iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

POMPARAN RAJA SINURAT

POMPARAN RAJA SINURAT


Keempat anak Raja Sinurat menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Harangan Parik. Setelah merasa cukup mandiri, keempat anaknya dari perkawinannya dengan pinta uli boru manurung pergi merantau ke tempat berbeda. 
  1. Raja Tano pergi ke Huta Joring (lih. makam Raja Tano bersama kedua anaknya, Raja Tabar dan Raja Gumantar di Harangan Joring). 
  2. Ompu Gumbok Nabolon pergi ke Samosir (Buhit-Pangururan, Hatoguan-Palipi, Ronggurnihuta) 
  3. Raja Pagi pergi ke Lumban Lobu, dan 
  4. Raja Muha ke Mandoge, Tanah Jawa, Simalungun.
*****

1. Raja Tano

Bonapasogit (Tempat Bermukim)
  • Raja Tano berangkat dari Harangan Parik menuju Huta Joring; dan keturunannya menyebar ke Lumban Pea, Simarbane, Lumban Julu, dan beberapa tempat lainnya. 
  • Makam Raja Tano dan kedua anaknya, Op. Tabar dan Ompu Gumantar di Huta Joring menjadi bukti. 
  • Sebagian besar keturunan Op. Sorgo merantau ke Simarbane, pesisi Pantai Sionggang Selatan, Huta Joring dan Lumban Pea. 
  • Sementara beberapa keturunan Ama Juluan menyebar ke Lumban Gorat dan Simarbane. 
Pinompar (Keturunan)
  • Raja Tano menikah dengan Boru Manurung dan me-miliki 2 anak, yaitu Ompu Tabar dan Ompu Gumantar. 
  • Ompu Tabar memiliki 3 anak, yakni Op. Pagar Silaon, Op. Pulau Batu dan Op. Sorgo. 
  • Sementara Op. Gumantar memi-liki 3 anak, yakni A. Gumantar, A. Juluan dan Humombang.

Warisan
  • Keberadaan tambak (makam) Raja Tano dan kedua anaknya (Op. Tabar dan Op. Gumantar) menjadi bukti yang menguatkan fakta bahwa Raja Rano dan kedua anaknya bermukim di Huta Joring. 
  • Dari Huta Joring inilah keturunan Op. Tabar dan keturunan Op. Gumantar menyebar ke Lumban Pea, Lumban Julu, Lumban Gorat, bahkan ke daerah Simalungun, Mandoge, Asahan, dan seterusnya. 
  • Dengan memperhitungkan jarak antara Huta Joring dan Harangan Parik, besar kemungkinan Raja Sinurat dan ketiga anaknya yang lain (Raja Pagi, Ompu Gumbok Nabolon dan Raja Muha) kerap mengunjungi Raja Tano di Huta Joring. 
  • Dengan demikian hubungan antara ayah dan anak, antara Raja Sinurat dan Raja Tano bisa dikatakan berlangsung dekat. Paling tidak Raja Tano pasti pernah mengajak sang ayah dan ibu serta adik-adiknya tinggal beberapa waktu di Huta Joring.
  • Dahulu kala manusia melakukan alatan (tafsir) sebagai petunjuk dalam melakukan suatu pekerjaan dan hal itu diteruskan oleh orangtua kepada anak-anaknya. 
  • Suatu ketika Sinurat melihat sebuah hau hariara (pohon besar) di mana daunnya yang sangat lebat dan ranting-rantingnya condong mengarah ke Timur. 
  • Ia lalu menyuruh anak sulungnya itu berangkat dari Harangan Parik ke arah Timur, tepatnya ke Huta Joring. Selanjutnya di sanalah Raja Tano dan keturunannya bermukim hingga saat ini. 
  • Kepada anak sulungnya ini, Sinurat mewariskan hujur (tombak) dan ogung (kendang) yang di kemudian hari ia wariskan pula kepada keturunannya.

