iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Susah Amat sih Bersahabat

Susah Amat sih Bersahabat

Bulan-bulan terakhir media-media nasional rame berbicara tentang Indonesia yang semakin betah menjadi etalase perpecahan agama. Di saat bibit dan perang agama sudah berlalu 1000 tahun yang lalu di Timur Jauh sana, eh kini, makin hari, di Indoensia para elite politik kita malah asyik masyuk dengan menebar pertikaian demi memuluskan perjalanan politiknya.

Dan, ATAS NAMA AGAMA!!! Akarnya cuma dua, dan enggak ada yang lain : UANG dan KUASA !!!

Dengan sejumlah uang yang didapat dari sponsor - entah dari mana sumbernnya (sori saya tak bicara data, tapi hanya menggunakan logika : dari mana uang ormas tertentu di saat mayoraitas anggotanya juga mengalami kesulitan ekonomi?) mereka serentak memupuk hasrat akan jabatan.

Sayangnya hasrat itu mulai mereka politisir sesuai pesan sponsor. Yang paling mudah adalah dengan sistem prosentase a la marketing : loe dapat A, gue dapat B,C,D, dst ! Sungguh sangat matematis. Cara inilah yang digembar-gemborkan di negeri yang maharamah dengan basa-basi ini: "Kalau penduduknya mayoritasnya agama X, maka bupatinya harus beragama X, kalau 50:50, maka bupati dan sekdanya berbagi si X dan si Y!"

Hal ini berarti di negara yang banyak melahirkan orang yang benaran hebat ini tak akan pernah berlaku "KUALITAS" manusia. Intelektual dan moralitas, oleh karenanya, harus cepat-cepat disingkirkan. Maka, tak jadi soal siapa yang cerdas dan layak menjadi pemimpin secara moral. Semua harus dihitung berdasarkan kuota. Ya harus representatif !

Kalau ditanya, para dedengkot pejabat yang maaf - pekok (jawa: goblok), akan menjawab seperti kambing yang mengembik : di Amerika juga gitu, di Arab Saudi juga gitu, di negara A,B,C juga gitu..bla..bla...bla. Atau, atau seperti logikanya Ketua FPI, "Kalau FPI dibubarkan, maka Parpol dan negara ini juga harus dibubarkan!"

Inilah yang disebut quasi intellectum alias sok pinter, tapi kenyataannya otaknya lieur (Sunda : gak jelas, membingungkan, cf.). Bagaimana tidak membingungkan, menyamakan ormas dengan negara; menyamakan dirinya sebagai presiden, dan menyamakan bahwa ormasnya adalah para pejuang kemerdekaan ini, padahal baru nongol kemarin sore. Tragis tralala, dan amat sangat najis !

Lantas, apa yang sesungguhnya yang terjadi dengan kita di Indonesia? Tak ada yang tahu, kecuali adanya intrik-intrik politik yang ditebar oleh orang yang menokohkan dirinya sebagai calon penyelamat bangsa'.

i>Negara kita dalam bahaya dan perlu diselamatkan..dan penyelamatnya adalah saya! Hanya saya yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari keruwetannya yang sangat parah.

Ada banyak alasan mengapa Anda harus memilih saya:
  • Saya jauh lebih dikenal dibanding yang lain, selain kaya, saya juga tidak pernah korupsi minimal hingga sekarang,
  • Saya mewakili agama X yang mayoritas di negara kita yang selama ini ditindas oleh presiden (dari agama mayoritas juga) tapi antek-antek negar lain,
  • Saya anti negara tertentu yang telah menghancurkan agama kita,
  • Dasar Negara, Pancasila itu harus diubah dan hanya saya yang bisa mengubahnya - Asal tahu saja Pancasila itu buatan negara tertentu,
  • Saya sangat agamis dan pasti sangat pro-Yang Mahakuasa; dan terakhir,
  • Saya sendiri sudah bingung mau mau ngomong apa lagi...

