah yang mengada-ada. Saya berani sumpah, bahwa tanah yang saya duduki ini adalah tanahku, dan air yang saya minum ini adalah airku.”

Selanjutnya Silahisabungan memperkenalkan diri kepada Raja Parultep dengan tutur kata yang menawan, sembari menyalami Raja parultep dengan hormat. 

“Salam, Paman yang baik. Ibu yang melahirkanku adalah boru Pasaribu,” kata Silahisabungan sembari mempersilahkan Raja Parultep naik ke gubuknya, karena hari sudah mulai gelap. 

Mendengar sambutan Silahisabungan dengan tutur kata yang menawan itu, amarah Raja Parultep langsung sirna. Ia pun merasa harus memperkenalkan dirinya kepada Silahisabungan dan menerima undangan Silahisabungan, 
“Aku adalah Raja Pakpak yang dijuluki Raja Parultep, marga Padang Batanghari sama dengan marga Pasaribu."

Tak lama sesudahnya Silahisabungan menjamu Raja Parultop dengan makanan sederhana. Selesai makan malam, mereka asik bercakap-cakap hingga larut malam. 

Dalam percakapan itu, Raja Parultep tiba-tiba bertanya kepada Silahisabungan, “Dimana istri dan keluargamu?" 

Silahisabungan menjawab jujur, 
“Aku masih perjaka dan belum berumahtangga, paman!”

Mendengar penuturan Silahisabungan, Raja Parultep menawarkan putrinya untuk dinikahi Silahisabungan, 
“Aku memiliki 7 putri, dan semuanya sudah gadis. Kalau kau berkenan menjadi menantuku, mari ikut dengan kami pergi ke Balla. Setelah tiba di sana, silahkan pilih salah satu dari anak gadisku menjadi istrimu. Tap ingat, kamu harus setiap sepanjang hidupmu.”

Silahisabungan menyambut tawaran Raja Parultep dengan senang hati walau sadar diri, 
“Paman yang baik, mana mungkin saya berani pergi ke Balla kalau tidak saya tidak memenuhi adat istiadat Dalihan Natolu? Belum lagi hidupku saat ini hanya sebatangkara. Jadi saya mohon, janganlah alang kepalang, atas belaskasihmu, paman, bawalah ketujuh paribanku itu kemari besok, supaya di sini saya pilih.“ 

Raja Parultep menerima permintaan Silahisabungan. Ia kemudian menetapkan hari dan tanggal perjodohan sekaligus perkawinan. 

Setelah hari yang ditetapkan tiba, Silahisabungan telah siap menyambut rombongan Raja Parultep di tepi sungai yang agak dalam airnya. Silahisabungan lalu berseru, 
"Paman, suruhlah putrimu satu per satu menyeberangi sungai ini, supaya aku dapat memilih salah satu dari mereka menjadi istriku.”

Awalnya, Raja Parultep tidak mengerti mengapa Silahisabungan menyambut mereka ditepi sungai itu. Tapi ia tetap menyuruh puterinya satu per satu menyeberangi sungai itu sembari menjunjung bakul berisi tipa-tipa.

Satu per satu dari gadis itu, mulai dari gadis pertama hingga gadis ke enam lewat. Tapi Silahisabungan tak kunjung memilih. Padahal mereka semua cantik dan rupawan dengan rambut bagaikan mayang terurai. 

Namun, setelah gadis ketujuh melintasi sungai, Silahisabungan langsung melompat dan menyambut putri bungsu Raja Parultep itu sembari berkata: 
“Paman, inilah gadis pilihanku. Ia akan kujadikan sebagai istriku. Mudah-mudahan paman merestui, dan semoga Mulajadi Nabolon memberkati kami hingga dapat menajalani rumah tangga yang bahagia dan mempunyai keturunan yang banyak.”

Raja Parultep lalu mendekati Silahisabungan, 
“Mengapa engkau memilih putri bungsuku ini?”

Dengan spontan Silahisabungan menjawab, 
“Paman, memang kakaknya yang enam itu semuanya cantik rupanya, tetapi mereka tidak merasa malu tadi saat melintasi sungai. Mereka menarik sarungnya hingga melewati lututnya.”

Sebenarnya Silahisabungan, dengan ilmunya yang tinggai tahu bahwa keenam gadis itu adalah manusia jadi-jadian karena mereka dapat berjalan di atas air. Itu sengaja diciptakan Raja Parultep untuk mencobai Silahisabungan. 

