iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Terbentuknya Kitab Suci

Terbentuknya Kitab Suci(1) Dari Tradisi lisan Menuju Tradisi tulis

Dari penelitian para pakar Alkitab kita dapat melihat adanya perjalanan yang panjang dari proses pembentukan Alkitab. Pada awalnya jemaat beriman belum mengenal adanya tradisi tulisan mengenai norma-norma keagamaan. Mereka hanya mengenal tradisi oral. Tradisi inilah yang turut membentuk kehidupan jemaat. 

Salah satu ciri penting dari proses penyampaian ini adalah interpretasi dan penerapan yang terus menerus dari jemaat atas tradisi-tradisi tua (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:5).

Perkembangan atas tradisi bukan dalam artian yang statis, tapi berkembang sejalan dengan aktualisasi tradisi yang lama dalam konteks baru. Ini sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam bidang politik, sosial, atau keagamaan. 

Interaksi tradisi dengan situasi baru menuntut jemaat untuk mengungkapkan iman secara baru. Dalam proses inilah tradisi mengalami perubahan bentuk yang terus menerus seturut waktu yang lain dan tempat yang lain. 

Proses mungkin akan terus berlanjut sampai waktu kini, seandainya beberapa peristiwa penting tidak memaksa jemaat untuk menekankan pernyataan-pernyataan tertentu melebihi yang lain dan untuk mengenakan autoritas pada pernyataan-pernyataan itu (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:5).

Perkembangan tradisi ini memperlihatkan kepada kita bahwa proses pembentukan Alkitab melewati sejarah yang panjang dan berbelit-belit, sampai pada akhirnya terjadi apa yang disebut proses kanonik.

(2) Kanonisasi Alkitab

Proses pembentukan tradisi dan perkembanganya yang panjang menghasilkan versi yang normatif dari tradisi yang, sebagai kesaksian yang diakui dari pewahyuan ilahi, memungkinkan kaum beriman untuk mengatur hidupnya dan mendasarkan pengharapannya. 

Demikianlah pengkanonan Alkitab terbentuk. Kanon berarti gelagah, kemudian mempunyai arti sesuatu yang dianggap sebagai norma, tongkat pengukur (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:8).

Bentuk kanonik terakhir dari tradisi alkitabiah memberi kesaksian akan kehadiran dan pewahyuan Allah dalam pengalaman masa lalu umat. 

Bentuk ini menjadi peraturan atau ukuran untuk menentukan pewahyuan dalam jemaat yang percaya di masa kini maupun di masa mendatang. Kanon juga merupakan sarana untuk mempersatukan di dalam iman. 

Karena lahir dalam jemaat, bentuk-bentuk ini juga merupakan alat kelahiran kembali jemaat itu dari satu generasi ke genarasi berikut (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:8). Untuk dapat menentukan tradisi-tardisi mana saja yang dapat dikatakan diinpirasikan maka perlu melewati dua kriteria umum yang biasanya dipakai dalam pengkanonan Alkitab. 

Pertama jika Alkitab memberi kesaksian mengenai pewahyuan ilahi, maka tradisi kenabian, penerimaan pewahyuan secara khusus mempunyai peranan penting. Hanya kitab-kitab yang diyakini berasal dari masa sebelum penentuan kenabian dianggap secara unik diinspirasikan. 

Kedua, adalah penggunaan dalam liturgi. Kitab-kitab yang mendapat tempat karena fungsi liturgis dan kultisnya juga mendapat status kanonik (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:8).

(3) Kanonisasi Kitab Suci dalam Gereja

Dalam Kekristenan kanonisai Alkitab mengikuti alur kanonisasi Yahudi. Hanya saja orang-orang Kristen menggunakan kitab-kitab Yahudi sebagai sarana untuk dikaitkan dengan peristiwa historis Yesus. 

Dalam hal ini mereka lebih condong pada penggunaan versi Yunani. Banyak jemaat yang menjadi asal Alkitab Kristen mengutip dari versi Yunani, karena hampir sebagian besar orang Kristen abad pertama adalah tobatan kafir berbahasa Yunani (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:9).

Pada abad IV, Gereja Barat menerima keputusan konsili Afrika Utara dan menerima Alkitab versi Yunani. Sedangkan Gereja Timur menerima daftar orang-orang Yahudi. 