Tentang siapa orang ini sesungguhnya kita pun tak tahu secara pasti. Yang kita tahu - dan kalau sempat membaca dan menonton televisi - dia itu ngomong kayak gitu di berita pagi salah satu statsiun TV, koran-koran, di fesbuk, twitter, dan situs-situs yang tak jelas milik siapa.

Tetapi sayangnya, rakyat yang punya kekuatan gosip sembari DDR (Daya Dong rendah, Jawa) sebagai pemersatu ini sangat rapuh dalam menerima / menyaring informasi yang diperoleh. Lihatlah betapa para pengikut si tokoh tadi tiba-tiba banyak dan semakin banyak. Mereka pun serentak berseru sambil demonstrasi,

"Mari kita dukung si anu, karena dia satu-satunya orang yang layak memimpin negeri ini!" Usai berletih-lesu demonstrasi, mereka pun disangoni Rp 20.000 hingga Rp 100.00 per kepala. Beres toh? Masalah memilih atau tidaknya si tokoh pekok tadi, akhirnya tidak jadi soal. Yang penting dia sudah populer.

Apa ? Ngomongin Indonesia? Kagak ada gunanye !

Banyak orang lantas apatis, termasuk saya... dan merasa negara ini menjadi pertikaian elite yang cara kerja dan cara pikirnya sangat najis. Apa yang dikatakannya di di depan kamera dan disiarkan di seluruh penjuru negeri yang tak semua terjangkau televisi ini, serentak akan berbalik bila berbicara di kelompoknya sendiri.

Kalau ditanya tentang hal itu, para pekok'ers ini akan menjawab seperti Soimah berteriak "Masalah buat loe?" atau ala Ajis Gagap sekalian. "E..ee..emang.. gue..pi..pi...ki...rin..."!

Sori banget, tapi itulah negara kita saat ini. Tidak tanggung-tanggung yang mereka lakukan, mulai dari debat terbuka demi membenarkan diri dan agamanya, mempublikasikan kebenaran agamanya (versinya sendiri tentunya) sembari membeberkan kesesatan agama lain (tentu dengan versi yang ngomong juga), mengajak perang dan memerangi (agama) yang lain atas nama kemaksiatan, bahkan dengan sengaja memproklamirkan genderang perang.

Juga, aneh bagi kita yang masih sama-sama Indonesia, ketika mengaitkan negara lain sebagai acuan untuk memerangi sesama Indonesia yang kebetulan berbeda keyakinan. Sangat tidak masuk akal ! Sungguh tidak masuk akal sehat kita. Sekali lagi, kata orang jawa, PEKOK banget!

Toleransi sesama Domba vs Toleransi sesama Indonesia

Kisah-kisah nyata seputar toleransi yang terjadi di berbagai pelosok negeri malah dinodai oleh mereka yang datang dari luar dan membawa idealisme semunya. Di satu sisi para tokoh mengatakan, nilai toleransi di daerah A,B,C,D kurang mendalam.

Tetapi, faktanya, uang lah yang dijadikan sebagai pemicu kekerasan. Kemiskinan dijadikan alat untuk memerangi sesama Indonesia yang mereka anggap berbeda agama dan kebetulan lebih makmur hidupnya. Mereka yang kesulitan ekonomi direkrut dan dimodali dengan syarat mau menghancurkan sesama Indonesia yang lain.

Tak ada alasan yang masuk akal. Semua di luar akal sehat manusiawi kita. Jangankan orang politik, tokoh agama pun bisa dibombardir dan diadu domba. Tapi sori, sepertinya manusia bukan domba; tetapi pada saat ini, domba Indonesia jauh lebih baik dari manusia Indonesia. Domba tak mau berantem kalau tidak diadu. Tapi kita orang Indonesia tiba-tiba terbakar amarahnya tanpa sebab yang jelas.

Bila Agama adalah Cinta, Setiap orang beragama harusnya mempromosikan yang lain

Pertanyaan sekaligus pernyataannya adalah "Apakah Anda masih Indonesia?" Kalau Anda Indonesia yang menuduh sesama Indonesia sebagai bangsa yang sesat, maka Anda juga adalah orang sesat.