2. Raja Pagi

Bonapasogit (Tempat Bermukim)
  • Ada kisah menarik tentang penetapan huta yang akan dituju Raja Pagi. Untuk memutuskan kemana Raja Pagi akan pergi merantau, Raja Sinurat terlebih dahulu membaca tanda-tanda alam. 
  • Dari tanda-tanda alam inilah Raja Sinurat menyuruh Raja Pagi yang bergelar Tunggul Bauta yang berarti “na pausaga tu jolo tundun tu pudi, na gostong botohon dohot daging na bosik jala na begu/barani” pergi ke Lumban Lobu, Bonan Dolok.
  • Singkat cerita, sesaat setelah tiba di Lumban Lobu, Raja Pagi langsung bergabung dengan raja-raja bius yang ada di tanah Uluan, mulai dari Sihiong hingga ke tepi Sungai Asahan-Danau Toba. 
  • Setelah merasa sudah saling mengenal dengan warga Lumban Lobu, Raja pagi yang saat itu belum menikah dengan Hissa Uluan boru Hutahean memutuskan utnuk tinggal di Lumban Baringin, Lumban Lobu. Seperti kedua saudaranya , Raja Tano dan Ompu Gumbok Nabolon. 
  • Niatnya itu disampaikan kepada ayah dan abangnya, si Raja Tano. Setelah mendapat izin dan restu, Raja Tano pergi ke Lumban Lobu. Di Lumban Lobu ia hidup dan bekerja sebagai petani.
Pinompar (Keturunan)
  • Setelah dirasa cukup mapan, Raja Pagi lalu menemui ibunya untuk meminta izin agar Tulang Manurung menemaninya ke Hutahean, Laguboti. 
  • Ternyatata Raja pagi bermaksud melamar putri Raja Hutahaean yang kemudian menjadi isterinya. 
  • Namanya adalah Hissa Uluan Boru Hutahean. Setelah melangsungkan perkawinan adat Dalihan Natolu di Laguboti, Raja Pagi kembali ke Lumban Lobu, tempat ia mencari nafkah.
  • Dari pernikahannya dengan Hissa Uluan boru Hutahean lahirlah Raja Mangatur, Raja Somba Nailing, Raja Baringin dan Tahombang. 
  • Keturunan Raja Pagi di kemudian hari menyebar ke Lumban Garaga, Janji Matogu Porsea dan Ujung Tanduk Laguboti, Simalungun, Asahan, dst. 
  • Keturuan Raja Mangatur dari Ompu Sondang umumnya menetap di Ujung Tanduk dan Laguboti.
Warisan
  • Salah satu cucu Raja Pagi bernama Ompu Raja Ujung mendapatkan warisan berharga dari leluhurnya berupa piso alasan, tombur lada, bulang nalinutan, gundi (guci), pira ni palti, pinggan pasu, dan tukkot saurmatua sang ayah. Warisan ini diberikan langsung oleh ayahnya, Raja Pagi. 
  • Raja Pagi dimakamkan di Lumban Baringin, dekat Mual Parhombanan (mata air yang sekelilingnya terdapat bunga-bunga sebagai tampat persembahan atau meletakkan sesajen). 
  • Hingga kini Makam makam dan mual Parhombanan ini masih bisa kita temuai di Lumban Baringin. Ada hal menarik tentang Mual Parhombanan ini.
  • Alkisah, Raja-raja Bius Uluan, termasuk Raja Pagi mengadakan pertemuan dalam rangka menetapkan Raja Bius utama. Untuk itu mereka terlebih dahulu memutuskan di mana lokasi pertemuan. Mereka lalu bertemu di Onan Nagodang dan bersepakat bahwa pertemuan penting itu akan diadakan di Onan Kampir (sebagai onan nagodang atau pasar paling besar di Uluan). Onam Kampir sendiri adalah wilayah bius Raja Pagi.