Baru pada Konsili Trente diputuskan kanon Alkitab yang dipakai Gereja-gereja yang bersatu dengan Roma, yaitu kanon Yunani yang lebih luas dan merupakan tradisi autentik dari Gereja Perdana dan konsisten dengan penggunaan oleh jemaat kitab-kitab tertentu yang ditolak oleh jemaat Yahudi (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:9).

Ini penggunaan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Tulisan-tulisan Kristen dalam proses kanonisasi sedikit lebih mudah. Pelacakan tradisi dimulai dalam tulisan para “pengajar apostolik” dari abad-abad pertama Kekristenan. 

Autoritasnya bukan terletak pada kenyataan pada kenyataan bahwa mereka adalah tradisi dari orang-orang Kristen Perdana, melainkan pada kenyataan bahwa mereka menyimpan ‘tradisi Yesus’ yang otentik. 

Meskipun tradisi lisan/oral lebih disukai namun kebutuhan akan tulisan-tulisan menjadi sangat mendesak. Hal ini disebabkan oleh perkembangan jemaat Kristen yang jauh baik dari Yerusalem maupun dari komunitas yang lain, komunikasi tertulis menjadi sangat penting. 

Dalam tradisi Gereja ada beberapa faktor yang dipakai sebagai syarat untuk kanonisasi.
  1. asal-usul rasuli. Suatu karya harus dihubungkan dengan rasul atau seseorang dari zaman para rasul. 
  2. ada dimensi Katolik atau universal dalam pesannya. Tuntutan ini tidak mengingkari bahwa beberapa tulisan aslinya ditujukan untuk komunitas tertentu, tapi ini menuntut bahwa pesannya berbicara kepada semua. 
  3. ajarannya harus sesuai dengan aturan dasar dari iman dan tidak menggemukakan pesan esoteris (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:12). 
Sekarang Gereja mempunyai dua kanon yang dianggap diinspirasikan oleh Tuhan dan memberi kesaksian tentang kehadiran dan pewahyuan Tuhan dalam pengalaman masa lalu umat. Kemudian, Gereja menganggap kedua kanon ini sebagai norma atau standar untuk menentukan pewajyuan dalam jemaat yang percaya pada masa kini dan pada masa mendatang (Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM (ed), 2002:12).

Yesus dan Kitab Suci

Dalam pembahasan ini kita akan melihat siapa Yesus dalam Alkitab dan bagaimana Yesus itu dipahami. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) Yesus menjadi pusat pewahyuan Kristiani. 

Kehadirian Yesus ditunjukan sebagai yang berasal dari Allah. Allah yang menyejarah dalam situasi, waktu, dan tradisi tertentu. Allah yang menyejarah dalam pribadi Yesus ini terekam dalam tradisi-tradisi Gereja Perdana yang kemudian, karena kebutuhan jemaat, ditulisakan. 

Hal ini menampakan adanya relasi antara Alkitab dan Yesus. Perjanjian Baru menjadi suatu tulisan atas rekaman peristiwa pengalaman Kristiani akan Allah yang diperantarai oleh dan dalam manusia Yesus. 

Seluruh PB menjadi rekaman atas refleksi Gereja Perdana akan Yesus. Hal ini dapat kita lihat khususnya dalam surat-surat Katolik yang menginterpretasikan Yesus berdasarkan kultur, peristiwa dan situasi tertentu yang berbeda satu sama lain. 

Namun secara umum, refleksi tersebut menyangkut kehidupan jemaat yang berkaitan dangan kehidupan etis, organisasi dan disiplin jemaat atas pengalaman akan Allah dalam diri Yesus. 

Hal ini juga berakibat bagi Alkitab Yahudi yang digunakan oleh Gereja. Alkitab Yahudi, khusunya versi Yunani, selalu dikaitkan dengan pewahyuan Allah dalam diri Yesus. Yesus dilihat sebagai pemenuhan janji-janji Allah yang termaktub dalam Alkitab Yahudi. 

Pemahaman di atas membawa PB menjadi konstitusi bagi Gereja. Pengalaman historis Yesus direkam sebagai pengalaman akan pewahyuan Allah. Hal ini menempatkan PB sebagai yang memiliki autoritas yang paling utama dalam seluruh Alkitab Kristiani. 

Gereja merefleksi Alkitab selalu dalam lensa iman akan Allah dalam diri Yesus Kristus. Iman akan Allah dalam diri Yesus harus selalu dikaitkan dalam konteks sejarah dan budaya tertentu. Oleh sebab itu, walaupun pribadi Yesus menjadi pusat bagi Alkitab hal ini harus dilihat dalam konteks yang spesifik. 