Kalau Anda mengatakan negara ini dibawa kendali negara asing, maka hampir bisa dipastikan, kekuatan Anda pun datang dari negara asing (karena kita sama-sama tahu kalau orang Indonesia tidak berpikir sepekok Anda).

Juga di saat Anda mengatakan negara ini telah dijalankan oleh orang salah, maka Anda juga ikut bersalah karena Anda juga melakukan kesalahan yang sama : mengingkari kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan kita. Sori Anda bukan pahlawan yang sesungguhnya, karena dimensi kepahlawanan Anda perjuangkan bukan untuk negar ini, tetapi untuk kepentingan sponsor Anda.

Kalau Anda, para perusuh dan pengacau Indonesia, masih orang Indonesia... jangan sesatkan mereka yang tak berpendidikan, juga jangan hanya menawarkan makanan sekali makan untuk mereka yang lapar; dan ini paling penting: "Jangan membenarkan diri dan mengatasnamakan kebenaran agama yang Anda anut demi menuduh yang lain itu sesat dan tak tawakal pun tak tahu diri."

Apa susahnya sih bersahabat ?

Jika Anda masih Indonesia, mari kita berkawan dan bersahabat. Mari kita terbuka dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan. Apabila berat bagi Anda untuk bersahabat dengan orang India yang Hindu, Amerika yang Kristen, Afganistan yang Islam, dst..... minimal Anda bisa bersahabat dengan orang Indonesia yang sesama Jawa, Batak, Sunda, Padang, Makassar, dan lain sebagainya.

Silahkan kembalikan nilai-nilai sakralitas kultural kita ketika ungkapan seperti "Allahhu Akbar" (Islam), "Amitaba" (Budha), "Alleluia (Kristiani), "Om Shanti-shanti" (Hindu), atau "Hongcu-hongcu" (Konghucu) tak lagi mampu mengungkapkan jatidiri keindonesiaan kita. Gunakan sapaan Sugeng, Wilujeung, Horas, Mejuah-juah, atau sapaan khas daerah kita sebagai pemersatu bila memang sapaan agama tadi malah merusak persaudaraan.

Kita harus menjadi saudara dan menjadi sahabat satu-sama lain. Dan untuk itu, jangan terlalu banyak bicara KONTEKS bila Anda sendiri tak memahami TEKS; jangan bicara soal KEBENARAN kalau Anda sendiri tak mengerti ISI KITAB KEBENARAN yang Anda yakini sendiri.

Percayalah, antara PIKIRAN dan HATI harus sinkron dan sejalan. Tak ada agama yang berbenderakan perang, apalagi agama yang diutus Allah memerangi agama lain yang juga meyakini dirinya berasal dari Allah yang sama.

Maka, satu-satunya cara untuk menjadi orang Indonesia adalah dengan KEMBALI menjadi saudara, sebagaimana kita memang dilahirkan sebagai saudara. Mari lupakan para sponsor yang punya misi mengacaukan persaudaraan kita. Kembalilah seperti semula..kembalilah menjadi Indonesia yang diperjuangkan oleh para pahlawan kita dulu.

Kembalilah Beragama !

Akhirnya, mari kita kembalikan agama sebagaimana ia lahir sebagai solusi atas kekacauan, bukan malah menghilangkan agama demi memelihara kekacauan. Ini sangat penting bagi para pendidik, terutama para guru-guru agama:


"Jangan fokus pada kebenaran dogmatis agama yang Anda ajarkan (Pelajaran PENDIDIKAN AGAMA), melainkan ajarkanlah juga tentang nilai-nilai kebenaran nilai-nilai universal setiap agama yang ada (PENDIDIKAN RELIGIOSITAS).

Prinsip yang dipakai semestinya adalah "Cintailah Tuhan-mu sesuai agamamu!" bukan "Cintailah agamamu sesuai agama Tuhanmu!" Mengapa? Karena Tuhan tak beragama ! Kita yang butuh agama. Untuk apa? Supaya hidup kita tidak kacau balau kayak yang terjadi di negara kita sekarang.

Semarang, 07062012


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.