  • Sehari sebelum pertemuan, mereka telah mempersiapkan hewan kurban berupa seekor kerbau sitingko tanduk, parbutuha mangalilit, parpusoran sitomu dalan, parmata mangalu-alu, na manggagat di balian, dung di huta marngalu-ngal
  • Kerbau itu lalu ditambatkan di Onan Kampir. Syahdan, diluar dugaan, malam itu turun hujan yang sangat lebat, hingga mengakibatkan banjir. Onan Kampir nyaris tenggelam, bahkan kerbau yang akan dipersembahkan ikut terseret banjir, hanyut hingga hilang entah ke mana.
  • Demi menghindari laknat dari roh leluhur karena hilangnya kerbau persembahan itu, esok paginya keduabelas Raja Bius mengadakan rapat mendadak. Hasil pertemuan itu menegaskan agar penepatan Raja Bius utama akan dijadwal ulang, tapi dengan satu syarat, yakni kerbau yang akan dipersembahkan harus sama. 
  • Itu artinya, kerbau yang hilang semalam harus ditemukan terlebih dahulu. Keduabelas Raja Bius itu menyepakatan dua hal, yakni, pertama, siapa pun dari 12 raja bius yang menemukan kerbau yang hilang itu, maka otomatis akan menjadi Raja Utama (pemimpin atas 11 raja bius lainnya). Kedua, tempat di mana kerbau ditemukan akan ditetapkan sebagai Onan Nagodang atau pasar utama.
  • Tak lama selesai rapat, Raja Pagi pergi ke Harangan Parik untuk menemui ayahnya, Raja Sinurat. Ia lalu meminta masukan cara paling tepat dan cepat menemukan kerbau persembahan yang hilang. 
  • Ditemani oleh lae-nya (pamannya Raja Pagi), Raja Sinurat mengajak Raja Pagi keluar dan memberinya hoda sihapas pili (kuda putih) sebagai transportasi yang akan memudahkan misinya. 
  • Saat itulah Raja Sinurat berpesan kepada Raja Pagi, “Saat engkau mencari kerbau yang hilang itu, perhatikanlah gerak-terik kuda putih ini. Apabila kuda ini akan tiba-tiba berhenti sambil mengendus dan mengais tanah di sekitarnya, maka di sanalah kerbau itu berada dengan kondisi terkubur oleh lumpur.”
  • Benar saja, saat melewati huta Sirait Uruk, di tepi Danau Toba, kuda putih yang ia tunggangi melakukan persiapan seperti yang dikatakan ayah dan pamannya. Raja Pagi langsung menghentikan kudanya yang masih sedang mengendus dan mengais-ngais tanah di sekitarnya. Tak jauh dari tempat itu seekor kerbau yang sedang berjulang melepaskan diri dari perangkap lumpur. Raja Pagi bersorak gembira, “Eureka!”
  • Peristiwa ini terjadi tengah malam menjelang pagi hari. Ternyata, sejak Raja Pagi menemui ayahnya ke Huta Harangan Parik hingga menemukan kerbau putih itu, kesebelas raja bius lain sudah menyerah dan hamper pustus asa. 
  • Mereka hanya berharap Raja Pagi muncul di pagi hari dan membawa kerbau yang hilang itu. Itu sebabnya mengapa Raja Pagi yang sedang membawa kerbau persembahan itu menuju Onan Nagodang disambut meriah oleh raja-raja bius dan warga di sana.
  • Apa yang mereka harapkan sungguh kini terjadi. Raja Pagi kemudian diarak, mulai Onan Kampir (tempat kerbau hilang itu terakhir ditambatkan) di hulu, hingga Aek Bang dan Aek Mandosi di hilir. Ini berarti rapat pemilihan Raja Bius Utama (Raja Dijolo) tetap dilakukan sesuai jadwal. 
  • Pada pertemuan itulah diambil dua keputusan penting, yakni Raja Pagi dinobatkan menjadi Raja Dijolo (Raja Utama)dan Sirait Uruk ditetapkan sebagai pusat Onan Nagodang sesuai dengan kesepakatan bersama kedua belas bius tersebut.