Sebagai pusat iman Kristiani, pengalaman Gereja akan Yesus ditempatkan dalam medium imaginasi konstrual Allah, eksistensi manusia, sejarah dan realitas itu sendiri. Dengan demikian pemahaman akan pribadi Yesus yang partikular dapat diinterpretasikan secara universal dan kontekstual.


Pewahyuan di balik dan di dalam Kitab Suci

Pewahyuan Kristiani adalah pengalaman akan Allah dalam diri Yesus yang hadir dalam sejarah manusia. Pewahyuan ini mengindikasikan kepada kita bahwa pengalaman ini ada dalam sejarah manusia dan juga sekaligus dilihat sebagai sejarah keselamatan. 

Pengalaman hidup Yesus menjadi yang utama dalam pewahyuan. Sebagai yang utama pewahyuan Kristiani dialami pertama kali oleh para murid Yesus. Merekalah yang menjadi konstitutif dalam pengalaman tersebut. 

Pengalaman para murid ini memperlihatkan bahwa kehadiran Allah ada di dalam subjektivitas manusia. Kemudian pengalaman tersebut dituliskan dalam Alkitab. 

Namun penulisan tersebut mengalami keterbatasan terutama dalam bahasa, pemilihan kata-kata, interpretasi dan kreativitas manusiawi, ekspresi pertama, tradisi lisan atau reflesi atas penulisan (Roger Haight, SJ, Dinamics of Theology, The Status of Scripture In The Church, ?: 103).

Berhadapan dengan persoalan bagaimana pewahyuan Allah dalam pribadi Yesus yang hidup dalam konteks partikular dapat menjadi pewahyuan yang universal dan transkultural? Ada tiga hal yang dapat dijadikan pendasaran. 

  1. semua pewahyuan Allah selalu dalam mediasi historisitas. Pewahyuan Allah yang mengandung keuniversalan selalu dalam konteks yang partikular. Maka sangatlah mungkin bahwa pewahyuan Allah berada dalam historisitas partikular. 
  2. Yesus adalah manusia yang manusiawi. Dalam diri Yesus yang manusiawi terkandung kemampuan ilahi yang dapat melampaui nilai-nilai yang transkultural. Dalam dirinya ada komunikasi seluruh keberadaan manusia. 
  3. pesan-pesan Yesus dan isi pewahyuan-Nya mengandung nilai-nilai yang universal dan transkultural. Allah yang mewahyukan diri dalam Yesus adalah Tuhan untuk semua, yang personal, mengasihi dan mencintai. 
Yesus adalah manusia partikular, tapi bukan partikular yang biasa. Kepartikularan Yesus mengandung Allah yang universal (Roger Haight, SJ, Dinamics of Theology, The Status of Scripture In The Church, ?: 103). Oleh sebab itu, pewahyuan Allah dalam diri Yesus yang dialami oleh jemaat perdana merupakan pusat iman. 

Pusat iman ini diwartakan pertama secara lisan dan kemudian dituliskan, karena ada suatu kebutuhan jemaat. Maka seluruh Alkitab Kristen berpusat dan bersumber pada Yesus yang adalah pewahyuan Allah dalam sejarah dan budaya tertentu, menjadi Kristus yang bermakna universal dan melampaui budaya tertentu. Lanjut Baca!

1 < Wahyu, Kitab Suci dan Relevansinya di Masa Kini 3 > 4

Daftar Pustaka
  1. Dianne Bergant, CSA & Robert J. Karris, OFM., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, 2002
  2. Dulles, Avery Dulles, Model of Rrevelation, New York, Maryknoll, 1992
  3. Jacobs, Tom Prof., Mistagogi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Teologi pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 13 September 2003
  4. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab dalam Gereja, Kanisius, 2003.
  5. Raymond E. Brown, dkk.(ed), The New Jerome Biblical Commentary, Great Britain, 1989.
  6. Roger Haight, SJ., Dinamics of Theology, The Status of Scripture in The Churh.
  7. Walsh, John, Evangelization and Justice New Insights forChristian Ministr, New York, Maryknoll, 1982
  8. Yohanes Paulus II,Paus, Surat Ensiklik Fides et Ratio, Yogyakarta, 1999
  9. Yohanes Paulus II,Paus, Evangelii Nutiandi (terj.), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990
  10. Yohanes Paulus II, Paus, Ensiklik Redemtoris Missio (terj.), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.