iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Masyarakat Heterophobia

Masyarakat Indonesia saat ini adalah masyarakat penuh prasangka. Masyarakat kita memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda (heterophobia). 

Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari yang sudah umum terjadi akan segera ditanggapi dengan penuh kecurigaan. 

Tak ayal lagi, kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam. 

Keberadaan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang datang dari minoritas (Cina dan Kristen) sebagai gubernur DKI Jakarta dicurigai oleh kelompok-kelompok tertentu yang menganggap Ahok sebagai ancaman.

Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok atau kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. (Soekanto, 1993; Baron & Byrne, 1991).

Misalnya karena pelaku korupsi di era Soeharto adalah orang Cina dengan mata sipit, mala seluruh orang Cina, terutama yang bermata sipit, dicurigai memiliki itikad buruk dalam melakukan usahanya.

Prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni :
  1. Perasaan (feeling) - yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci.
  2. Kecenderungan untuk melakukan tindakan (behavioral tendention) - biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya.
  3. Adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs) - biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. 
Prasangka, oleh karenanya merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antar individu yang baik (Myers, 1999). Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi adalah ketegangan terus menerus.

Padahal sebuah hubungan antar pribadi yang baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan dengan adanya prasangka tidak mungkin timbul kepercayaan. Sehingga adalah muskil suatu hubungan interpersonal yang baik bisa terbangun. Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antar individu yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun masyarakat yang damai.

Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi.

Sementara itu Sears, Freedman & Peplau (1999) menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain. 

Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok, prasangka sebagai komponen afektif di mana kita memiliki perasaan tidak suka; dan diskriminasi adalah komponen perilaku.