  • Sebagai tambahan informasi, tak seorang pun yang tinggal di pusat Onan Nagodang hingga saat ini, karena tempat itu hanya diperuntukkan sebagai tempat pertemuan dan rapat duabelas raja bius yang ada. Bersamaan dengan itu, ke-12 bius itu juga bersepakat menentukan batas-batas raja bius di Uluan. Sebelah Timur (Purba) berbatasan dengan Lumban Sibinbin Naga Timbul.
  • Lokasi ini juga membatasi bius-nya Raja Pagi dan bius-nya Tuan Nabolas (Raja Diatas Sitorus), dan sebelah Barat (Pastina) berbatasan dengan bius Sitorus Sibaruang dan bius Manurung Jangga berupa jalan ke arah Ajibata (dulu wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, dan sekarang termasuk wilayah kabupaten Toba). Sebelah Selatan (Dangsina) berbatasan dengan raja bius Parungil-ungil Sitorus Silamosik, dan sebelah Utara (Julu) adalah wilayah kabupaten Simalungun.
  • Sebagaimana dijelaskan oleh Josua Sinurat, keturunan Raja Pagi, Lumban Baringin adalah pemberian Raja Pagi kepada boru dan natua-tua Sirait. Selanjutnya di Onan Sibongbong, Lumban Lobu, keturunan Raja Pagi sebagai raja perpas (raja onan). Di sebelah kanan tugu Si Raja Pagi (sekitar 300 meter dari Lumban Lobu) terdapat jalan dari Porsea menuju Mual Parhombanan. Mual Parhombanan Raja Pagi ini dinamai Partangisan Raja Pagi (makam si Raja Pagi) sendiri terdapat di di Lumban Sihorbo dan hingga kini masih berfungsi dan masih digunakan.

3. Ompu Gumbok Nabolon

Bonapasogit (Tempat Bermukim)
  • Ompu Gumbok Nabolon memiliki kharisma khusus. Ia dikenal juga sebagai sosok penyabar. Konon katanya, Ompu Gumbok Nabolon ini anak kesayangan ayahnya, Raja Sinurat. Itu sebabnya saat ia menyampaikan niatnya untuk pergi ke Samosir, sang ayah merasa sedih. Tapi karena kegigihan hatinya untuk pergi, sang ayah pun mengamini, tapi memberi satu sayarat, yakni meminta abangnya Raja Pagi turut mengantarnya ke Samosir. Disampung itu, kedua kakak beradik ini memang sangat akrab.
  • Raja pagi dan Ompu Gumbok Nabolon pun berangkat dari huta Harangan Parik, berjalan menuju Simarbane lalu menyeberang dengan sampan hingga tiba di Sitamiang, Onan Runggu, Samosir. Itulah awal Ompu Gumbok Nabolon tiba di Samosir. Dan untuk mendukung adiknya, Raja Pagi menyempatkan diri tinggal beberapa hari dengan Ompu Gumbok Nabolon. Tak hanya itu, sebagai kakak beradik yang sangat akrab, setelah Ompu Gumbok Naboloon tinggal di Samosir, Raja Pagi masih sering dating mengunjungi adiknya itu, terutama saat Ompu Gumbok Nabolon butuh bantuan dan dukungan sang abang.
  • Begitu seringnya Raja pagi datang mengunjungi adiknya ke Samosir, hingga orang-orang di sana kerap bingung yang mana Raja Pagi dan yang mana Ompu Gumbok Nabolon. Usut punya usut, ternyata kedua kakak beradik ini memiliki wajah dan perawakan yang sangat mirip. Tak mengherankan ketika warga Samosir sering mengira Ompu Gumbok Nabolon itu bisa berada di dua tempat pada waktu yang sama sekaligus. Mereka bahkan percaya kalau Ompu Gumbok Nabolon itu orang sakti.
