iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

PLN vs NLP

PLN versus NLP Seorang sahabat di tepi Danau Toba berteriak di sosmed memplesetkan PLN sebagai perusahaan lontong negara. Tentu ia punya alasan untuk marah.

Bagaimana tidak, dua minggu terakhir, terutama 3 hari terakhir listrik di Simalungun atas, mulai dari ibukota kabupaten Raya, Tiga Runggu, Bangun Purba, Saribudolok, Haranggaol, Tigaraja, dst. sedang bersetubuh dengan kegelapan di malam hari, dan bagi mereka yang bekerja dengan menggunakan listrik sedang mengalami banyak kerugian materiil.

PLN selalu punya ratusan jawaban atas keluhan masyarakat, mulai dari alasan pohon tumbang hingga kekurangan daya. Walaupun untuk alasan terakhir, masyarakat Simalungun bisa mengatakan, "Anggo sinai, ipahamot-hamot nami pe!" (kalau emang dayanya kurang kami akan hemat listrik deh!). Tapi di sisi lain, PLN seakan tak henti-hentinya memasang instalasi baru.

Ini berarti PLN menunjukkan kebodohannya sendiri. PLN menjual kekurangannya.

PLN sadar bahwa masyarakat sudah terlanjur tergantung oleh listrik, minimal buat nge-cas ponsel, memasak nasi, nyetel TV atau saat malam hari sebagai penerang ruang tamu mereka.

PLN juga tahu bahwa di pasar berlaku hukum permintaan dan hukum penawaran. Ada permintaan (karena kebutuhan masyarakat) di satu sisi dan ada penawaran (dari PLN) di sisi lain.

Pemerintah menangkap hukum ekonomi ini sebagai lahan bisnis yang basah. Buktinya, bisnis listrik tak boleh dipegang swasta dan hanya boleh dioperasikan negara. Minimal sih hak pengelolaannya. Sebab kita tahu kalau pemilik saham di PLN bukan pemerintah RI semata.

Prinsip ekonomi yang telah disebutkan di atas sungguh diamini PLN dengan menyadari bahwa harga sebuah barang/jasa otomatis akan naik bila permintaan akan barang tinggi/jasa itu semakin besar.

Tarif dasar listrik pun selalu naik; tentu - sebagaimana telah disinggung di atas, karena kebutuhan masyarakat akan listrik selalu meningkat. Ingat, hanya PLN sebagai BUMN yang empunya hak dan kuasa menjual dan menentukan tarif dasar listrik.

Begitulah PLN berjalan. PLN merepresentasi kinerja pemerintah yang memposisikan rakyat sebagai konsumen dan PLN sebagai penjual yang memonopoli pasar.

PLN emang dihuni para pebisnis handal dan tergolong "jogal" (keras kepala). Buktinya, ketika masyarakat (konsumen) berteriak agar PLN (penjual) melayani mereka dengan baik dan tak mengulangi kesalahan yang sama "memadamkan listrik sesukanya", maka PLN berhak untuk mengatakan, "Biasa aja keles!"

PLN seakan-akan memiliki jawaban pongah, "Peduli amat dengan masyarakat! Toh mereka tak bisa ke lain hati. Mereka hanya boleh beli listrik dari kita, karena di tempat lain tak boleh jual listrik!"

Bagi PLN, hal terpenting hanya satu, yakni TIDAK MEMADAMKAN listrik di kantor-kantor dan kompleks rumah-rumah dinas pemerintah atau para "pemiliki saham" di PLN sendiri.

Demikianlah PLN menegaskan dirinya sebagai penjual yang monopoli pasar dan bertujuan sekedar mengeruk keuntungan dengan cara diskriminatif: "memanjakan pemilik sahamnya (kantor-kantor dan rumah dinas pemerintah RI) dan seenak udel memadamkan listrik di rumah-rumah pelanggannya (masyarakat Indonesia)..

Sebagai pelanggan, kita harus menyampaikan, "Selamat buat PLN atas kesuksesannya menyalakan dan memadamkan listrik para pelangganmu, terutama di kabupaten Simalungun ini! Kalian telah berhasil membuat kami, para konsumen meraba-raba di kegelapan saat mencari pedang, celurit dan tombak yang akan kami gunakan menghajar Anda!

Anda, para elite-nya PLN memang hebat dan penuh berkuasa, melebihi kuasa presiden. Bersama Pertaminia, PLN memiliki kuasa untuk memperdagangkan sumber daya alam negara kesatuan RI kepada pelanggan yang mutlak tidak boleh menunggak pembayaran listriknya!"


Kalau sendikit mau berbaik hati, sudah saatnya semua stakeholder PLN diberi training NLP, supaya mau dan mampu mengubah PLN sebagai perusahaan NLP (Nyalain Lampu Pelanggan!!!