iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Demokrasi di Titik Sensasi

Demokrasi di Titik Sensasi

Sepintas saya setuju dengan pernyataan beberapa pakar ilmu komunikasi, bahwa Facebook tidak akan mengalami nasib yang sama dengan Friendster. Kita berharap demikian agar semua data-data yang telah kita pajang sebagai ajang narsis di status Facebook kita kelak tidak sirna seperti jama dulu di Friendster.

Ya, Facebook tidak akan mati oleh karena kita masih menggandrunginya. Saya punya twitter, WA, WeChat, LINE, KakaoTalk, dst., tetapi tidak ada yang seheboh di Facebook. Di media virtual lain mungkin segala hal tampak rigkas, tetapi serentak juga dipaksakan.

Kembali ke konteks demokrasi ala Facebook. Di negara kita, Indonesia, Facebok begitu fenomenal, dan tampaknya lebih 'bunyi' pada saat menjelang PEMILU / PILPRES tahun depan. Tak heran bila Facebook seakan-akan menjadi representasi per-politik-an di negara kita, khususnya oleh sebagian besar kaum muda yang sedang belajar ber-demokrasi. Tentu kita tak boleh mengesampingkan media televisi, atau media elektronik lain, maupun situs-situs besar seperti Kompas.com dan beberapa media elektronik tingkat nasional lainnya.

Namun, fakta ini tak bisa dipungkiri: Facebook sudah menjadi etalase yang memajang isu-isu politik terkini di negara kita, khususnya mengenai laju demokrasi. Seakan-akan begini, di Facebook apa saja bisa diunggah, dibagi dan diunduh! Di twitter atau di tempat lain juga sih bisa, tapi banyak orang merasa kurang sreg karena begitu ringkas sehinggak kita harus mengunjungi link aslinya kemudian.

Terkait dengan dinamika berdemokrasi, tak bisa disangkal bahwa wacana pemilihan presiden tahun depan jauh lebih menarik daripada pemilihan calon legislatif. Itu yang ditampilkan di Facebook! Tema tentang perseteruan dari beberapa calon presiden tak ayal lagi sudah terlanjur menghiasi Facebook., Nyaris semua aktivitas calon presiden direkam dan diputar kembali secepat kilat di Facebook. 

Beberapa Grup atau Halaman Facebook bahkan lebih spesifik meliput tentang partai atau lembaga tertent, juga tentang tokoh atau calon presiden atau tokoh yang potensial menjadi presiden kendati belum mencalonkan diri.

Sebut saja Fesbuker Indonesia yang menitikberatkan situasi hitam-putih sistem pemerintahan kita, Jokowi Presidenku yang lebih mengedepankan tentang peluang Jokowi jadi presiden dengan mengetengahkan keberhasilannya sebagai Gubernur DKI yang baru dijalaninya 1 tahun, Dukung Ahok Gubernur DKI yang membentangkan jejak perjalanan politik seorang Ahok yang juga potensial menjadi pemimpin nasional, Susilo Bambang Yudhoyono yang mengetengahkan curhatan dan gerak-gerik presiden SBY di akhir masa pemerintahannya, dan beberapa Halaman atau Grup tentang PDIP, Golkar, Ical, PKS, PD, dan lain sebagainya.

Di mana kita bisa menemukan silang pendapat, diskusi, hingga gosip seputar partai atau tokoh itu? Semuanya ada Grup atau Halaman atau di Status personal yang ada di Facebook. Tetapi ada satu hal yang menurut saya perlu mendapat perhatian, yakni cara atau kemampuan kita berdemokrasi di ranah virtual. 

Ada satu fenomena menarik, makin ke sini makin banyak orang lebih suka curhat di media sosial daripada berdiskusi tentang demokrasi di ruang-ruang nyata dan faktual. Mengapa bisa terjadi demikian? 

Beberapa pakar teknologi mensinyalir bahwa fenomena ini terjadi karena di dunia virtual orang bisa menuliskan apa saja dan yakin bahwa yang ditulisnya mendapat tanggapan/komentar; bahkan ketika para pemberi komentar atau menandai LIKE tak tahu ekspresi si penulis!

Dalam konteks berdemokrasi di negara kita, tak bisa dipungkiri kalau Facebook telah menjadi 'ruang sidang' yang jauh lebih megah dari istora senayan atau ruang SU MPR yang digunakan para legislatif setiap masa sidang. Hari-hari ini, di Facebook seluruh lapisan masyarakat seakan turut menyusun Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling atas hidup bernegara dalam sidang virtual ciptaan mereka di Facebook.

Tapi sayangnya semuanya itu semu, virtual dan seringkali malah banal. Aneh tapi nyata, banyak pejabat kita malah mengacu pada berita, ocehan, sindiran, survei, dst yang ada di Facebook sebagai track-record pribadi mereka. Melalui Facebook kita akan segara tahu siapa saja yang tidak suka dengan Presiden, Mendagri, Menag, Mendag, Menkokesra, Menakertrans, atau siapa saja yang dianggap lalau menata negara ini; atau yang menyokong Gubernur /Wakil Gubernur DKI. Benar, kita bisa lihat tentang hal ini di status atau di grup yang mereka unggah, dan lagi.... semuanya di Facebook.

Memang, sangat disayangkan ketika segala hal menjadi sangat telanjang di Facebook. Ini bisa terjadi karena tatanan dinamis hidup berdemokrasi di di Facebook hampir selalu lebih mengedepankan sensasi daripada fakta asli. Bisa jadi, setelah Pemilu atau Pilpres 2014 usai, kita lantas baru menyadari bahwa apa yang telah tertuang dan terbentang selama ini di Facebook hanyalah ruang simpul demokrasi bernada sensasi, kalau tak mau dibilang lebih nada halusinasi; karena semua itu tidak asli !


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.