Pinompar (Keturunan)
  • Ompu Gumbok Nabolon menikah dengan Boru Sitanggang Bau, putri Raja Bius Sitanggang. Ompu Gumbok Nabolon adalah sosok berani dan berilmu tinggi. Itu sebabnya ia diangkat menjadi Ulu Balang (panglima) dan digelari Ompu Gumbok Nabolon. Setelah tinggal beberapa waktu di wilayah sekitar Buhit, Pangururan-Samosir, Ompu Gumbok Nabolon menikah dengan Boru Sitanggang. Dari perkawinan itu lahirlah empat orang anak laki-laki. Keempat anak laki-lakinya masing-masing diberi nama Batumamak (Si Batuamak), Si Bahul, Si Hambing Bajar dan Si Lonsing.
  • Keempat anak Ompu Gumbok Nabolon kemudian berpencar, menyebar ke wilayah Samosir dan mendirikan huta-nya di tempat hulahula-nya. Menurut Kartius Sinurat, terdapat kurang lebih 15 huta Sinurat yang tersebar di wilayah Samosir. Ada yang jaraknya berdekatan, yakni di Buhit, Pangururan, tapi yang lain jaraknya berjauhan. Sehingga relasi namardongan tubu kurang intim. Sebagian besar dari mereka marhuta di Lumban Sinurat, Lumban Binanga, Pamodilan, Sigil Lombu, Salaon, Tiga Bolon, Sijambur, Urat, Tanjung Bunga, Pangururan, dll.
  • Batumamak menikah dengan Boru Sitanggang dan memiliki 3 anak, yakni Ompu Hariara—menetap di Lumban Sinurat, menikah dengan boru Sitanggang dan memiliki 3 anak, yakni Ompu Bangutna, Ompu Paruju, dan Ompu Pangalumpat.
  • Ompu Partahi Sagala (tinggal di Lumban Binaga, menikah dengan boru Sitanggang dan memiliki 3 anak, yakni Ompu Surimaganjang (Parmodian), Ompu Rama (Lumban Binanga), dan Ompu Podi (Sigil Lombu).
  • Barita Lobi (boru Sitanggang) alias Guru Mangolat (boru Sitanggang) alias Raja Niusul (boru Sinaga) yang memiliki 9 anak, yakni Ompu Bunga Dolok (Salaon), Ompu Barita Hot (Tiga Bolon), Ompu Bungahot (Sijambur), Ompu Sumilan, Ompu Datu Ronggur, Ompu Pioan, Ompu Harangan (Salaon), Ompu Jahoda, dan Ompu Bumbunan (Urat).
  • Anak kedua Ompu Gumbok Nabolon, yakni Sibahul memiliki 3 anak, yakni Ompu Bona Huta (memiliki 1 anak, yakni Ompu Sohalaosan), Ompu Burju (memiliki 1 anak, yakni Ompu Sotuganon) dan Raja Parulop (memiliki 1 anak, yakni Ompu Mora Sosunggulon).
  • Selanjutnya dari anak ketiga Ompu Gumbok Nabolon, yakni Sibajar memiliki tiga anak, yakni Sintong Raja (memiliki 1 anak, yakni Singgang Raja), Olo Raja dan Ompu Mangihut Raja (memiliki 2 anakm yakni Ompu Julam Raja dan Ompu Pareme).Sementara informasi mengenai anak bungsu Ompu Gumbok Nabolon, yakni Silossing belum penulis dapatkan dari keturunannya.
Warisan
  • Ompu Gumbok Nabolon mewariskan satu barang sakti bernama tukkot palehat dan mata air ajaib bernama Aek Sitobu Sira kepada keturunannya. Tukkot Palehat adalah tongkat yang dipercaya memiliki kekuatan untuk bekerja. Sayangnya tukkot palehat ini telah dijual oleh keturunannya kepada Pemerintah Hindia Belanda di jaman Kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membeli tukkot tersebut karena dianggap sangat antik.
