iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Simbol Gondang dan Tortor Dalam Perkawinan Adat Batak Toba


(4) Gondang dan Tortor

Dewasa ini gondang dan tortor [1] dalam ritus perkawinan adat telah terdegradasi maknanya.

Penggunaan gondang dan tortor dalam perkawinan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, sudah jauh lebih banyak berfungsi sebagai hiburan dan ungkapan sukacita belaka.

Dengan demikian gondang dan tortor, terutama gondang bagi orang Batak di tano sileban (perantauan) itu hanyalah alat hiburan belaka, sama seperti alat-alat musik lain.

Tidak ada lagi acara atau upacara mambuat tua ni gondang oleh suhut sebagaimana diuraikan pada bagian ini. Padahal, pada dasarnya gondang adalah alat musik tradisional yang digunakan untuk memanggil roh (nenek moyang) atau yang berhubungan dengan roh-roh itu.

Dengan gondang dan tortor tersebut orang akan lebih mudah berhubungan dengan roh-roh itu dan orang yang bersangkutan kemasukan roh atau kesurupan.

Pada dasarnya tortor sudah berakar dalam keyakinan agama Batak, Parmalim. Itu berarti bahwa tortor tidak dapat dilaksanakan di luar konteks pemujaan kepada Sang Transenden, yang dalam religi Batak disebut Mulajadi Nabolon.

Jadi, tortor bagi orang Batak Toba termasuk ritual sakral atau suci. Biasanya, tortor selalu diiringi dengan gondang (alat musik Batak).

Gondang terdiri dari tujuh bagian. Ketujuh gondang dan tortor yang disebut di bawah ini adalah gondang dan tortor yang sudah disesuaikan dengan iman Kristiani. Di sini Mulajadi Nabolon diterjemahkan menjadi Allah, Jahowa (Tuhan, Khalik Langit dan Bumi).

a) Apa itu gondang dan tortor ?

Orang Batak dikenal di Indonesia akan bakat musiknya, dan kepandaian mereka menyanyi. Hasapi merupakan alat musik Batak yang paling khas dan indah. Alat musik Batak lainnya antara lain: ogung, gordang, sordam (sarunai), arbab.

Tiap daerah di tanah Batak mempunyai perangkat bunyi-bunyian sesuai dengan kebiasaan setempat, dan dimainkan dengan tujuan tertentu.

Gondang bolon biasanya terdiri dari gendang besar (gordang) satu, gendang sedang (taganing) lima, gendang kecil (odap-odap) satu. Gondang hasapi umumnya terdiri dari hasapi dua, sarune kecil satu, seruling (sulim) satu, bumbung kecil (garantung) satu.

Bunyi-bunyian serta tortor (tari-tarian) pada hakekatnya berhubungan dengan upacara kegamaan, seperti pemanggilan roh leluhur, syukur atas panen, dll.. Tak dapat dipungkiri juga bahw gondang dan tortor hampir selalu disertakan dalam upacara perkawinan.


b) Gondang dan tortor mulamula

Ritusnya adalah sbb.:

Juru bicara penari memilih gondang dari barisan penari: “Amang panggual-pargonsi, naginongkon manogot, na jinou botari! Tangihon hamu ma jolo pangidoannami. Namarmula do saluhutna ditompa Debata Jahowa, Ibana do mula ni tano, muila ni tingki, mula ni jolma! Ala ni i bahen damang ma jolo gondang mulamula i!” [2]


Setelah gendang dibunyikan, barisan penari (panortor) langsung mengatur sikap tubuh: mengatupkan kedua tangan dan diangkat di depan dahi layaknya orang menyembah; kemudian panortor perlahan-lahan berputar tiga kali di tempat masing-masing.”

Makna simbolis dari gondang dan tortor mulamula adalah sebagai permulaan atau tanda mula berkat atau rahmat (mula gabe) dan damai sejahtera (mula horas). Makna lain dari gondang dan tortor mulamula ini adalah sebagai: tanda mula puji kepada Allah Bapa, khalik langit dan bumi; tanda mula puji kepada bapa-bapa yang hadir (amanta raja); dan tanda mula puji kepada ibu-ibu yang hadir (inanta soripada).

c) Gondang dan tortor sombasomba

Ritusnya adalah sbb.: Juru bicara penari memilih gondang dari barisan penari: “Amang panggual-pargonsi ! nunga dibahen hamu nagkin gondang mulamula i. Asa nuaeng pe bahen damang ma muse gondang somba-somba i asa husomba hami Debata Jahowa, naung tumongos anakNa laho paluahon, manobus dohot paimbaruhon hita na humaliang humalolo>, na liat naloloon, ro di sude jolma tahe. Bahen damang ma!”