Ya, Raja Parultep bermaksud menguji ilmu Silahisabungan. Tapi Raja Parultep justru merasa malu, hingga sejak itu sungai yang diseberangi itu dinamai "Binangsa So Maila".

Tak lamai setelah pemilihan itu, Raja Parultep dan istrinya memberi restu dan berkat kepada putri dan menantu, Silahisabuungan, dan berseru, 

“Kami akan menamai putri kami ini Pinggan Matio Boru Padangbatanghari
anggiat ma tio parnidaan dohot pansarianmu tu jolo ni ari. 
 Asa boru parsonduk bolon ma ho sipanggompar sipanggabe, 
partintin na rumiris parsanggul na lumobi, 
paranak so pola didion, parboru so pola usaon. 
Panggalang panamu, sipatuat na bosur, sipanangkok na male. 

Engkau juga menantu kami yang baik, namamu adalah Silahisabungan,
sabungan ni hata, sabungan ni habisuhon, dohot sabungan ni hadutoan. 
Nunga dipatuduhon ho habisuhon do hot hadatuonmu na mamillit parsinondukmon, 
partapian simenak enak maho perhatian so ra monggal parninggala sibola tali. 
Asa saut ma ho gabe raja bolon jala na tarbarita, pasu-pasuon ni mulajadi Nabolon.”

Tak lama setelah menikah, Pinggan Matio mengandung. Pada usia sembilan bulan kandungannya, ia merasa rindu kepada orang tua dan kampung halamannya. Ia menyampaikan hal itu kepada Silahisabungan dan mengajaknya bersama pulang kampung ke Balla. 

Silahisabungan yang memang sangat sayang kepada isterinya langsung mengabulkan keinginan istrinya. Keesokan harinya mereka pergi menuju Balla. 

Dalam perjalanan, tepat saat mendaki bukit Silalahi, Pingan Matia yang sedang hamil tua itu pun merasa capai dan dahaga. Silahisabungan langsung memutuskan untuk beristirahat sejenak di lereng bukit yang terjal itu.

Aek Sipaulak Hosa, Warisan Silahisabungan

Namun, karena rasa haus yang semakin tak tertahankan, Pinggan Matio bersenandung dengan nada sedih, dengan maksud agar suaminya segera mencarinya air minum. Inilah senandungnya Pinggan Matio, 
“Betapa lelahnya aku membawa bayi yang kukandung ini. Rasa hausku bahkan tak dapat menjangkau air Danau Toba yang tampak dekat tapi kendati tak bisa kujangkau. Mampukah aku berjalan hingga tiba di kampung orang tuaku?”

Mendengar rintihan istrinya, Silahisabungan langsung mengambil Siorlombing (tombak) dari tas kantongan yang selalu ia bawa. Ia berdoa kepada Mulajadi Nabolon, memohon agar istrinya diberikan air pemuas dahaga (paulak hosa), kemudian ia menancapkan tombaknya itu ke dinding batu terjal, dan ajaib, air bersih dan segar pun keluar dari batu itu, dan ia segera membawakan air itu kepada Pinggan Matio.

Tak hanya dahaga Pinggan Matio terpuaskan, tapi juga letihnya terasa hilang sekejap. Setelah rasa haus hilang dan tenaganya kembali pulih, keduanya pun meneruskan perjalanan ke kampung mertuanya di Balla. Itulah sebabnya air itu dinamai “Mual Sipaulak Hosa” atau “Mual Sipaulak Hosa Loja” yang kini masih ada..

Hingga kini, debit air di Aek Sipaulak Hosa Loja tetap stabil, bahkan jika hujan deras atau musim kemarau terjadi. Tidak akan banjir jika hujan, atau kering jika musim kemarau. 

Nah, daripada penasaran, berkunjungkah ke Aek Sipaulak Hosa atau lengkapnya Aek Sipaulak Hosa Loja yang terletak di Silalahi I, Kecamatan Silahisabungn, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Indonesia 22281

Tapi ingat, jika hendak mandi di pancurannya, tetaplah meletakkan sirih (demban) dan jeruk purut (utte pangir), sebab sirih dan jeruk purut itu dipercayai oleh masyarakat Silalahi sebagai jalan untuk meminta.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.