  • Aek Sitobu Sira yang diwariskan Ompu Gumbok Nabolon bagi warga “gurun” di desa Pardugul, Samosir. Mata air ini bahkan masih aktif dan banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara yang datang ke Samosir hingga hari ini. Selain sakral, Aek Sitobu Sira yang terdapat di Desa Pardugul, Pangururan, Samosir ini juga memiliki daya pikat, karena kisah unik dan menarik tentang asal-muasalnya. Jelas bahwa Aek Sitobu Sira merupakan mata air parsadaan (persatuan) seluruh marga Sinurat yang ada di Indonesia bahkan di Dunia. Mata air tersebut konon merupakan jawaban atas doa dari Ompu Gumbok Nabolon kepada Ompu Mulajadi Nabolon agar warga desa Pardugul diberi air.
  • Alkisah, di masa itu warga mengalami kesulitan mendapatkan air karena musim kemarau yang berkepanjangan di desa Pardugul Samosir. Akibatnya penduduk setempat mengalami krisis air yang sangat luar biasa. Kekeringan yang terjadi bahkan sudah sampai pada batas yang sangat memprihatinkan. Dampak kekeringan itu tak hanya memengaruhi warga, tapi juga tanaman pertanian (sawah / ladang) dan ternak yang ada di desa tersebut. Ompu Gumbok Nabolon beserta keturunannya sepakat untuk berdoa kepada Ompu Mulajadi Nabolon agar kekeringan tersebut segera berlalu. Hasilnya, Ompu Gumbok Nabolon Sinurat mendapat petunjuk dari Tuhan Maha pencipta melalui suatu penglihatan.
  • Dalam penglihatan tersebut, Ompu Gumbok Nabolon diajari untuk membuat suatu mata air dengan cara menancapkan tongkat saktinya ke tanah, di tempat yang telah di tentukan Ompu Mulajadi Nabolon. Sesaat setelah Ompu Gumbok Nabolon menancapkan dan mencabut tongkat-nya, tiba-tiba saja dari tanah itu langsung memancar air yang begitu deras. Tentu saja keturunan Ompu Gumbok Nabolon begitu bahagia dan bersukacita atas mukjizat itu. Hebatnya, hingga sekrang, air yang keluar dari tanah itu tak pernah berhenti walau terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Tak hanya itu, keajaiban lain juga terjadi pada air tersebut.
  • Ketika warga yang didominasi marga Sinurat mengalami kelangkaan makanan, maka air tersebut menjadi solusi atas kelaparan mereka. Hal ini terjadi karena di masa hidupnya, Ompu Gumbok Nabolon mengetahui betapa sulitnya makanan pada saat itu, sehingga ia menyarankan kepada keturunannya agar disaat lapar (setelah bekerja seharian di ladang) mereka cukup meminum air itu dicampur dengan garam (garam mudah ditemukan pada saat itu). Mukjizat pun kembali terjadi. Rasa asin yang pada garam tiba-tiba berubah menjadi rasa manis seperti tebu. Selain perubahan rasa, warga yang meminum juga seketika itu tidak merasa lapar lagi, bahkan mereka dapat kembali bekerja karena kondisi tubuhnya sudah bugar kembali.
  • Ompu Gumbok Nabolon Sinurat kemudian mena-makan air tersebut “Aek Sitobu Sira” dan mematrinya dengan umpama, "Asim Daini Sira, tonggi daini Tobu, Aek naung tapitta, Nunga dapot dalan ni ngolu." (garam rasanya asin, tebu rasanya manis, yang yang sudah kita minta sudah menjadi jalan kehidupan). Hingga kini, Mata air Sitobu Sira selalu ramai dikunjungi oleh keturunan marga Sinurat bahkan dari seluruh Dunia. Mereka yakin bahwa Aek Sitobu Sira ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit apapun serta memberikan kebaikan bagi pengunjung.