Setelah gendang dibunyikan, barisan penari (panortor) berada ditempat masing-masing (sama seperti ketika gondang mula-mula berlangsung) sambil menari menyembah Allah.”

d) Gondang dan tortor lainnya

Gondang dan tortor lainnya mencakup:
  1. Gondang dan tortor sahala: gondang dan tortor semangat-kekuatan yang meminta berkat Allah supaya diberikan semangat dan kekuatan kepada para pemimpin dan pemerintah. Barisan penari juga masih tetap berada di tempat
  2. Gondang dan tortor liatliat: gondang dan tortor untuk meminta kepada segenap manusia agar mereka dapat bersaksi, mengajar, dan membaharui dunia dalam Yesus Kristus Juruselamat. Pada Tortor ini barisan penari beranjak berkeliling tiga kali sepanjang gelanggang tempat mereka menari;
  3. Gondang dan tortor mangido pasupasu: gondang dan tortor untuk meminta berkat bagi kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, curah hujan dan sinar matahari, kesuburan tanam-tanaman dan ternak;
  4. Gondang dan tortor sitiotio: gondang dan tortor permintaan kepada Allah kiranya bagi keluarga yang mengadakan upacara (hasuhuton) semakin lebih merasakan masa depan yang baik; serta
  5. Gondang dan tortor hasahatan (penutup): gondang dan tortor permintaan dan harapan agar kiranya segala doa, puji dan syukur dapat sampai ke hadirat Allah dan diterima olehNya; juga agar kiranya segala harapan bagi mereka yang mengadakan upacara tersebut dikabulkan. 



(5) Warna Pokok

Menurut Dalihan Na Tolu, warna pokok dalam kebudayaan Batak Toba adalah merah, hitam dan putih. Dalam konteks perkawinan adat pun ketiga warna pokok ini hadir dengan masing-masing makna simboliknya [4]
  1. merah (warna dongan tubu): keadilan dan kebijaksanaan;
  2. hitam (warna hulahula): kemakmuran dan pemeliharaan; dan
  3. putih (warna boru): pekerja yang baik dan jujur.



(6) Simbol Verbal-Gestural

Simbol verbal-gestural adalah kata-kata, suara dan gerak. [5] Keseluruhan kata dan tindakan ini memiliki makna sebagai unsur kesaksian yang mengetuk, menggugah hati orang lain agar percaya dan meyakini suatu kebenaran yang diwariskan oleh leluhur orang Batak.

Simbol verbal-gestural ini juga bermakan sebagai simbol penyerahan diri, dengan mengesampingkan pikiran dan semua panca indera kita. Hata (perkataan, kata-kata, unkapan) yang dimaksud adalah hata na marsahala, yakni kata yang berwibawa karena mengandung daya kreatif Allah.

Padanannya menjadi hata hahuasi yang bertujuan dan berakibat kasih, berkah syaloom Allah. Ini terkait dengan hata pasupasu, kata berkah, mendatangkan berkat bagi khalayak, terutama bagi kedua mempelai. [6]


[1] AA. Sitompul, op. cit., hlm. 268-271. Bdk; Sejak dulu, gereja (yang diwakili oleh gereja Huria Kristen Batak Protestan, HKBP) memang memperlakukan larangan keras terhadap penggunaan gondang dan tortor, sehingga sampai sekarang banyak gereja belum membuka diri untuk menerima penggunaan gondang dan tortor di dalam ruangan gereja, walaupun dalam rangkaian pesta yang bukan kebaktian (liturgi). Sebaliknya, kebanyakan orang Batak Toba lebih senang menggunakan alat musik tiup (group musik tiup, group band) yang dijuluki “Gondang Jerman” untuk memeriahkan upacara perkawinan. Syahdan, group musik ini ternyata diperlakukan sama dengan gondang dan tortor! Demikian juga ungkapan-ungkapan yang dilontarkan pada saat meminta gondang (maminta gondang) yang bernuansa magis atau mistis sudah tidak terdengar lagi. Sekalipun masih ada, tetapi orang mendengarnya hanya sebatas kenikmatan mendengar ungkapan-ungkapan puitis yang indah saja, dan tidak lagi berpengaruh. (John B. Pasaribu, op. cit., hlm. 72-73).

[2] “Wahai bapa-bapa pemusik: yang kami undang di pagi hari dan kami panggil di sore hari. Dengarlah permintaan kami ini. Segala sesuatu ada dan bermula dari ciptaan Debata Jahowa. Dialah awal mula dari bumi, waktu, dan manusia! Oleh sebab itu. kami mohon, bunyikanlah gendang permulaan itu !” (AA. Sitompul, op. cit., hlm 269).

[3] “Wahai bapa-bapa pemusik ! Tadi telah Bapa-bapa mainkan gendang permulaan. Sekarang mainkan juga gendang sembah supaya kami menyembah Tuhan Allah yang telah mengutus PuteraNya untuk menyelamatkan, menebus dan membaharui kita, yang berkumpul disekitar altar ini, dan seluruh manusia. Silahkan bapak mainkan! (Ibid., hlm. 270).

[4] Ibid., hlm. 183.

[5] Ibid., hlm. 179.

6] Anicetus B. Sinaga (2004), op. cit., hlm. 428.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.