iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Menciptakan Kerukunan dan Keharmonisan Sosial

Menciptakan Kerukunan dan Keharmonisan Sosial
Sebagaimana telah disinggung pada tulisan sebelumnya, usaha menciptakan kerukunan dan keharmonisan Sosial mencakup dua wilayah penting, yakni di tataran konsep dan tataran praksis,


1. Tataran Konsep

Memposisikan Indonesia saat ini, kita menyaksikan bahwa pluralisme agama masih menjadi persoalan yang seringkali memunculkan konflik dan pertikaian. Oleh karena itu, di tataran konsep, refleksi baru dalam perspektif pluralisme tentang agama, budaya dan masyarakat sangat dibutuhkan. 

Peran tokoh pemuda, dalam hal ini, harus diberi peran besar untuk mengusahakan kerukunan dan keharmonisan sosial tersebut. Refleksi baru ini setidaknya dapat mewujud dalam tiga bentuk pemahaman tentang pluralisme, yaitu: 

Pertama, membangun sikap personal terhadap pluralitas itu sendiri. 
Persoalan-persoalan yang sering muncul di sini adalah hubungan kita dengan agama dan budaya lain. Sikap yang mesti dipertimbangkan adalah (1) mencari cara yang tepat untuk mendamaikan klaim-klaim kebenaran kita dengan klaim-klaim kebenaran orang lain. (2) kesadaran tentang pluralitas agama sebagai isyarat bahwa masing-masing agama secara nyata memiliki karakter yang tidak dapat direduksi dan tidak bisa dijadikan bahan perbandingan. 

Kedua, kepedulian terhadap ko-eksistensi dari agama-agama yang berbeda. 
Kepedulian ini menuntut perhatian yang meningkat dalam menyikapi komunikasi antar agama (dialogis). 

Persoalan yang harus didiskusikan adalah:

  1. tujuan, prasyarat dan modalitas-modalitas yang dipergunakan untuk melakukan komunikasi antarumat beragama; 
  2. harapan-harapan dari terjadinya komunikasi antar-umat beragama; dan 
  3. konsekuensi-konsekuensi dari komunikasi ini terhadap pemaknaan dan pemahaman agama masing-masing.

Oleh karena itu munculnya berbagai meta-persoalan dalam pluralitas agama harus menjadi pokok perhatian kita bersama untuk menjawab persoalan karakteristik dan batas-batas dari dua konsep elementer yang berlaku dalam refleksi tentang keberagaman agama.

Ketiga, Implementasi konsep di tataran praksis dalam hubungan antar-agama.
Implementasi berbagai konsep tentang dialog antar-umat beragama ini hendaknya menjadi perhatian kita bersama. 

Di titik ini dibutuhkan:
  1. Penggunaan bahasa dan wacana bersama untuk mewujudkan pertemuan antar-agama yang harmonis dan jauh dari sikap curiga. 
  2. Upaya pembaruan dan pengkajian ulang atas pemahaman agama masing-masing yang selama ini terbatas pada batas-batas sempit pengetahuan dan alam kesadaran kita. 
Dalam pencapaian langkah-langkah tersebut, diperlukan juga refleksi ulang tentang keberadaan umat beragama lain, partisipasi gender, dan dialog antaragama yang tidak hanya dibatasi oleh lembaga keagamaan yang cenderung formalistis dan sempit pemahamannya [Sindhunata SJ, Dilema Globalisasi, dalam Jurnal Basis No. 01-02 Tahun ke-52, Jan-Feb 2003.


2. Tataran Praksis

Peran tokoh pemuda dalam memperjuangkan kerukunan dan keharmonisan sosial di tataran praksis sebetulnya telah diwujudkan sejak berdirinya negara tercinta ini. Para tokoh pemuda, dengan latar belakang yang beragam, kala itu telah bertekad menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya bahasa, tumpah darah, dan rujukan kebangsaan mereka. Sebut saja Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, dan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Hingga kini para pemuda bahkan tetap bersatu-padu berjuang melawan ketidakadilan sosial, pemerkosaan HAM, dan lain sebagainya. Bahkan, perjuangan tokoh pemuda melawan korupsi pun merepresentasikan fenomena yang nyaris serupa.

Kini pun para tokoh pemuda diajak untuk menyikapi dan mengapresiasi secara jujur dan penuh kearifan belajar dari mereka, khususnya ketika mereka yang datang dari berbagai latar belakang agama yang berbeda telah berhasil melakukan pemaknaan nilai dan ajaran agama ke dalam realitas konkret ke-Indonesiaan.

Sejarah mencatat betapa kaum muda kita di masa itu mampu mentransformasi kemajemukan ke dalam kerangka kerja sama untuk melabuhkan cita-cita mereka yang damai, yakni merengkuh kemerdekaan untuk penciptaan, dan mengembangkan kehidupan damai sejahtera yang benar-benar langgeng di bumi pertiwi dan dunia global secara umum.

Demikianlah para tokoh pemuda dalam sejarah perjuangan bangsa ini memandang dan menghayati keberagaman sebagai landasan bagi persatuan sekaligus mengutuk perpecahan dan segala bentuk aksi yang mengarah kepada disintegrasi bangsa.

Mereka beranggapan bahwa keberagaman merupakan sarana yang memperkaya kerukunan dan harmonitas sosial di negara kita. Tak hanya itu, mereka juga menyadari bahwa kepentingan bersama sebagai bangsa harus diletakkan di atas kepentingan bangsa dan negara. Upaya ini bahkan tak bisa ditawar lagi.

Dalam konteks historis bangsa Indonesia di atas, keberagamaan substansial-pluralis dari umat beragama terlihat jelas dan transparan. Di tataran praksis, para tokoh pemuda diharapkan mampu menjadikan nilai agama sebagai nilai universal-transformatif yang dikontekstualisasikan ke dalam realitas sosial yang rukun-guyub dan harmoni. Ini berarti kita tak boleh lagi ogah belajar dari sejarah perjalanan panjang kerukunan beragama dari para pendahulu kita.

Kita juga seharusnya tidak melampiaskan ketidakpuasan di tataran sosial dengan menggunakan kekerasan. Akhirnya, kita, sebagai kaum muda bangsa ini seharusnya tak menjadikan agama sebagai alat pembenaran (justifikasi) untuk menyerang pihak lain. >> Selengkapnya!


Lusius Sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.