4. Raja Muha
  • Tak beberapa lama setelah Ompu Gumbok Nabolon merantau ke Samosir, si bungsu Raja Muha tetap bersama sang ayah di bertekad untuk merantau. Tekadanya itu kemudian justru diwujudkan oleh anaknya, Raja Manorus. Manorus adalah sosok pemburu handal. Sebagaimana dikisahkan oleh salah satu tokoh Sinurat, Edison Sinarta Sinurat (tinggal di Lampung), pekerjaan Manorus adalah pemburu aili (babi hutan) dan binatang lain. Dari pagi hingga sore, ia biasanya berburu ke harangan (hutan) di Dolok Simanukmanuk dan sekitarnya. Hasil buruannya akan ia dijual di pasar.
  • Pada suatu hari, ia pergi berburu seperti biasanya. Namun kali ini, ia justru berhadapan dengan binatang buruan yang tidak biasa. Seekor babi hutan tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Manorus senang bukan main, tapi di sisi lain ia juga merasa ada yang ganjil. Bagaimana tidak, kalau biasanya ia harus mengitari belantara untuk mencari buruannya, tapi kali ini justru buruannya justru mendatanginya. Sudah begitu, babi hutan yang kini ada di hadapannya juga aneh.
  • Matanya menatap tajam dan tubuhnya memancarkan cahaya yang menyilaukan. Tetapi sebagai pemburu yang handal, Raja Manorus mengesampingkan ketakutannya. Ia langsung melemparkan tombaknya ke arah babi hutan itu dan tepat mengenai sasaran. Tapi keanehan muncul lagi. Biasanya tak seekor binatang buruan pun yang bisa selamat dari tombaknya Manorus. Tapi kali ini, aili atau babi hutan satu ini justru tidak jatuh dan mati. Sebagai pemburu berpengalaman, Manorus penasaran. Ia lalu mendekati babi hutan itu untuk memastikan status buruannya.
  • Betapa terkejutnya Manorus, ketika melihat babi hutan itu masih hidup dan sedang menatap tajam ke arahnya. Masih dengan rasa penasaran yang sama, Manorus memberanikan diri mendekati buruannya itu. Saat itu pulah babi hutan itu lari dan menyelamatkan diri. Manorus tak mau kalah. Ia mengejar babi hutan itu yang ganjil tersebut. Tapi ia kalah cepat. Babi hutan itu ternyata keluar dari Dolok Simanukmanuk menuju wilayah hutan di Simalungun. Dengan rasa ingin tahu, Manorus tetap mengejar babi hutan itu. Hingga ia tahu kalau babi hutan itu akhirnya berhenti di satu tempat, di sebuah wilayah kerajaan marga Sinaga di daerah Mangode, Tanaj Jawa, Simalungun.
  • Di sekitar istana penguasa wilayah itulah babi hutan itu bersembunyi, dan dalam kondisi yang nyaris mati meminta pertolongan sanga raja. Ternyata, Manorus berada tak jauh dari tempat persembunyian itu. Ia kepalang takut saat mengetahui babi hutan buruannya bisa bicara. Singkat kata, Manorus akhirnya tahu kalau babi hutan itu adalah penjelmaan putri sang penguasa wilayah tersebut.
  • Tak jauh dari tempat itu, Manorus bahkan masih menyaksikan babi hutan berbicara dengan raja. Babi hutan buruannya ternyata meminta tolong sang raja agar tombak di tubuhnya dicabut demi keselamatan jiwanya. Hari itu juga raja wilayah itu mengumpulkan para pasukan dan rakyatnya. Kepada mereka raja wilayah marga Sinaga itu memberi pengumuman. Isinya, “Barangsiapa mampu menyelamatkan putrinya dari kematian dengan mencabut tombak yang menembus tubuh sang putri, maka ia akan diangkat raja menjadi anaknya.” Mendengar hal itu, Manorus bingung. Sejak menombak hingga mengejar babi hutan itu, ia hanya memikirkan betapa mahalnya babi hutan hasil buruannya itu. Ia membayangkan betapa among (ayah) dan ompung-nya akan senang menikmati daging babi hutan tersebut.
  • Tetapi, barus saja ia mendengar bahwa babi hutan itu adalah jelmaan dari puterinya sang raja, maka niatnya berubah. Ia tak lagi ingin membawa binatang peliharaannya, tetapi mengambil kembali tongkat yang menancap di tubuh binatang buruannya itu. Untuk itu Manorus pun memberanikan diri bergabung dengan kerumunan massa untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan raja. Sadar sebagai orang asing dan tak satupun warga nagori (desa/kelurahan) itu yang mengenalnya, Manorus tetap memberanikan diri mendaftarkan diri di barisan pemuda yang ikut lomba.
  • Sebelum giliran Manorus, sudah banyak anak muda yang telah mencoba peruntungan mencabut tombak itu. Sayang tak satu pun dari mereka yang berhasil. Tibalah giliran Manorus. Sebelum melakukan aksinya, ia menyeru kepada sang raja, "Baginda sang raja. Saya adalah keturunan Raja Sinurat sian Harangan Parik. Ijinkan saya mengikuti lomba yang baginda selenggarakan.”
  • Suasana menjadi hening. Warga yang hadir fokus kepada sosok Manorus, hingga satu sama lain saling bertanya siapa pria asing itu. Suasan menjadi gemuruh embali saat raja mempersilahkan Manorus melakukan aksinya, menyelamatkan sang putri dengan mencabut tombak dari tubuhnya. Manorus mendekati babi hutan yang masih terpenjara dalam tubuh seekor babi hutan itu. Manorus berdoa sejenak kepada Ompu Mulajadi Nabolon agar diberi kekuatan dan kesaktian. Suasana pun tiba-tiba menjadi sangat tegang. Raja dan rakyatnya waswas. Mereka khawatir apabila Manorus gagal menyelematkan sang putri. Tapi bukan pinompar Raja Parmahan yang sakti namanya kalau ia mundur. Ia justru mencabut tombak yang menancap di tubuh sang puteri secara perlahan. Babi hutan itu pun kembali menjelma menjadi seorang puteri nan jelita yagn sedang tersenyum.
  • Sang raja dan hadirin kembali bertepuk tangan. Kini, mereka larut dalam kegembiraan. Sang Raja yang belaka-ngan diketahua bermarga Sinaga itu pun memanggil Manorus naik ke atas tahtanya. Baginda raja menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Manorus, karena telah menyelamatkan puterinya dari jerat babi hutan dan dari kematian yang tak terhormat. Saat itu juga raja menepati janjinya. Raja mengumumkan kepada khalayak bahwa mulai saat itu Manorus telah diangkat secara resmi sebagai anak raja. Sebagai anak raja bermarga Sinaga, Manorus pun diberi tambahan marga Sinaga dibelakang namanya.
  • Itu sebabnya keturunan Raja Sinurat, tepatnya pinompar dari Raja Muha yang kini bertempat tinggal di Mandoge-Tanah Jawa Simalungun dan sekitarnya, keturunan Raja Muha dari anaknya Manorus memakai marga Sinaga, dan tidak lagi memakai marga Silalahi atau Sinurat seperti pinompar Sinurat lainnya. Hingga kini mereka bahkan sudah maranak-marboru di sana hingga 11 generasi. 
  • Belakangan diketahui bahwa kisah "konversi" marga Sinurat ke Sinaga di atas memang bukan kisah fiktif belaka. Tak sedikit dari keturunan Raja Muha, tepatnya keturunan dari Manorus yang tingga di Mandoge dan sekitar kabupaten Simalungun sana yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan dari anak bungsu Raja Sinrat, yakni cucu dari Raja Muha, ayahnya Manorus. Tentu saja, sangat terbuka kemungkinan keturunan mereka kembali menggunakan marga Sinurat.

Sumber: 
Lusius Sinurat, Sejarah & Tarombo Sinurat. Yogyakarta: Nasmedia, 2022, hal 73-90.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.